BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan dan poitik adalah dua hal yang menarik dibicarakan sekaligus
sering dianggap bertolak belakang. Paradoks yang terjadi, dimana perempuan
menjadi jumlah terbesar pemberi suara dan peristiwa politik besar, seperti pemilu
tahun 2004, jumlah pemilih perempuan 53 % namun dalam posisi parlemen
hanya berjumlah 11% atau berjumlah 61 dari 550 anggota legislatif yang ada
(KPU 2004 dalam Widyani Soetjipto, 2005). Melihat kondisi ini tentu saja tidak
mengherankan ketika keputusan yang berkaitan dengan kaum perempuan
seringkali tidak mempresentasikan kepentingan perempuan dan mendiskriminasi
posisi perempuan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh pola kerja sebagian besar partai-partai
politik dan struktur pemerintahan yang masih terus saja menjadi perintang bagi
partisipasi kaum perempuan pada kehidupan kenegaraan. Sering ditemui
perempuan dalam mencari jabatan-jabatan politik dapat dikecewakan oleh
praktek-praktek dan sikap-sikap yang diskriminatif. Darokah (2000)
mengungkapkan bahwa selama perempuan masih dipasung dalam
ketidakmandirian dan masih dikurung dalam kawasan domestik yang tidak
dihargai oleh perempuan, banyak kendala yang menghadang perempuan untuk
mencapai posisi puncak dalam berperan dimasyarakat, seperti ; (1) masih cukup
kuatnya faktor pengaruh budaya nilai-nilai agama dan sosial budaya (khususnya
budaya paternalistik dan endocentris yang menempatkan laki-laki lebih unggul
dibandingkan perempuan) ; (2) peran yang dimiliki perempuan dewasa ini sedikit
banyak berpengaruh terhadap kesempatan perempuan untuk mengembangkan
dirinya. Perempuan menjadi diperlakuan tidak adil karena terlahir sebagai seorang
perempuan, dipertegas oleh Indriyati Suparno dkk (2005) bahwa faktor-faktor
yang menghambat perempuan adalah; faktor kultural, yakni praktek-praktek
sosial yang didasari sikap cenderung menyudutkan perempuan dan
melanggengkan peran domestiknya, pemahaman masyarakat bahwa politik adalah
dunianya laki-laki, sementara wilayah perempuan ada pada wilayah domestik
adalah contoh yang menjadi kendala bagi perempuan untuk duduk dilembaga-
lembaga strategis; dan faktor struktural yaitu lemahnya posisi dan status
perempuan secara formal dilegalisasi melalui berbagai kebijakan publik yang
spesifik ditujukan perempuan. Proses lain yang terjadi adalah proses hegemoni
yaitu cara pandang, cara berfikir, idiologi kebudayaan, bahkan ‘selera’ golongan
yang mendominasi telah mempengaruhi golongan yang didomonasi (Fakih, 2002).
Dilengkapi oleh Lycette (dalam Adiati 2004) menyebutkan ada empat faktor yang
menjadi kendala partisipasi perempuan dalam urusan publik, yakni ; (1)
Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif, di dalam
maupun di luar rumah; (2) Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah
dan perbedaan kesempatan yang diperoleh anak perempuan dan laki-laki terjadi
diseluruh dunia; (3) Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian
kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dan laki-laki yang membatasi
gerak perempuan; dan (4) Adanya hambatan legal bagi perempuan, seperti
larangan kepemilikan tanah, larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau
program Keluarga Berencana tanpa persetujuan dari suami atau ayah.
Padahal jika melihat sejarah kaum perempuan telah menunjukkan
kepemimpinanya yang sangat berarti, dimasyarakat lingkungannya dan
organisasi-organisasi informal, demikian juga dalam jabatan-jabatan negara atau
pemerintahan. Akan tetapi karena kurang adanya sosialisasi dan pengaruh negatif
peranan klise jenis kelamin perempuan dan laki-laki termasuk citra klise yang
diperkuat lewat media massa, maka hal ini memperkuat kecenderungan bahwa
pembuat keputusan-keputusan strategis (politik) tetap dilakukan oleh kaum laki-
laki. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem pemerintahan demokratis yang
dianut Bangsa Indonesia dimana demokrasi mensyaratkan semua elemen-elemen
dalam masyarakat harus diakomodir aspirasi dan kepentingannya tanpa adanya
diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, status sosial ekonomi dan gender.
Keterlibatan warga negara dalam sistem pengambilan keputusan publik sangat
tergantung pada bagaimana sistem politik memberikan ruang-ruang bagi warga
masyarakatnya untuk menyampaikan aspirasinya.
Demokrasi tidak mungkin berjalan dengan masyarakat yang patriarkis
(menempatkan nilai laki-laki pada posisi dominan) yang selalu
mendiskriminasikan perempuan dalam proses politik. Perempuan semata-mata
dijadikan alat politik dan akhirnya menjadi kaum inferior dan terbungkam.
Perempuan oleh masyarakat dipaksa untuk menerima diri mereka sebagai
pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun minimnya pengalaman
dan pengetahuan serta akses yang sulit ke kancah politik membuat perempuan
hanya menjadi figuran (Jurnal Perempuan, 2004 : 23). Berbeda dengan hasil
penelitian Indriyati Suparno dkk (2005) bahwa perempuan lebih banyak
“dimasukkan” dalam organisasi-organisasi yang kurang strategis yaitu kurang
bersinggungan dengan proses-proses pengambilan kebijakan penting dalam
wilayah publik meskipun sebenarnya perempuan bukan pemain baru dalam
organisasi sosial dan organisasi politik tetapi perempuan jarang diperhitungkan
dikarenakan watak sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan
yang akan menghasilkan kebijakan yang sangat mempengaruhi kehidupan
perempuan dan hal ini menjadi keputusan strategis karena merumuskan hubungan
antara organisasi dan lingkungan. Seperti yang didefinisikan oleh Schwenk
(dalam Salusu, 1996) bahwa keputusan strategis bukan keputusan sederhana tetapi
memegang peranan penting karena menyangkut komitmen yang sangat luas
tentang sumber daya dan kemungkinan resiko besar yang ditimbulkan.
Ditambahkan oleh Hickson (dalam Salusu, 1996) bahwa selain melibatkan sumber
daya juga sangat kompleks, salah satu kompleksitas dalam keputusan strategis
adalah “keterlibatan” dari sejumlah orang dalam proses pengambilan keputusan.
Rendahnya kuantitas keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan
keputusan strategis pada tingkat legislatif menyebabkan kurang terakomodasinya
aspirasi dan kepentingan perempuan dalam pembangunan bangsa dan negara pada
umumnya. Padahal jika dilihat dari kemampuan menurut Mosse (dalam
Mildawani, 2002) kaum perempuan memiliki potensi dan kemampuan yang tidak
kalah dengan kemampuan laki-laki. Ditegaskan pula oleh Sagrestano (dalam
Mildawani, 2002) bahwa laki-laki dan perempuan dalam menentukan kebijakan
tidak menunjukkan perbedaan dalam pemilihan strategi ketika menghadapi
situasi-situasi disekelilingnya. Namun tingkat dominasi sangat berpengaruh,
menurut Egan (dalam Moordiningsih, 2000) Para pengambil keputusan kadang-
kadang melakukan tindakan yang dikuasai oleh sesuatu yang tampaknya benar,
tindakan dan situasi yang menonjol maupun tekanan pihak lain yang dominan.
Hal ini sangat mungkin bahwa secara psikis bukanlah suatu hal yang mudah bagi
perempuan untuk melakukan pengambilan keputusan apalagi untuk keputusan
strategis yang menyangkut kehidupan organisasi dan lingkungan secara
keseluruhan serta mempunyai implikasi kedepan dalam kondisi yang didominasi
oleh kaum laki-laki. Ditambah, selama ini sudah terlanjur tertanam perbedaan
peran sosial antara perempuan dan laki-laki yang muncul karena struktur sosial
kemasyarakatan.
Terkait dengan komposisi perempuan, Kota Surakarta memiliki dinamika
perpolitikan yang cukup menarik dan kenyataan bahwa era reformasi ternyata
tidak membawa pergeseran dan perubahan yang cukup signifikan. Keanggotaan
DPRD tingkat II Surakarta hasil pemilu 1999 mengalami kemerosotan, hal ini bisa
dilihat dari jumlah anggota perempuan hanya ada satu orang (2,2%) yang berasal
dari PDI-P dari 45 anggota DPRD (BPS, 2002). Kemudian hasil Pemiihan Umum
tahun 2004 jumlah perempuan hanya menambah satu orang meskipun sudah
disahkannya pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang penerapan kuota
keterwakilan perempuan yang sekurang-kurangnya 30%. Aplikasi pasal tersebut
terlihat masih lemah karena pada kenyataannya kurang dirasakan peningkatan
tingkat partisipasi politik perempuan di Surakarta.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut,
bagaimana kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan strategis yang
selama ini perannya termarjinalkan dilembaga legislatif dengan mengambil setting
lokasi DPRD Tingakat II Kota Surakarta. Penulis tertarik untuk menelitinya
dengan mengajukan judul peneliitian : Kontribusi Perempuan dalam
Pengambilan Keputusan Strategis di Lembaga Legislatif
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan dan poitik adalah dua hal yang menarik dibicarakan sekaligus
sering dianggap bertolak belakang. Paradoks yang terjadi, dimana perempuan
menjadi jumlah terbesar pemberi suara dan peristiwa politik besar, seperti pemilu
tahun 2004, jumlah pemilih perempuan 53 % namun dalam posisi parlemen
hanya berjumlah 11% atau berjumlah 61 dari 550 anggota legislatif yang ada
(KPU 2004 dalam Widyani Soetjipto, 2005). Melihat kondisi ini tentu saja tidak
mengherankan ketika keputusan yang berkaitan dengan kaum perempuan
seringkali tidak mempresentasikan kepentingan perempuan dan mendiskriminasi
posisi perempuan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh pola kerja sebagian besar partai-partai
politik dan struktur pemerintahan yang masih terus saja menjadi perintang bagi
partisipasi kaum perempuan pada kehidupan kenegaraan. Sering ditemui
perempuan dalam mencari jabatan-jabatan politik dapat dikecewakan oleh
praktek-praktek dan sikap-sikap yang diskriminatif. Darokah (2000)
mengungkapkan bahwa selama perempuan masih dipasung dalam
ketidakmandirian dan masih dikurung dalam kawasan domestik yang tidak
dihargai oleh perempuan, banyak kendala yang menghadang perempuan untuk
mencapai posisi puncak dalam berperan dimasyarakat, seperti ; (1) masih cukup
kuatnya faktor pengaruh budaya nilai-nilai agama dan sosial budaya (khususnya
budaya paternalistik dan endocentris yang menempatkan laki-laki lebih unggul
dibandingkan perempuan) ; (2) peran yang dimiliki perempuan dewasa ini sedikit
banyak berpengaruh terhadap kesempatan perempuan untuk mengembangkan
dirinya. Perempuan menjadi diperlakuan tidak adil karena terlahir sebagai seorang
perempuan, dipertegas oleh Indriyati Suparno dkk (2005) bahwa faktor-faktor
yang menghambat perempuan adalah; faktor kultural, yakni praktek-praktek
sosial yang didasari sikap cenderung menyudutkan perempuan dan
melanggengkan peran domestiknya, pemahaman masyarakat bahwa politik adalah
dunianya laki-laki, sementara wilayah perempuan ada pada wilayah domestik
adalah contoh yang menjadi kendala bagi perempuan untuk duduk dilembaga-
lembaga strategis; dan faktor struktural yaitu lemahnya posisi dan status
perempuan secara formal dilegalisasi melalui berbagai kebijakan publik yang
spesifik ditujukan perempuan. Proses lain yang terjadi adalah proses hegemoni
yaitu cara pandang, cara berfikir, idiologi kebudayaan, bahkan ‘selera’ golongan
yang mendominasi telah mempengaruhi golongan yang didomonasi (Fakih, 2002).
Dilengkapi oleh Lycette (dalam Adiati 2004) menyebutkan ada empat faktor yang
menjadi kendala partisipasi perempuan dalam urusan publik, yakni ; (1)
Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif, di dalam
maupun di luar rumah; (2) Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah
dan perbedaan kesempatan yang diperoleh anak perempuan dan laki-laki terjadi
diseluruh dunia; (3) Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian
kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dan laki-laki yang membatasi
gerak perempuan; dan (4) Adanya hambatan legal bagi perempuan, seperti
larangan kepemilikan tanah, larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau
program Keluarga Berencana tanpa persetujuan dari suami atau ayah.
Padahal jika melihat sejarah kaum perempuan telah menunjukkan
kepemimpinanya yang sangat berarti, dimasyarakat lingkungannya dan
organisasi-organisasi informal, demikian juga dalam jabatan-jabatan negara atau
pemerintahan. Akan tetapi karena kurang adanya sosialisasi dan pengaruh negatif
peranan klise jenis kelamin perempuan dan laki-laki termasuk citra klise yang
diperkuat lewat media massa, maka hal ini memperkuat kecenderungan bahwa
pembuat keputusan-keputusan strategis (politik) tetap dilakukan oleh kaum laki-
laki. Hal ini tentu bertentangan dengan sistem pemerintahan demokratis yang
dianut Bangsa Indonesia dimana demokrasi mensyaratkan semua elemen-elemen
dalam masyarakat harus diakomodir aspirasi dan kepentingannya tanpa adanya
diskriminasi berdasarkan ras, agama, suku, status sosial ekonomi dan gender.
Keterlibatan warga negara dalam sistem pengambilan keputusan publik sangat
tergantung pada bagaimana sistem politik memberikan ruang-ruang bagi warga
masyarakatnya untuk menyampaikan aspirasinya.
Demokrasi tidak mungkin berjalan dengan masyarakat yang patriarkis
(menempatkan nilai laki-laki pada posisi dominan) yang selalu
mendiskriminasikan perempuan dalam proses politik. Perempuan semata-mata
dijadikan alat politik dan akhirnya menjadi kaum inferior dan terbungkam.
Perempuan oleh masyarakat dipaksa untuk menerima diri mereka sebagai
pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun minimnya pengalaman
dan pengetahuan serta akses yang sulit ke kancah politik membuat perempuan
hanya menjadi figuran (Jurnal Perempuan, 2004 : 23). Berbeda dengan hasil
penelitian Indriyati Suparno dkk (2005) bahwa perempuan lebih banyak
“dimasukkan” dalam organisasi-organisasi yang kurang strategis yaitu kurang
bersinggungan dengan proses-proses pengambilan kebijakan penting dalam
wilayah publik meskipun sebenarnya perempuan bukan pemain baru dalam
organisasi sosial dan organisasi politik tetapi perempuan jarang diperhitungkan
dikarenakan watak sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan
yang akan menghasilkan kebijakan yang sangat mempengaruhi kehidupan
perempuan dan hal ini menjadi keputusan strategis karena merumuskan hubungan
antara organisasi dan lingkungan. Seperti yang didefinisikan oleh Schwenk
(dalam Salusu, 1996) bahwa keputusan strategis bukan keputusan sederhana tetapi
memegang peranan penting karena menyangkut komitmen yang sangat luas
tentang sumber daya dan kemungkinan resiko besar yang ditimbulkan.
Ditambahkan oleh Hickson (dalam Salusu, 1996) bahwa selain melibatkan sumber
daya juga sangat kompleks, salah satu kompleksitas dalam keputusan strategis
adalah “keterlibatan” dari sejumlah orang dalam proses pengambilan keputusan.
Rendahnya kuantitas keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan
keputusan strategis pada tingkat legislatif menyebabkan kurang terakomodasinya
aspirasi dan kepentingan perempuan dalam pembangunan bangsa dan negara pada
umumnya. Padahal jika dilihat dari kemampuan menurut Mosse (dalam
Mildawani, 2002) kaum perempuan memiliki potensi dan kemampuan yang tidak
kalah dengan kemampuan laki-laki. Ditegaskan pula oleh Sagrestano (dalam
Mildawani, 2002) bahwa laki-laki dan perempuan dalam menentukan kebijakan
tidak menunjukkan perbedaan dalam pemilihan strategi ketika menghadapi
situasi-situasi disekelilingnya. Namun tingkat dominasi sangat berpengaruh,
menurut Egan (dalam Moordiningsih, 2000) Para pengambil keputusan kadang-
kadang melakukan tindakan yang dikuasai oleh sesuatu yang tampaknya benar,
tindakan dan situasi yang menonjol maupun tekanan pihak lain yang dominan.
Hal ini sangat mungkin bahwa secara psikis bukanlah suatu hal yang mudah bagi
perempuan untuk melakukan pengambilan keputusan apalagi untuk keputusan
strategis yang menyangkut kehidupan organisasi dan lingkungan secara
keseluruhan serta mempunyai implikasi kedepan dalam kondisi yang didominasi
oleh kaum laki-laki. Ditambah, selama ini sudah terlanjur tertanam perbedaan
peran sosial antara perempuan dan laki-laki yang muncul karena struktur sosial
kemasyarakatan.
Terkait dengan komposisi perempuan, Kota Surakarta memiliki dinamika
perpolitikan yang cukup menarik dan kenyataan bahwa era reformasi ternyata
tidak membawa pergeseran dan perubahan yang cukup signifikan. Keanggotaan
DPRD tingkat II Surakarta hasil pemilu 1999 mengalami kemerosotan, hal ini bisa
dilihat dari jumlah anggota perempuan hanya ada satu orang (2,2%) yang berasal
dari PDI-P dari 45 anggota DPRD (BPS, 2002). Kemudian hasil Pemiihan Umum
tahun 2004 jumlah perempuan hanya menambah satu orang meskipun sudah
disahkannya pasal 65 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang penerapan kuota
keterwakilan perempuan yang sekurang-kurangnya 30%. Aplikasi pasal tersebut
terlihat masih lemah karena pada kenyataannya kurang dirasakan peningkatan
tingkat partisipasi politik perempuan di Surakarta.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut,
bagaimana kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan strategis yang
selama ini perannya termarjinalkan dilembaga legislatif dengan mengambil setting
lokasi DPRD Tingakat II Kota Surakarta. Penulis tertarik untuk menelitinya
dengan mengajukan judul peneliitian : Kontribusi Perempuan dalam
Pengambilan Keputusan Strategis di Lembaga Legislatif
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah