BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah tunas harapan bangsa, generasi tumpuan masa depan.
Dewasa ini orangtua dan pendidik menjadi semakin cemas me lihat kondisi remaja
sekarang yang memprihatinkan, karena banyaknya masalah yang dihadapi baik
yang berkaitan dengan masalah akademik maupun masalah sosial.
Masalah itu timbul seiring dengan perkembangan remaja yang sedang
dalam masa transisi. Masa transisi yaitu suatu masa peralihan dari masa anak-anak
kemasa dewasa. Secara umum dan dalam kondisi normal sekalipun, masa ini
merupakan periode yang sulit untuk ditempuh, baik secara individual ataupun
kelompok, sehingga remaja sering dikatakan sebagai kelompok umur bermasalah
(the trouble teens). Adanya kematangan fisik dan mental tanpa diimbangi
percepatan pematangan emosi menyebabkan permasalahan yang dialami remaja
semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu
penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan
selanjutnya (Hurlock, 1997).
Daradjat (2000) mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi oleh
remaja adalah: (1) masalah yang menyangkut pertumbuhan jasmani, (2) masalah
hubungan dengan orangtua yang disebabkan karena kurangnya pengertian orang
tua terhadap pertumbuhan yang dihadapi anak, (3) masalah agama, (4) masalah
masa depan, (5) masalah sosial dimana pada masa ini perhatian remaja terhadap
kedudukannya dalam masyarakat sangat besar, remaja ingin selalu diterima oleh
kawan-kawannya. Didalam menghadapi masalah yang begitu kompleks tersebut,
banyak remaja yang dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang
ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali
menjadi tidak percaya diri, prestasi disekolah menurun, hubungan dengan teman
menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi
(Gordon, 1996).
Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang
terdiri dari teman sebaya dan melakukan aktivitas yang negatif seperti perkelahian
antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri, memalak,
serta melakukan tindakan yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri. Hal ini
merupakan fenomena yang lazim disebut kenakalan remaja. Masalah lain yang
cukup serius ialah, perilaku seks remaja yang semakin bebas, penyalahgunaan
narkoba, tak termotivasi di sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, remaja yang
meninggalkan bangku sekolah dan hidup santai masuk-keluar klab malam maupun
perilaku remaja yang suka menghabiskan waktunya di mall dan bioskop.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak semua remaja
memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik. Kalau saja remaja
mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik, mereka tidak akan
melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Remaja akan berusaha
untuk menganalisis permasalahan yang ada, kemudian mencari alternatif
penyelesaian masalah yang tepat (Susilowati, 2003).
Menurut Hurlock (1997) selama masa remaja, masalah yang muncul
sering menjadi masalah yang sulit diatasi oleh remaja. Terdapat dua alasan dalam
mengatasi kesulitan tersebut. Pertama, sepanjang masa anak-anak, masalah anak-
anak diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam menghadapi masalah. Kedua, karena remaja merasa diri
mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan
orangtua dan guru.
Remaja dalam menghadapi berbagai masalah perkembangannya
memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan
memperlakukannya secara bijaksana, sesuai dengan kebutuhannya. Remaja
membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orangtua untuk
membantu mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya (Dagun, 1992).
Bimbingan dan pengasuhan ini tercermin dalam pola pengasuhan orangtua (child
rearing).
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orangtua dengan anaknya
selama mengadakan pengasuhan, yang berarti orangtua mendidik, membimbing
dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001). Dampak pola
asuh orangtua terhadap kinerja anak telah banyak ditunjukkan dalam beberapa
penelitian. Beberapa kinerja tersebut meliputi intensi prososial, kompetensi sosial,
prestasi belajar, sikap asertif, penyesuaian diri, prokrastinasi akademik, dan
rendahnya agresivitas (Nashori, 2002).
Menurut Baumrind (Mahmud, 2003) ada tiga bentuk pola pengasuhan
yang sering diterapkan orangtua terhadap remaja, yaitu otoriter, permisif, dan
demokratis. Pola asuh yang diterapkan orangtua dalam keluarga dapat
mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian remaja, salah satunya adalah
kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalahnya.
Argyle dan Henderson (Barus, 2003) dalam penelitiannya menemukan
bahwa timbulnya permasalahan yang dialami remaja berkaitan dengan dukungan
pengasuhan orang tua. Remaja yang mendapat dukungan pengasuhan yang positif
dari orang tua akan memiliki hubungan yang baik dengan saudara dan teman,
memiliki prestasi akademik yang bagus, serta memiliki harga diri yang tinggi,
sehingga dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik. Sebaliknya, remaja yang
tidak mendapat dukungan pengasuhan yang positif dari orang tua akan
mengakibatkan remaja kesulitan dalam mengatasi permasalahannya sehingga
harga dirinya rendah, memiliki prestasi yang buruk disekolah, penyesuaian sosial
jelek dan sering terlibat dalam perilaku anti sosial atau kenakalan.
Salah satu pola asuh yang diterapkan orangtua adalah pola asuh
demokratis. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis akan lebih
menguntungkan bagi perkembangan remaja. Gordon (1996) menyatakan bahwa
remaja yang diasuh oleh orangtua yang demokratis seringkali lebih mampu
menyelesaikan masalahnya dengan baik karena didalam keluarga yang
demokratis, orangtua mampu menjadi model yang baik bagi remaja, remaja
dilibatkan dan dilatih bagaimana menggunakan pemecahan masalah untuk
menetapkan aturan-aturan keluarga, merencanakan kegiatan dirumah serta
memecahkan semua konflik. Sehingga remaja mempunyai pengalaman apabila
orangtua tidak lagi menjadi pemberi penyelesaian dan pembuat keputusan, maka
remaja mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Keterbukaan komunikasi antara remaja -orangtua juga mempengaruhi
kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalahnya. Komunikasi yang terbuka
antara remaja dan orangtua membuat komunikasi menjadi efektif. Keterbukaan
komunikasi diartikan sebagai sikap saling percaya, saling menghargai dan saling
jujur yang terjalin selama proses komunikasi berlangsung. Tidak adanya
keterbukaan komunikasi akan menjadi para anggota keluarga merasa terasing,
kesepian, tidak dihargai, dan merasa tidak diterima (Milasari, 2005).
Remaja yang tidak mendapat bimbingan dan pengetahuan yang cukup dari
orangtua cenderung coba -coba dan mencari penyelesaian masalah dari sumber
informal, misalnya membahas dengan teman sebaya, mencari di majalah, internet
dan sebagainya. Namun hal ini kadang-kadang tidak memberi penyeles aian yang
baik dan justru membuat permasalahan semakin rumit.
Idealnya remaja terbuka berkomunikasi dengan orangtuanya, karena
orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan
diri remaja, dan sebagai tempat yang aman bagi remaja untuk berbagi masalah,
informasi, dan berbagi kasih sayang. Fenomena yang ada, seiring dengan
perkembangan sosialnya, sebagian besar anak-anak setelah menginjak usia remaja
cenderung lebih dekat dengan peer groupnya
dan menjadi kurang terbuka
berkomunikasi dengan orangtuanya sehingga mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan masalahnya.
Remaja merasa segan dan canggung untuk menceritakan semua
masalahnya dan meminta bimbingan dalam menyelesaikan masalahnya kepada
orangtua, karena orang tua tidak memberikan kesempatan pada remaja untuk
mengemukakan permasalahannya. Orangtua hanya memberi larangan dan nasehat
terhadap apa yang dilakukan remaja. Akibatnya remaja menjadi menutup diri
karena merasa tidak aman, tidak bebas mengemukakan persoalannya maupun
perasaannya sehingga menimbulkan jurang komunikasi antara orangtua dengan
remaja. Remaja lebih senang untuk terbuka berkomunikasi dengan teman-
temannya (peer group) karena orangtua tidak mengerti dunianya (Milasari, 2005).
Penerapan pola asuh dan adanya keterbukaan komunikasi remaja -orangtua
akan mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah. Penerapan pola asuh
yang buruk dan tidak adanya keterbukaan komunikasi remaja-orangtua akan
menyebabkan rendahnya kemampuan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti merumuskan masalah “Apakah
ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orangtua dan keterbukaan
komunikasi remaja -orangtua dengan kemampuan menyelesaikan masalah?”. Dari
rumusan masalah tersebut maka diambil judul “ Kemampuan menyelesaikan
masalah ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orangtua dan keterbukaan
komunikasi remaja -orangtua”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja adalah tunas harapan bangsa, generasi tumpuan masa depan.
Dewasa ini orangtua dan pendidik menjadi semakin cemas me lihat kondisi remaja
sekarang yang memprihatinkan, karena banyaknya masalah yang dihadapi baik
yang berkaitan dengan masalah akademik maupun masalah sosial.
Masalah itu timbul seiring dengan perkembangan remaja yang sedang
dalam masa transisi. Masa transisi yaitu suatu masa peralihan dari masa anak-anak
kemasa dewasa. Secara umum dan dalam kondisi normal sekalipun, masa ini
merupakan periode yang sulit untuk ditempuh, baik secara individual ataupun
kelompok, sehingga remaja sering dikatakan sebagai kelompok umur bermasalah
(the trouble teens). Adanya kematangan fisik dan mental tanpa diimbangi
percepatan pematangan emosi menyebabkan permasalahan yang dialami remaja
semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu
penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan
selanjutnya (Hurlock, 1997).
Daradjat (2000) mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi oleh
remaja adalah: (1) masalah yang menyangkut pertumbuhan jasmani, (2) masalah
hubungan dengan orangtua yang disebabkan karena kurangnya pengertian orang
tua terhadap pertumbuhan yang dihadapi anak, (3) masalah agama, (4) masalah
masa depan, (5) masalah sosial dimana pada masa ini perhatian remaja terhadap
kedudukannya dalam masyarakat sangat besar, remaja ingin selalu diterima oleh
kawan-kawannya. Didalam menghadapi masalah yang begitu kompleks tersebut,
banyak remaja yang dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang
ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali
menjadi tidak percaya diri, prestasi disekolah menurun, hubungan dengan teman
menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi
(Gordon, 1996).
Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang
terdiri dari teman sebaya dan melakukan aktivitas yang negatif seperti perkelahian
antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri, memalak,
serta melakukan tindakan yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri. Hal ini
merupakan fenomena yang lazim disebut kenakalan remaja. Masalah lain yang
cukup serius ialah, perilaku seks remaja yang semakin bebas, penyalahgunaan
narkoba, tak termotivasi di sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, remaja yang
meninggalkan bangku sekolah dan hidup santai masuk-keluar klab malam maupun
perilaku remaja yang suka menghabiskan waktunya di mall dan bioskop.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa tidak semua remaja
memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik. Kalau saja remaja
mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik, mereka tidak akan
melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Remaja akan berusaha
untuk menganalisis permasalahan yang ada, kemudian mencari alternatif
penyelesaian masalah yang tepat (Susilowati, 2003).
Menurut Hurlock (1997) selama masa remaja, masalah yang muncul
sering menjadi masalah yang sulit diatasi oleh remaja. Terdapat dua alasan dalam
mengatasi kesulitan tersebut. Pertama, sepanjang masa anak-anak, masalah anak-
anak diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam menghadapi masalah. Kedua, karena remaja merasa diri
mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan
orangtua dan guru.
Remaja dalam menghadapi berbagai masalah perkembangannya
memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan
memperlakukannya secara bijaksana, sesuai dengan kebutuhannya. Remaja
membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orangtua untuk
membantu mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya (Dagun, 1992).
Bimbingan dan pengasuhan ini tercermin dalam pola pengasuhan orangtua (child
rearing).
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orangtua dengan anaknya
selama mengadakan pengasuhan, yang berarti orangtua mendidik, membimbing
dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2001). Dampak pola
asuh orangtua terhadap kinerja anak telah banyak ditunjukkan dalam beberapa
penelitian. Beberapa kinerja tersebut meliputi intensi prososial, kompetensi sosial,
prestasi belajar, sikap asertif, penyesuaian diri, prokrastinasi akademik, dan
rendahnya agresivitas (Nashori, 2002).
Menurut Baumrind (Mahmud, 2003) ada tiga bentuk pola pengasuhan
yang sering diterapkan orangtua terhadap remaja, yaitu otoriter, permisif, dan
demokratis. Pola asuh yang diterapkan orangtua dalam keluarga dapat
mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian remaja, salah satunya adalah
kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalahnya.
Argyle dan Henderson (Barus, 2003) dalam penelitiannya menemukan
bahwa timbulnya permasalahan yang dialami remaja berkaitan dengan dukungan
pengasuhan orang tua. Remaja yang mendapat dukungan pengasuhan yang positif
dari orang tua akan memiliki hubungan yang baik dengan saudara dan teman,
memiliki prestasi akademik yang bagus, serta memiliki harga diri yang tinggi,
sehingga dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik. Sebaliknya, remaja yang
tidak mendapat dukungan pengasuhan yang positif dari orang tua akan
mengakibatkan remaja kesulitan dalam mengatasi permasalahannya sehingga
harga dirinya rendah, memiliki prestasi yang buruk disekolah, penyesuaian sosial
jelek dan sering terlibat dalam perilaku anti sosial atau kenakalan.
Salah satu pola asuh yang diterapkan orangtua adalah pola asuh
demokratis. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis akan lebih
menguntungkan bagi perkembangan remaja. Gordon (1996) menyatakan bahwa
remaja yang diasuh oleh orangtua yang demokratis seringkali lebih mampu
menyelesaikan masalahnya dengan baik karena didalam keluarga yang
demokratis, orangtua mampu menjadi model yang baik bagi remaja, remaja
dilibatkan dan dilatih bagaimana menggunakan pemecahan masalah untuk
menetapkan aturan-aturan keluarga, merencanakan kegiatan dirumah serta
memecahkan semua konflik. Sehingga remaja mempunyai pengalaman apabila
orangtua tidak lagi menjadi pemberi penyelesaian dan pembuat keputusan, maka
remaja mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Keterbukaan komunikasi antara remaja -orangtua juga mempengaruhi
kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalahnya. Komunikasi yang terbuka
antara remaja dan orangtua membuat komunikasi menjadi efektif. Keterbukaan
komunikasi diartikan sebagai sikap saling percaya, saling menghargai dan saling
jujur yang terjalin selama proses komunikasi berlangsung. Tidak adanya
keterbukaan komunikasi akan menjadi para anggota keluarga merasa terasing,
kesepian, tidak dihargai, dan merasa tidak diterima (Milasari, 2005).
Remaja yang tidak mendapat bimbingan dan pengetahuan yang cukup dari
orangtua cenderung coba -coba dan mencari penyelesaian masalah dari sumber
informal, misalnya membahas dengan teman sebaya, mencari di majalah, internet
dan sebagainya. Namun hal ini kadang-kadang tidak memberi penyeles aian yang
baik dan justru membuat permasalahan semakin rumit.
Idealnya remaja terbuka berkomunikasi dengan orangtuanya, karena
orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan
diri remaja, dan sebagai tempat yang aman bagi remaja untuk berbagi masalah,
informasi, dan berbagi kasih sayang. Fenomena yang ada, seiring dengan
perkembangan sosialnya, sebagian besar anak-anak setelah menginjak usia remaja
cenderung lebih dekat dengan peer groupnya
dan menjadi kurang terbuka
berkomunikasi dengan orangtuanya sehingga mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan masalahnya.
Remaja merasa segan dan canggung untuk menceritakan semua
masalahnya dan meminta bimbingan dalam menyelesaikan masalahnya kepada
orangtua, karena orang tua tidak memberikan kesempatan pada remaja untuk
mengemukakan permasalahannya. Orangtua hanya memberi larangan dan nasehat
terhadap apa yang dilakukan remaja. Akibatnya remaja menjadi menutup diri
karena merasa tidak aman, tidak bebas mengemukakan persoalannya maupun
perasaannya sehingga menimbulkan jurang komunikasi antara orangtua dengan
remaja. Remaja lebih senang untuk terbuka berkomunikasi dengan teman-
temannya (peer group) karena orangtua tidak mengerti dunianya (Milasari, 2005).
Penerapan pola asuh dan adanya keterbukaan komunikasi remaja -orangtua
akan mempengaruhi kemampuan menyelesaikan masalah. Penerapan pola asuh
yang buruk dan tidak adanya keterbukaan komunikasi remaja-orangtua akan
menyebabkan rendahnya kemampuan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti merumuskan masalah “Apakah
ada hubungan antara persepsi terhadap pola asuh orangtua dan keterbukaan
komunikasi remaja -orangtua dengan kemampuan menyelesaikan masalah?”. Dari
rumusan masalah tersebut maka diambil judul “ Kemampuan menyelesaikan
masalah ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orangtua dan keterbukaan
komunikasi remaja -orangtua”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: