BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Pada masa ini remaja banyak mengalami perubahan akibat dari
perkembangan yang meliputi perkembangan fisik, psikis dan sosial (Hurlock,
1996). Pada masa remaja kepekaan emosi meningkat bila dibandingkan masa
sebelumnya.
Banyak remaja yang mengalami masalah emosional yang cukup berat,
seperti mudah marah, mudah terpengaruh, putus asa, sulit mengendalikan emosi
dan sulit mengambil keputusan dengan memotivasi diri sendiri (Goleman, 1996).
Remaja yang kurang mampu dalam memahami, mengelola dan mengendalikan
emosi dalam dirinya menunjukkan bahwa individu kurang memiliki kecerdasan
emosional.
Selama ini kecerdasan intelektual (IQ) diyakini sebagai satu-satunya hal
yang sangat menentukan keberhasilan masa depan remaja. Namun hasil terbaru
dalam penelitian bidang psikologi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
(EQ) juga sama pentingnya dengan IQ dalam menentukan keberhasilan remaja.
Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah remaja yang
bahagia, percaya diri, popular dan lebih sukses. Mereka lebih mampu menguasai
gejolak emosinya, menjalin hubungan yang manis dengan orang lain, bisa
mengelola stress, dan memiliki kesehatan mental yang baik (Hartini, 2004).
Kecerdasan emosional dipandang sebagai satu aspek psikis yang sangat
menentukan reaksi individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dikatakan
bahwa kecerdasan intelektual tidak cukup untuk meraih kesuksesan dan
kesejahteraan dalam hidup, tetapi dibutuhkan adanya kecerdasan emosional untuk
keberhasilan individu dalam kehidupannya (Gottman dan De Claire, 1999).
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya
kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak
mengalami kesulitan emosional dari pada generasi sebelumnya, seperti lebih
kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah
cemas, lebih impulsif dan agresif. Kemerosotan emosi tampak pada semakin
parahnya masalah spesifik seperti nakal atau agresif, bergaul dengan anak-anak
bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang
lain, membandel di sekolah maupun dirumah, keras kepala, dan suasana hatinya
sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok, serta
bertempramen tinggi (Goleman, 1997).
Hasil penelitian Zimbardo menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi
seseorang menyebabkan seseorang berperilaku senang mencuri, merusak barang-
barang orang lain dan kehilangan tanggung jawab sosial atau tidak mampu
mengendalikan emosi dalam dirinya. Dengan kata lain komunikasi yang efektif
penting untuk mengendalikan emosi anak dengan cara mengungkapkan apa yang
dirasakan dalam hatinya sehingga mampu membina hubungan yang baik dengan
orang lain di sekitarnya. (Rahmat, 2001).
Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan
keluarga sampai lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Khususnya
lingkungan keluarga hubungan orangtua dan anak sangat berpengaruh. Guna
mendapatkan kecerdasan emosi yang berguna untuk keberhasilan hidup dimasa
mendatang sangatlah perlu orangtua berperan aktif dalam proses pembentukan diri
remaja. Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan
proses sosialisasi pada anak. Di tengah keluarga remaja belajar mengenal makna
cinta kasih, loyalitas, simpati bimbingan, pendidikan dan bermasyarakat. Oleh
karena itu untuk menciptakan hubungan yang lebih mendalam antara orangtua dan
anak perlu adanya komunikasi sebagai cara efektif dalam menentukan
kesejahteraan dan keharmonisan (Damayanti, Prihatno dan Lasmono, 1995).
Nilai moral, agama dan norma-norma sosial dikenalkan kepada remaja
melalui interaksi dalam keluarga. Pentingnya komunikasi yang efektif antara
orang tua dan anak mengharuskan orang tua memberi kesempatan pada remaja
untuk menceritakan secara bebas tanpa rasa takut maupun khawatir dimarahi.
Melalui komunikasi remaja diminta mengungkapkan apa saja yang dapat
membuat mereka marah, sedih atau merasa bersalah, kemudian remaja juga
mengungkapkan apa saja yang membuat mereka gembira, senang, bangga serta
meminta mereka mencari cara untuk meningkatkan perasaannya tersebut. Dengan
memberi kesempatan pada remaja untuk bercerita dan mengeluarkan pendapatnya
sehingga akan timbul kepuasan tersendiri dalam hidup pada diri remaja karena
orangtua mengerti dan menghargai segala persoalan yang dihadapi (Magdalena,
2000).
Komunikasi yang kurang karena kesibukan orangtua dalam bekerja
sehingga tidak dapat meluangkan waktu lagi bagi anak-anaknya mengakibatkan
mereka tidak dapat mengungkapkan perasaannya dan menyebabkan anak-anak
menjadi nakal sehingga menjadi pribadi yang kurang toleransi, kurang dapat
berkomunikasi dan cenderung minta diperhatikan. Menurut Idrus (dalam Kartono,
1985), kesulitan komunikasi antara remaja dengan orangtua dalam keluarga
karena adanya jurang komunikasi antar generasi, di satu pihak generasi tua
mengeluh bahwa remaja sekarang tidak bisa dimengerti, di lain pihak generasi
remaja juga mengeluh, bahwa orangtua tidak bisa mengerti dirinya.
Yang terpenting adalah orangtua harus mempersiapkan diri, selalu
bersikap terbuka, menaruh kepercayaan dan tidak membohongi anak, apabila hal
ini dilakukan sejak awal anak akan menaruh kepercayaan pada orangtuanya. Pada
saatnya nanti kepercayaan pada orangtua ini akan mempermudah mereka
berkomunikasi dengan orangtuanya (Damayanti, Prihatno dan Lasmono, 1995).
Dengan demikian dapat dikatakan untuk sementara bahwa faktor komunikasi
orangtua dan anak dapat memberikan pengaruh dalam perkembangan emosional
remaja.
Terjalinnya komunikasi yang berkualitas akan menciptakan suasana yang
kondusif bagi anak dalam proses memahami diri dan lingkungannya, hal itu tentu
saja dapat mendorong adanya penerimaan pada diri anak secara maksimal, dalam
arti anak dapat menerima kelemahan dan kelebihannya secara lebih baik.
Komunikasi menjadi suatu pengalaman yang sangat berarti sehingga memberi
pengaruh terhadap perkembangan anak secara keseluruhan termasuk dalam
pembentukan konsep diri (Malik, 2003).
Konsep diri merupakan aspek afektif yang mempengaruhi pendekatan
remaja dalam mempelajari dan memahami kondisi lingkungan di sekitarnya,
bagaimana cara individu memandang dirinya akan mempengaruhi seluruh
perilakunya. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang dibentuk seseorang
melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. (Hurlock, 1990). Salah
satu faktor yang berkaitan dengan konsep diri individu adalah lingkungan
sosialnya. Bagaimana lingkungan memperlakukan atau merespon keberadaan
individu akan membentuk persepsi individu baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungan di sekitarnya. Salah satu bagian lingkungan sosialnya adalah
interaksi dengan orang tua sehingga komuniksi antara orangtua dan anak
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri remaja
(Malik, 2003).
Pengaruh konsep diri terhadap kecerdasan emosional merupakan salah
satu faktor yang tidak boleh diabaikan. Remaja yang memiliki konsep diri yang
baik sesuai dengan kenyataan dirinya akan dapat memahami, mengenali, mampu
menilai dirinya, menerima perasaan-perasaan atau emosi yang dialaminya dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, sebaliknya jika remaja memiliki konsep diri
yang kurang baik akan menimbulkan perilaku negatif cenderung destruktif seperti
membunuh, pengeroyokan serta pemerkosaan yang menggambarkan remaja
mepunyai kontrol diri yang rendah terhadap emosinya, tidak mau menerima kritik
yang diberikan sehingga remaja menjadi mudah marah dan kurang mampu
memahami dirinya serta mudah putus asa. (Agustiani, 2002). Individu dapat
menjadi marah, tidak terkontrol emosinya terhadap sesuatu yang dianggap tidak
baik tentang dirinya maupun terhadap ligkungan sosialnya Malik (2003)
menyatakan bahwa individu menjadi tidak mudah marah dengan munculnya suatu
persepsi yang baik dari orang lain tentang dirinya atau lingkungan sekitarnya,
sebaliknya individu akan marah bila muncul persepsi yang jelek dari orang lain
tentang dirinya.
Pada era globalisasi dewasa ini, terdapat berbagai perubahan dan
pembaharuan disegala bidang membawa berbagai dampak dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dampak tersebut dapat dilihat dengan adanya gejala-gejala tekanan
perasaan, frustrasi atau konflik internal dan eksternal pada diri individu. Gejala-
gejala tersebut menyebabkan lahirnya berbagai bentuk perilaku yang cenderung
bersifat negatif, seperti kasus tawuran yang terjadi pada Ad usia 20 tahun warga
Banjaran, Purbalingga dan Rd usia 24 tahun warga Tambangan dikeroyok 11
pemuda hingga kepalanya bocor dan mengalami luka tusuk (Kedaulatan Rakyat, 9
Agustus 2005). Peristiwa menyedihkan yang dialami Tm berusia 16 tahun siswi
sekolah kejuruan di Klaten yang dijebak dengan minuman keras dan diperkosa
secara bergiliran oleh empat orang pemuda (Suara Merdeka,7 Agustus 2005).
Kian sering kita dengar aksi remaja atau pelajar yang berani merampok di bus,
tawuran, memerkosa bahkan membunuh. Mereka tidak lagi sekadar nakal namun
telah melakukan tindak kriminal seperti memerkosa bahkan membunuh. Belum
lagi kasus tawuran yang semakin menjadi hal biasa. Tidak aneh bila setiap tahun,
sedikitnya ada 4.000 anak di bawah usia 16 tahun yang dibawa ke pengadilan
(www.pikiran rakyat.com).
Tawuran, perkelahian remaja, pembunuhan bahkan pemerkosaan yang
terjadi dikalangan remaja adalah tanda dari ketidakmatangan emosi dan konsep
diri yang lemah. Hal tersebut juga dipengaruhi dari faktor keluarga dan
lingkungan sekitar misalnya pergaulannya sehari-hari, kurangnya komunikasi
dengan orangtua sehingga anak tidak mampu mengungkapkan apa yang dirasakan
dan kurang memiliki rasa toleransi. Kemarahan yang meledak-ledak menjadi
tawuran pelajar seringkali berawal dari ketidaksengajaan yang sepele, tetapi
akibat dari ketidakmatangan emosi dan ketidakmampuan mengendalikan
kemarahan tersebut telah berakibat fatal bagi masa depan anak. Begitu diri mereka
dipenuhi dendam maka kejernihan pikiran menjadi lenyap dan terjadilah
malapetaka yang merenggut masa depannya (Suharsono, 1999).
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik diharapkan remaja akan
mampu mengembangkan aspek-aspek kecerdasan yang lain ditengah
lingkungannya, sebab aspek kecerdasan emosi memegang peranan penting dalam
membangun hubungan interpersonal (Suryabrata, 1996). Jika seseorang memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang tinggi berarti mampu mengendalikan
dorongan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain serta memelihara
hubungan baik dengan lingkungan keluarga (Soedarsono, 2000), sehingga kasus-
kasus seperti pemerkosaan, pengeroyokan bahkan pembunuhan tidak perlu terjadi.
Dari berbagai uraian diatas dapat dikatakan bahwa masalah-masalah yang
dihadapi remaja dalam penyesuaian diri dengan lingkungan seperti perkelahian
dan kasus kriminalitas yang lain adalah manifestasi dari rendahnya kecerdasan
emosional yang dimiliki. Kecerdasan emosional ini tidak terlepas dari pengalaman
individu khususnya komunikasi antara orangtua dengan anak dan konsep diri yang
dimiliki remaja. Dengan kata lain kecerdasan yang dimiliki remaja berkaitan
dengan konsep diri dan kualitas komunikasi yang terjadi dengan orangtuanya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis ingin mengajukan
permasalahan apakah ada hubungan antara konsep diri dan kualitas komunikasi
antara orangtua dan anak dengan kecerdasan emosional pada remaja?
Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk menguji secara
empiris dengan penelitian yang berjudul “Kecerdasan Emosional Remaja ditinjau
dari Konsep Diri dan Kualitas Komunikasi antara Orang tua dan Anak”.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa
dewasa. Pada masa ini remaja banyak mengalami perubahan akibat dari
perkembangan yang meliputi perkembangan fisik, psikis dan sosial (Hurlock,
1996). Pada masa remaja kepekaan emosi meningkat bila dibandingkan masa
sebelumnya.
Banyak remaja yang mengalami masalah emosional yang cukup berat,
seperti mudah marah, mudah terpengaruh, putus asa, sulit mengendalikan emosi
dan sulit mengambil keputusan dengan memotivasi diri sendiri (Goleman, 1996).
Remaja yang kurang mampu dalam memahami, mengelola dan mengendalikan
emosi dalam dirinya menunjukkan bahwa individu kurang memiliki kecerdasan
emosional.
Selama ini kecerdasan intelektual (IQ) diyakini sebagai satu-satunya hal
yang sangat menentukan keberhasilan masa depan remaja. Namun hasil terbaru
dalam penelitian bidang psikologi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
(EQ) juga sama pentingnya dengan IQ dalam menentukan keberhasilan remaja.
Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah remaja yang
bahagia, percaya diri, popular dan lebih sukses. Mereka lebih mampu menguasai
gejolak emosinya, menjalin hubungan yang manis dengan orang lain, bisa
mengelola stress, dan memiliki kesehatan mental yang baik (Hartini, 2004).
Kecerdasan emosional dipandang sebagai satu aspek psikis yang sangat
menentukan reaksi individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dikatakan
bahwa kecerdasan intelektual tidak cukup untuk meraih kesuksesan dan
kesejahteraan dalam hidup, tetapi dibutuhkan adanya kecerdasan emosional untuk
keberhasilan individu dalam kehidupannya (Gottman dan De Claire, 1999).
Survei terhadap orangtua dan guru-guru memperlihatkan adanya
kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak
mengalami kesulitan emosional dari pada generasi sebelumnya, seperti lebih
kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah
cemas, lebih impulsif dan agresif. Kemerosotan emosi tampak pada semakin
parahnya masalah spesifik seperti nakal atau agresif, bergaul dengan anak-anak
bermasalah, bohong dan menipu, sering bertengkar, bersikap kasar terhadap orang
lain, membandel di sekolah maupun dirumah, keras kepala, dan suasana hatinya
sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok, serta
bertempramen tinggi (Goleman, 1997).
Hasil penelitian Zimbardo menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi
seseorang menyebabkan seseorang berperilaku senang mencuri, merusak barang-
barang orang lain dan kehilangan tanggung jawab sosial atau tidak mampu
mengendalikan emosi dalam dirinya. Dengan kata lain komunikasi yang efektif
penting untuk mengendalikan emosi anak dengan cara mengungkapkan apa yang
dirasakan dalam hatinya sehingga mampu membina hubungan yang baik dengan
orang lain di sekitarnya. (Rahmat, 2001).
Kecerdasan emosi dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan
keluarga sampai lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Khususnya
lingkungan keluarga hubungan orangtua dan anak sangat berpengaruh. Guna
mendapatkan kecerdasan emosi yang berguna untuk keberhasilan hidup dimasa
mendatang sangatlah perlu orangtua berperan aktif dalam proses pembentukan diri
remaja. Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan
proses sosialisasi pada anak. Di tengah keluarga remaja belajar mengenal makna
cinta kasih, loyalitas, simpati bimbingan, pendidikan dan bermasyarakat. Oleh
karena itu untuk menciptakan hubungan yang lebih mendalam antara orangtua dan
anak perlu adanya komunikasi sebagai cara efektif dalam menentukan
kesejahteraan dan keharmonisan (Damayanti, Prihatno dan Lasmono, 1995).
Nilai moral, agama dan norma-norma sosial dikenalkan kepada remaja
melalui interaksi dalam keluarga. Pentingnya komunikasi yang efektif antara
orang tua dan anak mengharuskan orang tua memberi kesempatan pada remaja
untuk menceritakan secara bebas tanpa rasa takut maupun khawatir dimarahi.
Melalui komunikasi remaja diminta mengungkapkan apa saja yang dapat
membuat mereka marah, sedih atau merasa bersalah, kemudian remaja juga
mengungkapkan apa saja yang membuat mereka gembira, senang, bangga serta
meminta mereka mencari cara untuk meningkatkan perasaannya tersebut. Dengan
memberi kesempatan pada remaja untuk bercerita dan mengeluarkan pendapatnya
sehingga akan timbul kepuasan tersendiri dalam hidup pada diri remaja karena
orangtua mengerti dan menghargai segala persoalan yang dihadapi (Magdalena,
2000).
Komunikasi yang kurang karena kesibukan orangtua dalam bekerja
sehingga tidak dapat meluangkan waktu lagi bagi anak-anaknya mengakibatkan
mereka tidak dapat mengungkapkan perasaannya dan menyebabkan anak-anak
menjadi nakal sehingga menjadi pribadi yang kurang toleransi, kurang dapat
berkomunikasi dan cenderung minta diperhatikan. Menurut Idrus (dalam Kartono,
1985), kesulitan komunikasi antara remaja dengan orangtua dalam keluarga
karena adanya jurang komunikasi antar generasi, di satu pihak generasi tua
mengeluh bahwa remaja sekarang tidak bisa dimengerti, di lain pihak generasi
remaja juga mengeluh, bahwa orangtua tidak bisa mengerti dirinya.
Yang terpenting adalah orangtua harus mempersiapkan diri, selalu
bersikap terbuka, menaruh kepercayaan dan tidak membohongi anak, apabila hal
ini dilakukan sejak awal anak akan menaruh kepercayaan pada orangtuanya. Pada
saatnya nanti kepercayaan pada orangtua ini akan mempermudah mereka
berkomunikasi dengan orangtuanya (Damayanti, Prihatno dan Lasmono, 1995).
Dengan demikian dapat dikatakan untuk sementara bahwa faktor komunikasi
orangtua dan anak dapat memberikan pengaruh dalam perkembangan emosional
remaja.
Terjalinnya komunikasi yang berkualitas akan menciptakan suasana yang
kondusif bagi anak dalam proses memahami diri dan lingkungannya, hal itu tentu
saja dapat mendorong adanya penerimaan pada diri anak secara maksimal, dalam
arti anak dapat menerima kelemahan dan kelebihannya secara lebih baik.
Komunikasi menjadi suatu pengalaman yang sangat berarti sehingga memberi
pengaruh terhadap perkembangan anak secara keseluruhan termasuk dalam
pembentukan konsep diri (Malik, 2003).
Konsep diri merupakan aspek afektif yang mempengaruhi pendekatan
remaja dalam mempelajari dan memahami kondisi lingkungan di sekitarnya,
bagaimana cara individu memandang dirinya akan mempengaruhi seluruh
perilakunya. Konsep diri merupakan inti kepribadian yang dibentuk seseorang
melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain. (Hurlock, 1990). Salah
satu faktor yang berkaitan dengan konsep diri individu adalah lingkungan
sosialnya. Bagaimana lingkungan memperlakukan atau merespon keberadaan
individu akan membentuk persepsi individu baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungan di sekitarnya. Salah satu bagian lingkungan sosialnya adalah
interaksi dengan orang tua sehingga komuniksi antara orangtua dan anak
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri remaja
(Malik, 2003).
Pengaruh konsep diri terhadap kecerdasan emosional merupakan salah
satu faktor yang tidak boleh diabaikan. Remaja yang memiliki konsep diri yang
baik sesuai dengan kenyataan dirinya akan dapat memahami, mengenali, mampu
menilai dirinya, menerima perasaan-perasaan atau emosi yang dialaminya dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, sebaliknya jika remaja memiliki konsep diri
yang kurang baik akan menimbulkan perilaku negatif cenderung destruktif seperti
membunuh, pengeroyokan serta pemerkosaan yang menggambarkan remaja
mepunyai kontrol diri yang rendah terhadap emosinya, tidak mau menerima kritik
yang diberikan sehingga remaja menjadi mudah marah dan kurang mampu
memahami dirinya serta mudah putus asa. (Agustiani, 2002). Individu dapat
menjadi marah, tidak terkontrol emosinya terhadap sesuatu yang dianggap tidak
baik tentang dirinya maupun terhadap ligkungan sosialnya Malik (2003)
menyatakan bahwa individu menjadi tidak mudah marah dengan munculnya suatu
persepsi yang baik dari orang lain tentang dirinya atau lingkungan sekitarnya,
sebaliknya individu akan marah bila muncul persepsi yang jelek dari orang lain
tentang dirinya.
Pada era globalisasi dewasa ini, terdapat berbagai perubahan dan
pembaharuan disegala bidang membawa berbagai dampak dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dampak tersebut dapat dilihat dengan adanya gejala-gejala tekanan
perasaan, frustrasi atau konflik internal dan eksternal pada diri individu. Gejala-
gejala tersebut menyebabkan lahirnya berbagai bentuk perilaku yang cenderung
bersifat negatif, seperti kasus tawuran yang terjadi pada Ad usia 20 tahun warga
Banjaran, Purbalingga dan Rd usia 24 tahun warga Tambangan dikeroyok 11
pemuda hingga kepalanya bocor dan mengalami luka tusuk (Kedaulatan Rakyat, 9
Agustus 2005). Peristiwa menyedihkan yang dialami Tm berusia 16 tahun siswi
sekolah kejuruan di Klaten yang dijebak dengan minuman keras dan diperkosa
secara bergiliran oleh empat orang pemuda (Suara Merdeka,7 Agustus 2005).
Kian sering kita dengar aksi remaja atau pelajar yang berani merampok di bus,
tawuran, memerkosa bahkan membunuh. Mereka tidak lagi sekadar nakal namun
telah melakukan tindak kriminal seperti memerkosa bahkan membunuh. Belum
lagi kasus tawuran yang semakin menjadi hal biasa. Tidak aneh bila setiap tahun,
sedikitnya ada 4.000 anak di bawah usia 16 tahun yang dibawa ke pengadilan
(www.pikiran rakyat.com).
Tawuran, perkelahian remaja, pembunuhan bahkan pemerkosaan yang
terjadi dikalangan remaja adalah tanda dari ketidakmatangan emosi dan konsep
diri yang lemah. Hal tersebut juga dipengaruhi dari faktor keluarga dan
lingkungan sekitar misalnya pergaulannya sehari-hari, kurangnya komunikasi
dengan orangtua sehingga anak tidak mampu mengungkapkan apa yang dirasakan
dan kurang memiliki rasa toleransi. Kemarahan yang meledak-ledak menjadi
tawuran pelajar seringkali berawal dari ketidaksengajaan yang sepele, tetapi
akibat dari ketidakmatangan emosi dan ketidakmampuan mengendalikan
kemarahan tersebut telah berakibat fatal bagi masa depan anak. Begitu diri mereka
dipenuhi dendam maka kejernihan pikiran menjadi lenyap dan terjadilah
malapetaka yang merenggut masa depannya (Suharsono, 1999).
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik diharapkan remaja akan
mampu mengembangkan aspek-aspek kecerdasan yang lain ditengah
lingkungannya, sebab aspek kecerdasan emosi memegang peranan penting dalam
membangun hubungan interpersonal (Suryabrata, 1996). Jika seseorang memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang tinggi berarti mampu mengendalikan
dorongan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain serta memelihara
hubungan baik dengan lingkungan keluarga (Soedarsono, 2000), sehingga kasus-
kasus seperti pemerkosaan, pengeroyokan bahkan pembunuhan tidak perlu terjadi.
Dari berbagai uraian diatas dapat dikatakan bahwa masalah-masalah yang
dihadapi remaja dalam penyesuaian diri dengan lingkungan seperti perkelahian
dan kasus kriminalitas yang lain adalah manifestasi dari rendahnya kecerdasan
emosional yang dimiliki. Kecerdasan emosional ini tidak terlepas dari pengalaman
individu khususnya komunikasi antara orangtua dengan anak dan konsep diri yang
dimiliki remaja. Dengan kata lain kecerdasan yang dimiliki remaja berkaitan
dengan konsep diri dan kualitas komunikasi yang terjadi dengan orangtuanya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis ingin mengajukan
permasalahan apakah ada hubungan antara konsep diri dan kualitas komunikasi
antara orangtua dan anak dengan kecerdasan emosional pada remaja?
Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk menguji secara
empiris dengan penelitian yang berjudul “Kecerdasan Emosional Remaja ditinjau
dari Konsep Diri dan Kualitas Komunikasi antara Orang tua dan Anak”.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: