BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan sebagai pria dan wanita, hanya dengan melihat
genital fisiknya manusia dapat mengetahui dengan jelas identitas gendernya
sebagai pria atau wanita. Namun terdapat sekelompok manusia yang merasa
genital fisiknya salah, dikarenakan sekelompok manusia tersebut merasa sebagai
anggota jenis kelamin yang berlawanan dengan genital fisiknya, seperti ketika
seorang pria merasa terperangkap dalam tubuh wanita, atau sebaliknya seorang
wanita merasa terperangkap dalam tubuh pria maka hal itu disebut sebagai
fenomena transseksual. Transseksual merupakan masalah identitas gender, yaitu
kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang
apakah dirinya pria atau wanita. Seorang transseksual memiliki identitas gender
yang berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki berdasarkan genital fisiknya
(Yash, 2003).
Benjamin (Yash, 2003) mendefinisikan transseksualisme sebagai suatu
gangguan identitas gender pada seseorang yang merupakan anggota sebuah sekse
yang memiliki keinginan yang tetap dan terus menerus “perubahan” sekse secara
medis, operatif dan sah hingga memungkinkan mereka untuk hidup sebagai
anggota gender kebalikan dari gender yang mereka miliki. Gambaran
transseksualisme adalah adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota
dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau
ketidakserasian dengan anatomi seksualnya dan adanya keinginan untuk
mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip
mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan (Maslim, 2002). Kriteria
diagnostik yang harus dipenuhi transseksualisme haruslah individu yang benar-
benar normal secara kejiwaan. Bukanlah seorang transseksual apabila kondisi dan
keluhan-keluhan yang dimiliki terbukti disebabkan oleh gangguan kejiwaan,
seperti skizofrenia, atau disertai oleh suatu kelainan intersek, genetik atau
kromosom.
Terdapat dua macam transseksual, yaitu transseksual laki-laki ke
perempuan (male to female transsexuals atau MtF), memiliki tubuh laki-laki tapi
mempunyai keinginan untuk hidup dan diterima oleh lingkungan sebagai
perempuan, dan transseksual perempuan ke laki-laki (female to male transsexuals
atau FtM), memiliki tubuh perempuan tapi mempunyai keinginan untuk hidup dan
diterima oleh lingkungan sebagai laki-laki (Yash, 2003).
Penelitian ini difokuskan pada individu yang mengalami transseksual
dari laki-laki ke perempuan yang lebih dikenal dengan sebutan waria, wadam,
bencong, banci, wandu. Sedangkan individu yang mengalami transseksual dari
perempuan ke laki-laki dikenal dengan sebutan wanita tomboy atau gadis tomboy.
Definisi waria mengacu pada pengertian bahwa secara fisik mereka adalah laki-
laki normal, memiliki kelamin normal, namun secara psikis mereka merasa
dirinya perempuan. Akibatnya perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku,
fisik mereka laki-laki namun cara berjalan, berbicara dan dandan mereka mirip
perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jiwa mereka
terperangkap dalam tubuh yang salah (Koeswinarno, 2004).
Kehadiran waria sebagai bagian kehidupan sosial rasanya tidak bisa
dihindari dan akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat
untuk mencegahnya. Goh (Yash, 2003) mengungkapkan bahwa transseksualisme
timbul dua atau empat kali lebih banyak pada pria daripada pada wanita. Hasil
penelitian tersebut didukung oleh kesamaran keberadaan kaum transseksual
wanita yang dapat disebabkan oleh karena masyarakat cenderung mendorong
terjadinya beberapa kesamaran yang mungkin terjadi. Gadis-gadis tomboy
dibiarkan tidak terusik, atau kadang-kadang malah menjadi kebanggaan.
Sebaliknya, orang tua langsung resah melihat anak laki-laki bersikap kewanita-
wanitaan, atau berdandan dengan gincu dan memakai sepatu wanita. Wanita yang
memakai celana panjang dan berambut pendek kita pandang bergaya sportif.
Tetapi pria yang mengenakan gaun serta merta kita anggap banci (Matra dalam
Yash, 2003). Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat memiliki
penerimaan yang lebih baik dari pada sebelumnya pada waria sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya acara hiburan yang
melibatkan waria terutama di media elektronik, banyaknya salon-salon ternama
yang dikeloa oleh waria, dan hal tersebut merupakan wujud dari penerimaan
masyarakat terhadap waria secara positif. Artinya masyarakat dapat menghargai
waria sebagai individu yang mempunyai bakat-bakat tertentu, bukan sebagai
individu yang hanya semata-mata mencari uang dengan melacurkan diri. Selain
itu bagi waria sendiri hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan waria.
Penelitian yang dilakukan Koeswinarno (1997) menyimpulkan bahwa
ruang sosial waria dibagi menjadi tiga. Pertama, ruang sosial keluarga, kehadiran
waria dalam keluarga merupakan sebuah proses historis. Pembentukan
kepribadian waria merupakan proses yang cukup panjang, kebiasaan-kebiasaan
pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan yang kemudian mendapat
penegasan pada masa-masa remaja, menjadi penyumbang terciptanya waria.
Kedua, ruang sosial cebongan (tempat pelacuran), seorang “kandidat waria”,
biasanya ditandai dengan proses lari dari rumah, cebongan merupakan media yang
sangat berperan dalam menegaskan jati diri untuk tampil “menjadi waria” dan
cebongan tersebut menjadi sarana sosialisasi untuk mengenal dunia waria yang
sebenarnya bagi kandidat waria. Ketiga, ruang sosial masyarakat, seorang waria
diterima atau ditolak didalam masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana ia
membangun suatu negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian sosial itu
sendiri. Sementara itu mayarakat menolak atau menerima kehadiran waria
ditentukan oleh kemampuan waria, baik secara individual maupun kolektif di
dalam mempresentasikan perilakunya sehari-hari.
Dorce Gamalama merupakan sebuah kasus yang bisa diambil sebagai
penggambaran eksistensi seorang waria yang telah mendapatkan pengakuan dari
masyarakat maupun pengakuan secara hukum berkenaan dengan identitas dirinya
sebagai poerempuan. Dorce merasa menemukan jati dirinya saat bergabung
dengan Myrna yakni seorang waria yang memimpin sebuah kelompok
pertunjukan “Fantastic Dolls” yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap
serta lawak yang beranggotakan waria “Jati diri saya sebagai wanita makin eksis,”
paparnya berterus terang. “Meski fisik saya lelaki, sejak kecil saya merasakan
jiwa saya bukan lelaki. Saat masih kanak-kanak dan suka mengaji di Al-Wasliyah,
saya bahkan jealous saat teman mengaji saya, seorang gadis yang bernama Siti,
ditaksir oleh seorang cowok yang ganteng. Kenapa? Karena saya juga naksir pada
cowok itu. Jadi, sejak kecil saya tidak pernah tertarik pada wanita. Saya bahkan
jijik dan geli kalau tanpa sengaja melihat buah dada wanita”
(http://www.femina-online.com/serial/dorce/srldorce2.html diakses 8 Januari
2005). Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa hidup menjadi waria
merupakan proses historis yang dimulai dari masa kanak-kanak hingga menjadi
seseorang yang benar-benar dapat mempresentasikan secara total perilakunya
sebagai waria.
Penelitian yang dilakukan Yusof, dkk (2002) menyimpulkan bahwa
perilaku menyimpang transseksual terjadi antara lain dikarena hilangnya model
kelaki-lakian yang diturunkan oleh ayah kepada subjek, terutama semasa subjek
kecil. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui pentingnya peran ayah dalam
mengasuh anak laki-lakinya terutama dalam pembentukan identitas jenis kelamin.
Penelitian tentang waria juga dilakukan oleh Prestyowati (1999) yang
menyimpulkan bahwa faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi waria
adalah faktor kebiasaan dan pengaruh pergaulan. Hal ini diungkap dari adanya
subjek penelitian yang menjadi waria karena sering bergaul dengan para waria.
Padahal sebelumnya dia merasa menjadi laki-laki normal. Lebih-lebih waria
sering berusaha mencari ‘mangsa’. Kalau ada pria yang tampak berwajah ‘cantik’,
ada potensi kemayu, maka dengan pengaruh waria, pria tersebut dapat diajari
menjadi waria. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa
respon yang diberikan waria terhadap laki-laki tersebut dapat dijadikan cermin
untuk menilai dan memandang dirinya sendiri yang pada gilirannya akan
menggunakan penilaian tersebut sebagai tolok ukur dalam berperilaku.
Sementara itu dapat dikatakan bahwa perilaku individu sebagian besar
ditentukan oleh konsep dirinya atau dapat dikatakan pula bahwa perilaku individu
akan sesuai dengan cara individu dalam memandang dan menilai dirinya. Fitts
menjelaskan konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsikan dan dialami
orang tersebut, karena makna konsep diri ini mengandung unsur penilaian dan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain
(Tarakanita, 2001).
Sebuah komponen dasar dari konsep diri adalah identitas peran seks yang
merupakan konseptualiasasi ke-maskulinan dan ke-femininan diri, yaitu
sejauhmana individu tersebut cocok dengan keyakinan-keyakinan yang disetujui
oleh publik mengenai karakteristik-karakteristik yang sesuai bagi laki-laki dan
perempuan (Burns, 1993). Konsep diri mempunyai peranan penting dalam
menentukan perilaku individu. Pada individu yang tidak mengalami gangguan
identitas jenis kelamin mempunyai pandangan dan penilaian terhadap dirinya
sendiri sesuai dengan genital fisik yang dimiliki, sehingga dapat berperilaku dan
mempunyai keinginan untuk hidup dan diterima sesuai dengan jenis kelaminnya.
Akan tetapi waria adalah seorang laki-laki tapi mempunyai keinginan untuk hidup
dan diterima sebagai wanita, sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya waria bersikap dan berperilaku seperti wanita serta memakai atribut
wanita..
Bagaimana konsep diri pada waria yang dapat dilihat dari cara waria
menggambarkan dirinya sendiri sehingga berperilaku sebagai anggota jenis
kelamin yang lain dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya
konsep diri pada waria, merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Untuk dapat
mengkaji masalah tersebut, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul
“Konsep Diri Pada Waria”.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan sebagai pria dan wanita, hanya dengan melihat
genital fisiknya manusia dapat mengetahui dengan jelas identitas gendernya
sebagai pria atau wanita. Namun terdapat sekelompok manusia yang merasa
genital fisiknya salah, dikarenakan sekelompok manusia tersebut merasa sebagai
anggota jenis kelamin yang berlawanan dengan genital fisiknya, seperti ketika
seorang pria merasa terperangkap dalam tubuh wanita, atau sebaliknya seorang
wanita merasa terperangkap dalam tubuh pria maka hal itu disebut sebagai
fenomena transseksual. Transseksual merupakan masalah identitas gender, yaitu
kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang
apakah dirinya pria atau wanita. Seorang transseksual memiliki identitas gender
yang berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki berdasarkan genital fisiknya
(Yash, 2003).
Benjamin (Yash, 2003) mendefinisikan transseksualisme sebagai suatu
gangguan identitas gender pada seseorang yang merupakan anggota sebuah sekse
yang memiliki keinginan yang tetap dan terus menerus “perubahan” sekse secara
medis, operatif dan sah hingga memungkinkan mereka untuk hidup sebagai
anggota gender kebalikan dari gender yang mereka miliki. Gambaran
transseksualisme adalah adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota
dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau
ketidakserasian dengan anatomi seksualnya dan adanya keinginan untuk
mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip
mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan (Maslim, 2002). Kriteria
diagnostik yang harus dipenuhi transseksualisme haruslah individu yang benar-
benar normal secara kejiwaan. Bukanlah seorang transseksual apabila kondisi dan
keluhan-keluhan yang dimiliki terbukti disebabkan oleh gangguan kejiwaan,
seperti skizofrenia, atau disertai oleh suatu kelainan intersek, genetik atau
kromosom.
Terdapat dua macam transseksual, yaitu transseksual laki-laki ke
perempuan (male to female transsexuals atau MtF), memiliki tubuh laki-laki tapi
mempunyai keinginan untuk hidup dan diterima oleh lingkungan sebagai
perempuan, dan transseksual perempuan ke laki-laki (female to male transsexuals
atau FtM), memiliki tubuh perempuan tapi mempunyai keinginan untuk hidup dan
diterima oleh lingkungan sebagai laki-laki (Yash, 2003).
Penelitian ini difokuskan pada individu yang mengalami transseksual
dari laki-laki ke perempuan yang lebih dikenal dengan sebutan waria, wadam,
bencong, banci, wandu. Sedangkan individu yang mengalami transseksual dari
perempuan ke laki-laki dikenal dengan sebutan wanita tomboy atau gadis tomboy.
Definisi waria mengacu pada pengertian bahwa secara fisik mereka adalah laki-
laki normal, memiliki kelamin normal, namun secara psikis mereka merasa
dirinya perempuan. Akibatnya perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku,
fisik mereka laki-laki namun cara berjalan, berbicara dan dandan mereka mirip
perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jiwa mereka
terperangkap dalam tubuh yang salah (Koeswinarno, 2004).
Kehadiran waria sebagai bagian kehidupan sosial rasanya tidak bisa
dihindari dan akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat
untuk mencegahnya. Goh (Yash, 2003) mengungkapkan bahwa transseksualisme
timbul dua atau empat kali lebih banyak pada pria daripada pada wanita. Hasil
penelitian tersebut didukung oleh kesamaran keberadaan kaum transseksual
wanita yang dapat disebabkan oleh karena masyarakat cenderung mendorong
terjadinya beberapa kesamaran yang mungkin terjadi. Gadis-gadis tomboy
dibiarkan tidak terusik, atau kadang-kadang malah menjadi kebanggaan.
Sebaliknya, orang tua langsung resah melihat anak laki-laki bersikap kewanita-
wanitaan, atau berdandan dengan gincu dan memakai sepatu wanita. Wanita yang
memakai celana panjang dan berambut pendek kita pandang bergaya sportif.
Tetapi pria yang mengenakan gaun serta merta kita anggap banci (Matra dalam
Yash, 2003). Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat memiliki
penerimaan yang lebih baik dari pada sebelumnya pada waria sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya acara hiburan yang
melibatkan waria terutama di media elektronik, banyaknya salon-salon ternama
yang dikeloa oleh waria, dan hal tersebut merupakan wujud dari penerimaan
masyarakat terhadap waria secara positif. Artinya masyarakat dapat menghargai
waria sebagai individu yang mempunyai bakat-bakat tertentu, bukan sebagai
individu yang hanya semata-mata mencari uang dengan melacurkan diri. Selain
itu bagi waria sendiri hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur
penerimaan masyarakat terhadap keberadaan waria.
Penelitian yang dilakukan Koeswinarno (1997) menyimpulkan bahwa
ruang sosial waria dibagi menjadi tiga. Pertama, ruang sosial keluarga, kehadiran
waria dalam keluarga merupakan sebuah proses historis. Pembentukan
kepribadian waria merupakan proses yang cukup panjang, kebiasaan-kebiasaan
pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan yang kemudian mendapat
penegasan pada masa-masa remaja, menjadi penyumbang terciptanya waria.
Kedua, ruang sosial cebongan (tempat pelacuran), seorang “kandidat waria”,
biasanya ditandai dengan proses lari dari rumah, cebongan merupakan media yang
sangat berperan dalam menegaskan jati diri untuk tampil “menjadi waria” dan
cebongan tersebut menjadi sarana sosialisasi untuk mengenal dunia waria yang
sebenarnya bagi kandidat waria. Ketiga, ruang sosial masyarakat, seorang waria
diterima atau ditolak didalam masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana ia
membangun suatu negosiasi dengan masyarakat untuk menjadi bagian sosial itu
sendiri. Sementara itu mayarakat menolak atau menerima kehadiran waria
ditentukan oleh kemampuan waria, baik secara individual maupun kolektif di
dalam mempresentasikan perilakunya sehari-hari.
Dorce Gamalama merupakan sebuah kasus yang bisa diambil sebagai
penggambaran eksistensi seorang waria yang telah mendapatkan pengakuan dari
masyarakat maupun pengakuan secara hukum berkenaan dengan identitas dirinya
sebagai poerempuan. Dorce merasa menemukan jati dirinya saat bergabung
dengan Myrna yakni seorang waria yang memimpin sebuah kelompok
pertunjukan “Fantastic Dolls” yang bergerak dalam bidang nyanyi, tari, sulap
serta lawak yang beranggotakan waria “Jati diri saya sebagai wanita makin eksis,”
paparnya berterus terang. “Meski fisik saya lelaki, sejak kecil saya merasakan
jiwa saya bukan lelaki. Saat masih kanak-kanak dan suka mengaji di Al-Wasliyah,
saya bahkan jealous saat teman mengaji saya, seorang gadis yang bernama Siti,
ditaksir oleh seorang cowok yang ganteng. Kenapa? Karena saya juga naksir pada
cowok itu. Jadi, sejak kecil saya tidak pernah tertarik pada wanita. Saya bahkan
jijik dan geli kalau tanpa sengaja melihat buah dada wanita”
(http://www.femina-online.com/serial/dorce/srldorce2.html diakses 8 Januari
2005). Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa hidup menjadi waria
merupakan proses historis yang dimulai dari masa kanak-kanak hingga menjadi
seseorang yang benar-benar dapat mempresentasikan secara total perilakunya
sebagai waria.
Penelitian yang dilakukan Yusof, dkk (2002) menyimpulkan bahwa
perilaku menyimpang transseksual terjadi antara lain dikarena hilangnya model
kelaki-lakian yang diturunkan oleh ayah kepada subjek, terutama semasa subjek
kecil. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui pentingnya peran ayah dalam
mengasuh anak laki-lakinya terutama dalam pembentukan identitas jenis kelamin.
Penelitian tentang waria juga dilakukan oleh Prestyowati (1999) yang
menyimpulkan bahwa faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi waria
adalah faktor kebiasaan dan pengaruh pergaulan. Hal ini diungkap dari adanya
subjek penelitian yang menjadi waria karena sering bergaul dengan para waria.
Padahal sebelumnya dia merasa menjadi laki-laki normal. Lebih-lebih waria
sering berusaha mencari ‘mangsa’. Kalau ada pria yang tampak berwajah ‘cantik’,
ada potensi kemayu, maka dengan pengaruh waria, pria tersebut dapat diajari
menjadi waria. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa
respon yang diberikan waria terhadap laki-laki tersebut dapat dijadikan cermin
untuk menilai dan memandang dirinya sendiri yang pada gilirannya akan
menggunakan penilaian tersebut sebagai tolok ukur dalam berperilaku.
Sementara itu dapat dikatakan bahwa perilaku individu sebagian besar
ditentukan oleh konsep dirinya atau dapat dikatakan pula bahwa perilaku individu
akan sesuai dengan cara individu dalam memandang dan menilai dirinya. Fitts
menjelaskan konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsikan dan dialami
orang tersebut, karena makna konsep diri ini mengandung unsur penilaian dan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain
(Tarakanita, 2001).
Sebuah komponen dasar dari konsep diri adalah identitas peran seks yang
merupakan konseptualiasasi ke-maskulinan dan ke-femininan diri, yaitu
sejauhmana individu tersebut cocok dengan keyakinan-keyakinan yang disetujui
oleh publik mengenai karakteristik-karakteristik yang sesuai bagi laki-laki dan
perempuan (Burns, 1993). Konsep diri mempunyai peranan penting dalam
menentukan perilaku individu. Pada individu yang tidak mengalami gangguan
identitas jenis kelamin mempunyai pandangan dan penilaian terhadap dirinya
sendiri sesuai dengan genital fisik yang dimiliki, sehingga dapat berperilaku dan
mempunyai keinginan untuk hidup dan diterima sesuai dengan jenis kelaminnya.
Akan tetapi waria adalah seorang laki-laki tapi mempunyai keinginan untuk hidup
dan diterima sebagai wanita, sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya waria bersikap dan berperilaku seperti wanita serta memakai atribut
wanita..
Bagaimana konsep diri pada waria yang dapat dilihat dari cara waria
menggambarkan dirinya sendiri sehingga berperilaku sebagai anggota jenis
kelamin yang lain dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya
konsep diri pada waria, merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Untuk dapat
mengkaji masalah tersebut, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul
“Konsep Diri Pada Waria”.