BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi saat ini mengakibatkan persaingan antar bangsa
yang semakin ketat. Manusia dihadapkan dengan berbagai problem kehidupan yang
semakin rumit dan kompeks. Bangsa yang menguasai bidang-bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ditunjang dengan sumber budaya yang lebih unggul dan
mendukung dapat menjadi negara yang lebih maju. Keunggulan tersebut dapat
tercapai jika sumber daya manusianya berkualitas. Namun dengan semakin
bervariasinya problem dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pula
pemecahan yang bervariasi pula.
Kreativitas menurut Mulyadi (dalam Artistika, 2005) adalah kemampuan
mendapatkan serangkaian alternatif jawaban. Berbeda dari kecerdasan, yang
menekankan pada diperoleh satu-satunya jawaban benar. Kreativitas menempati otak
sebelah kanan, sedangkan kecerdasan menempati otak sebelah kiri. Ketika individu
berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan jalan yang umum
dan konvensional, maka ketika masalah yang dihadapi terlalu kompleks dan berbeda
individu akan merasa kesulitan menyelesaikannya.
Menurut para ahli, seseorang yang kreatif selalu melihat segala sesuatu
dengan cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang
kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin,
biasanya dapat melakukan sesuatu yang menyimpang dari cara-cara tradisional.
Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga tetapi
dapat diimplementasikan.
Menurut Rahmawati (2001) kreativitas sebagai proses mental sebenarnya
telah ada pada diri setiap individu, namun potensi tersebut sering kurang atau bahkan
tidak muncul karena tidak adanya kesempatan. Kreativitas berhubungan erat dengan
kemampuan dan kekuatan untuk mengambangkan ide-ide baru. bahkan kreativitas
merupakan kecenderungan untuk menemukan ide dan alternatif atau kemungkinan
lain yang berguna untuk menyelesaikan masalah, mampu mengkomunikasikan
dengan orang lain dan dapat bersifat menyenangkan, baik bagi diri sendiri maupun
orang lain.
Remaja mempunyai peran yang penting dalam pembangunan bangsa dan
negara, karena remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat
membangun dan menghasilkan karya-karya yang berguna bagi negara. Di tangan para
remaja inilah bagaimana perkembangan suatu negara ditentukan. Remaja sebagai
generasi mendatang, diharapkan mampu menghadapi persaingan yang kian ketat. Hal
ini tidak lepas dari kreativitas yang dimiliki masing-masing remaja. Hasil dari cara
berpikir kreatif menunjukkan remaja menuju kearah pribadi yang matang
(Rahmawati, 2001).
Hurlock (1997) mengemukakan bahwa masa remaja adalah suatu masa
transisi dimana terjadi gejolak-gejolak dan perubahan-perubahan penting yang
dialami oleh remaja. Pada masa transisi ini remaja mempunyai kesempatan yang luas
dalam menggunakan dan meningkatkan potensi, kemampuan, bakat serta sumber
daya yang dimilikinya. Masa remaja juga merupakan masa dimana para remaja
dihadapkan dengan tantangan, persoalan serta hambatan dan kekangan yang dapat
datang dari luar diri individu.
Kreativitas yang dimiliki oleh setiap remajapun berbeda-beda, ada yang
mengatasi masalah yang dihadapinya dengan jalan yang biasa dan umum serta sering
digunakan orang lain. Ada pula yang menggunakan cara-cara yang tidak “biasa” dan
menggunakan ide-ide baru untuk menyelesaikan persoalan dengan melihat masalah
dari berbagai sudut pandang dan mengatasinya dengan ide-ide baru. Adanya
kebebasan berfikir dapat menimbulkan ide-ide baru dan memecahkan masalah
dengan jalan yang tidak biasa (Munandar, 1988).
Menurut Rogers (dalam Munandar, 1988) ada dua hal yang mempengaruhi
kreativitas yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Dengan kata lain kreativitas
selain dipengaruhi dari aspek dari dalam diri remaja itu sendiri juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas
remaja secara optimal.
Sebagai makhluk sosial, anak tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya.
Lingkungan sosial yang pertama kali membentuk kepribadian anak dan berperan
paling besar bagi perkembangan anak adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah
lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak, selanjutnya teman sebaya,
sekolah, lingkungan tempat tinggal dan masyarakat yang lebih luas merupakan
tempat di mana anak akan mengembangkan dirinya (Daradjat, 1974).
Pendidikan dan pola asuh yang yang diterapkan orangtua akan terus melekat
dan menjadi pedoman tingkah laku bagi anak, baik pada masa kanak, masa remaja
hingga dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk
pendidikan adalah rumah di bawah bimbingan orangtua yang menyayangi anak (Sidi
dalam Munandar, 1988). Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang awal dan
penting dalam tahap perkembangan remaja, meskipun banyak faktor-faktor lain dari
luar yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan remaja. Sedangkan yang
paling berperan penting dalam mendidik dan mengasuh anak dalam keluarga adalah
orangtua, sehingga pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik anak akan
berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya.
Yatim dan Irwanto (1986) menyatakan bahwa ada tiga tipe umum mengenai
pola pengasuhan orangtua, yaitu authoritarian, authoritative dan permissive. Masing-
masing pola pengasuhan mempunyai ciri dan dampak yang berbeda bagi
perkembangan remaja. Pada pola asuh authoritarian orangtua mengharuskan anak
untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh orangtua. Tidak ada penjelasan
dan anak tidak berhak untuk mendiskusikan tentang peraturan dan keputusan yang
ditetapkan sehingga mengakibatkan hubungan yang kaku antara anak dan orangtua.
Tidak ada reward atas tindakan anak yang positif, bila anak melanggar peraturan
akan mendapat hukuman. Anak takut untuk mengambil keputusan, karena takut
mendapat hukuman.
Lebih lanjut Yatim dan Irwanto (1986) menjelaskan bahwa berlawanan
dengan pola asuh permissive, pola asuh ini membolehkan anak melakukan tindakan
apapun yang disuka tanpa batas dan kontrol dari orangtua. Tidak ada peraturan dan
batasan yang dibuat untuk mengontrol tingkah laku anak. Tidak ada peraturan yang
wajib dipatuhi serta tidak ada reward atau punishment atas tindakan anak. Pola asuh
ini menyebabkan hubungan yang dingin antara anak dan orangtua.
Ciri-ciri pola asuh authoritative yaitu anak mendapatkan penjelasan dari
setiap peraturan. Keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan anak dan orangtua.
Ada kontrol dari orangtua atas tindakan dan tingkah laku anak. Anak dapat berdikusi
dengan orangtua tentang apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Adanya reward serta
punishment yang telah disepakati sebelumnya. Pada hubungan seperti ini akan
tercipta hubungan yang hangat, harmonis dan penuh kasih sayang antara orangtua dan
anak (Hurlock, 1997).
Pola asuh merupakan suatu perlakuan yang diberikan oleh orangtua kepada
anak. Suatu perlakuan yang baik dari orangtua belum tentu dapat diterima secara baik
oleh anak. Hal ini tergantung sepenuhnya pada pemahaman anak terhadap tujuan atas
perlakuan yang diberikan oleh orangtua. Menurut Hamidah (2002) untuk menilai pola
asuh orangtua akan lebih tepat jika digunakan persepsi anak tentang pola asuh yang
diterima dari orangtuanya. Pola asuh orangtua dipandang sebagai suatu respon yang
didalamnya terkandung suatu penilaian, kesan, pendapat ataupun perasaan anak
terhadap pola asuh orangtua mereka, jadi dapat dikatakan bahwa persepsi anak
terhadap pola asuh orangtua tersebut sifatnya sangat subjektif.
Anak yang memiliki persepsi positif terhadap pola asuh yang diterapkan oleh
orangtua diharapkan akan memberikan pula dampak positif bagi perkembangan anak.
Anak akan memiliki perasaan-perasaan positif terhadap kejadian atau peristiwa yang
dialami sehingga anak akan memiliki kemampuan kognitif yang baik. Dengan
kemampuan kognitif yang baik anak juga akan mampu mengembangkan kemampuan
psikomotoriknya dengan baik pula (Hamidah, 2002).
Sarwono (2004) mengemukakan bahwa pola didik orangtua banyak yang
tidak memberikan toleransi kepada anak-anak untuk memperluas kreativitas.
Orangtua terlalu banyak berharap kepada anak namun tidak bercermin terhadap
kemampuan anak itu sendiri. Seringkali misalnya anak merasa tertekan, anak kurang
diberi kebebasan untuk mengungkapkan perasaannya karena pengaruh pola asuh yang
diterapkan orangtua. Persepsi anak yang demikian, bisa jadi berakibat menurunkan
kreativitas anak, karena mereka kurang diberi kebebasan dan bahkan merasa tertekan.
Pola asuh mempunyai pengaruh penting dalam memberikan dukungan dan
kebebasan pada remaja untuk berkreativitas. Pola asuh orangtua yang memberikan
rasa aman dan kebebasan psikologis akan merangsang kreativitas anak secara
maksimal. Tanpa adanya rasa aman dan kebebasan psikologis sulit bagi seorang
remaja untuk mengembangkan potensi kreativitasnya. Mappiare (1982) menyatakan
bahwa adanya kebebasan berpikir (misalnya pada anak dari keluarga yang berpola
mendidik demokratis, mengerti dan memahami anak) akan mendorong keberanian
seseorang dalam menyusun hipotesa-hipotesa yang radikal, bebas menjajaki masalah
secara keseluruhan dan menunujang keberanian anak dalam memecahkan masalah
dan menarik kesimpulan yang baru dan benar, setelah diuji kemasuk-akalannya.
Mulyadi (dalam Artistika, 2005) menyatakan supaya anak bisa berkembang
baik dan menjadi anak yang berpotensi maka kreativitas anak harus dikembangkan.
Anak-anak harus diberi kelonggaran. Kebanyakan anak-anak sekarang dididik
orangtua dengan kreativitas yang terlalu sempit. Misalnya seperti banyak melarang,
banyak mengarahkan sehingga anak tidak atau kurang mendapat kesempatan
berkreativitas. Anak menjadi kurang dapat mengembangkan kreativitas yang ada
pada dirinya, hal ini menyebabkan remaja menjadi kurang percaya diri atau bahkan
tidak mampu memecahkan masalah yang terjadi pada dirinya.
Penelitian Dacey (dalam Munandar, 1999) membandingkan karakteristik
keluarga yang anak remajanya sangat kreatif, dengan keluarga yang anak remajanya
biasa saja. Hasil penelitian ini menunjukkan peran besar lingkungan keluarga, dalam
keluarga dengan remaja kreatif, tidak banyak aturan diberlakukan dalam keluarga
dibandingkan keluarga biasa. Keinginan untuk menghasilkan karya dan
mengembangkan ide-ide yang orisinil muncul bukan karena ada tekanan yang ada di
luar individu, namun hal itu muncul dari dalam diri individu dan merupakan
karakteristik dari individu yang kreatif.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak
dipengaruhi oleh peranan orangtua tersebut. Peranan orangtua itu memberikan
lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya. Orangtua sebagai pemegang kunci awal perkembangan remaja
hendaknya menyadari sepenuhnya, bahwa kewajiban dan tugas orangtua adalah
mendidik anak sejak dini dengan pola asuh yang tidak menghambat perkembangan
anak. Sehingga saat anak memasuki masa remaja akan memiliki kreativitas yang
baik. Remaja kreatif akan mampu menyelesaikan permasalahan yang diatasi dengan
baik, dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dengan baik
serta mampu menciptakan ide-ide baru yang menghasilkan karya-karya baru yang
membanggakan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Remaja yang
kreatif juga akan memiliki tanggung jawab yang besar, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain (Tarmudji, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan, kreativitas siswa-siswa SD Indonesia berada
pada peringkat paling rendah di Asia Timur. Mulyadi (dalam Artistika, 2005)
mengemukakan, siswa-siswa hanya mampu memahami 30 persen dari materi bacaan
dan sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
menunjukkan betapa rendahnya perhatian orangtua akan kreativitas anak.
Hasil penelitian yang dilakukan Hans Jellen dari Universitas Utah, AS dan
Klaus Urban dari Universitas Hannover, Jerman bulan Agustus 1987 terhadap anak-
anak berusia 10 tahun (dengan sample 50 anak-anak di Jakarta) menunjukkan, tingkat
kreativitas anak-anak Indonesia adalah yang terendah di antara anak-anak seusianya
dari 8 negara lainnya. Berturut-turut dari skor tertinggi sampai terendah adalah
Filipina, AS, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu dan Indonesia (Diana,
1999).
Hasil penelitian Kumala (1999) menunjukkan bahwa tingkat kreativitas verbal
mahasiswa psikologi yang mengalami pola asuh orangtua yang demokratis lebih
tinggi dibandingkan dengan otoriter. Selanjutnya tingkat kreativitas verbal mahasiswa
psikologi dengan pola asuh orangtua yang demokratis lebih tinggi dibandingkan
dengan permisif. Kemudian diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan pada tingkat
kreativitas verbal mahasiswa psikologi yang mengalami pola asuh orangtua yang
otoriter dan permisif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh orangtua
yang diterapkan pada anaknya menghasilkan produk sikap, fisik dan mental yang
akhirnya menjadi kebiasaan atau perilaku sehari-hari.
Pola asuh orangtua adalah sebagai salah satu faktor yang berpengaruh cukup
besar dalam meningkatkan potensi kreatif yang dimiliki anak. Remaja yang semenjak
masa perkembangan awalnya mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan dan
memecahkan masalah dengan bimbingan orangtua dan tanpa paksaan akan lebih
mampu menghadapi masalah yang dialami saat remaja itu memasuki pergaulan dalam
masyarakat dan sekolah dengan lebih kreatif. Sebagai faktor internal yang
berpengaruh cukup besar dalam mengembangkan potensi kreativitas yang dimiliki
anak maka tingkat kreativitas yang rendah dapat disebabkan karena metode pola asuh
orangtua yang kurang tepat dan efektif, sehingga anak tidak menangkap dan
memahami pesan yang disampaikan orangtua. Oleh karena itu diperlukan metode
yang tepat dan cara yang sesuai sehingga anak dapat menangkap dan memahami
pesan yang ingin disampaikan orangtua (Hamidah, 2002). Orangtua seharusnya
mampu memberikan persepsi yang positif bagi anak terhadap pola asuh yang
diberikan. Dengan demikian orangtua harus mampu menanamkan persepsi positif
kepada anak terhadap pola asuh yang mereka berikan agar anak merasa aman dan
memiliki kebebasan psikologis atau dengan kata lain, pola asuh orangtua akan
mempengaruhi perilaku anaknya. Bagaimanapun pola asuh orangtua tergantung dari
penerimaan dan persepsi anak mereka.
Berdasarkan kenyataan yang ada, penulis merumuskan suatu permasalahan
yaitu : bagaimanakah kreativitas pada remaja ditinjau dari persepsi remaja terhadap
pola asuh orangtua. Sehubungan dengan masalah tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul “Kreativitas Remaja Ditinjau dari
Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara persepsi anak terhadap pola asuh orangtua dengan kreativitas.
2. Peranan atau sumbangan efektif persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua
terhadap kreativitas remaja.
3. Tingkat kreativitas pada subjek penelitian.
4. Jenis persepsi terhadap pola asuh orangtua pada subjek penelitian.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi saat ini mengakibatkan persaingan antar bangsa
yang semakin ketat. Manusia dihadapkan dengan berbagai problem kehidupan yang
semakin rumit dan kompeks. Bangsa yang menguasai bidang-bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ditunjang dengan sumber budaya yang lebih unggul dan
mendukung dapat menjadi negara yang lebih maju. Keunggulan tersebut dapat
tercapai jika sumber daya manusianya berkualitas. Namun dengan semakin
bervariasinya problem dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan pula
pemecahan yang bervariasi pula.
Kreativitas menurut Mulyadi (dalam Artistika, 2005) adalah kemampuan
mendapatkan serangkaian alternatif jawaban. Berbeda dari kecerdasan, yang
menekankan pada diperoleh satu-satunya jawaban benar. Kreativitas menempati otak
sebelah kanan, sedangkan kecerdasan menempati otak sebelah kiri. Ketika individu
berusaha untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan jalan yang umum
dan konvensional, maka ketika masalah yang dihadapi terlalu kompleks dan berbeda
individu akan merasa kesulitan menyelesaikannya.
Menurut para ahli, seseorang yang kreatif selalu melihat segala sesuatu
dengan cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang
kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin,
biasanya dapat melakukan sesuatu yang menyimpang dari cara-cara tradisional.
Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga tetapi
dapat diimplementasikan.
Menurut Rahmawati (2001) kreativitas sebagai proses mental sebenarnya
telah ada pada diri setiap individu, namun potensi tersebut sering kurang atau bahkan
tidak muncul karena tidak adanya kesempatan. Kreativitas berhubungan erat dengan
kemampuan dan kekuatan untuk mengambangkan ide-ide baru. bahkan kreativitas
merupakan kecenderungan untuk menemukan ide dan alternatif atau kemungkinan
lain yang berguna untuk menyelesaikan masalah, mampu mengkomunikasikan
dengan orang lain dan dapat bersifat menyenangkan, baik bagi diri sendiri maupun
orang lain.
Remaja mempunyai peran yang penting dalam pembangunan bangsa dan
negara, karena remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat
membangun dan menghasilkan karya-karya yang berguna bagi negara. Di tangan para
remaja inilah bagaimana perkembangan suatu negara ditentukan. Remaja sebagai
generasi mendatang, diharapkan mampu menghadapi persaingan yang kian ketat. Hal
ini tidak lepas dari kreativitas yang dimiliki masing-masing remaja. Hasil dari cara
berpikir kreatif menunjukkan remaja menuju kearah pribadi yang matang
(Rahmawati, 2001).
Hurlock (1997) mengemukakan bahwa masa remaja adalah suatu masa
transisi dimana terjadi gejolak-gejolak dan perubahan-perubahan penting yang
dialami oleh remaja. Pada masa transisi ini remaja mempunyai kesempatan yang luas
dalam menggunakan dan meningkatkan potensi, kemampuan, bakat serta sumber
daya yang dimilikinya. Masa remaja juga merupakan masa dimana para remaja
dihadapkan dengan tantangan, persoalan serta hambatan dan kekangan yang dapat
datang dari luar diri individu.
Kreativitas yang dimiliki oleh setiap remajapun berbeda-beda, ada yang
mengatasi masalah yang dihadapinya dengan jalan yang biasa dan umum serta sering
digunakan orang lain. Ada pula yang menggunakan cara-cara yang tidak “biasa” dan
menggunakan ide-ide baru untuk menyelesaikan persoalan dengan melihat masalah
dari berbagai sudut pandang dan mengatasinya dengan ide-ide baru. Adanya
kebebasan berfikir dapat menimbulkan ide-ide baru dan memecahkan masalah
dengan jalan yang tidak biasa (Munandar, 1988).
Menurut Rogers (dalam Munandar, 1988) ada dua hal yang mempengaruhi
kreativitas yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Dengan kata lain kreativitas
selain dipengaruhi dari aspek dari dalam diri remaja itu sendiri juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas
remaja secara optimal.
Sebagai makhluk sosial, anak tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya.
Lingkungan sosial yang pertama kali membentuk kepribadian anak dan berperan
paling besar bagi perkembangan anak adalah lingkungan keluarga. Keluarga adalah
lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak, selanjutnya teman sebaya,
sekolah, lingkungan tempat tinggal dan masyarakat yang lebih luas merupakan
tempat di mana anak akan mengembangkan dirinya (Daradjat, 1974).
Pendidikan dan pola asuh yang yang diterapkan orangtua akan terus melekat
dan menjadi pedoman tingkah laku bagi anak, baik pada masa kanak, masa remaja
hingga dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk
pendidikan adalah rumah di bawah bimbingan orangtua yang menyayangi anak (Sidi
dalam Munandar, 1988). Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang awal dan
penting dalam tahap perkembangan remaja, meskipun banyak faktor-faktor lain dari
luar yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan remaja. Sedangkan yang
paling berperan penting dalam mendidik dan mengasuh anak dalam keluarga adalah
orangtua, sehingga pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik anak akan
berpengaruh pada perkembangan anak selanjutnya.
Yatim dan Irwanto (1986) menyatakan bahwa ada tiga tipe umum mengenai
pola pengasuhan orangtua, yaitu authoritarian, authoritative dan permissive. Masing-
masing pola pengasuhan mempunyai ciri dan dampak yang berbeda bagi
perkembangan remaja. Pada pola asuh authoritarian orangtua mengharuskan anak
untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh orangtua. Tidak ada penjelasan
dan anak tidak berhak untuk mendiskusikan tentang peraturan dan keputusan yang
ditetapkan sehingga mengakibatkan hubungan yang kaku antara anak dan orangtua.
Tidak ada reward atas tindakan anak yang positif, bila anak melanggar peraturan
akan mendapat hukuman. Anak takut untuk mengambil keputusan, karena takut
mendapat hukuman.
Lebih lanjut Yatim dan Irwanto (1986) menjelaskan bahwa berlawanan
dengan pola asuh permissive, pola asuh ini membolehkan anak melakukan tindakan
apapun yang disuka tanpa batas dan kontrol dari orangtua. Tidak ada peraturan dan
batasan yang dibuat untuk mengontrol tingkah laku anak. Tidak ada peraturan yang
wajib dipatuhi serta tidak ada reward atau punishment atas tindakan anak. Pola asuh
ini menyebabkan hubungan yang dingin antara anak dan orangtua.
Ciri-ciri pola asuh authoritative yaitu anak mendapatkan penjelasan dari
setiap peraturan. Keputusan yang dibuat berdasarkan kesepakatan anak dan orangtua.
Ada kontrol dari orangtua atas tindakan dan tingkah laku anak. Anak dapat berdikusi
dengan orangtua tentang apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Adanya reward serta
punishment yang telah disepakati sebelumnya. Pada hubungan seperti ini akan
tercipta hubungan yang hangat, harmonis dan penuh kasih sayang antara orangtua dan
anak (Hurlock, 1997).
Pola asuh merupakan suatu perlakuan yang diberikan oleh orangtua kepada
anak. Suatu perlakuan yang baik dari orangtua belum tentu dapat diterima secara baik
oleh anak. Hal ini tergantung sepenuhnya pada pemahaman anak terhadap tujuan atas
perlakuan yang diberikan oleh orangtua. Menurut Hamidah (2002) untuk menilai pola
asuh orangtua akan lebih tepat jika digunakan persepsi anak tentang pola asuh yang
diterima dari orangtuanya. Pola asuh orangtua dipandang sebagai suatu respon yang
didalamnya terkandung suatu penilaian, kesan, pendapat ataupun perasaan anak
terhadap pola asuh orangtua mereka, jadi dapat dikatakan bahwa persepsi anak
terhadap pola asuh orangtua tersebut sifatnya sangat subjektif.
Anak yang memiliki persepsi positif terhadap pola asuh yang diterapkan oleh
orangtua diharapkan akan memberikan pula dampak positif bagi perkembangan anak.
Anak akan memiliki perasaan-perasaan positif terhadap kejadian atau peristiwa yang
dialami sehingga anak akan memiliki kemampuan kognitif yang baik. Dengan
kemampuan kognitif yang baik anak juga akan mampu mengembangkan kemampuan
psikomotoriknya dengan baik pula (Hamidah, 2002).
Sarwono (2004) mengemukakan bahwa pola didik orangtua banyak yang
tidak memberikan toleransi kepada anak-anak untuk memperluas kreativitas.
Orangtua terlalu banyak berharap kepada anak namun tidak bercermin terhadap
kemampuan anak itu sendiri. Seringkali misalnya anak merasa tertekan, anak kurang
diberi kebebasan untuk mengungkapkan perasaannya karena pengaruh pola asuh yang
diterapkan orangtua. Persepsi anak yang demikian, bisa jadi berakibat menurunkan
kreativitas anak, karena mereka kurang diberi kebebasan dan bahkan merasa tertekan.
Pola asuh mempunyai pengaruh penting dalam memberikan dukungan dan
kebebasan pada remaja untuk berkreativitas. Pola asuh orangtua yang memberikan
rasa aman dan kebebasan psikologis akan merangsang kreativitas anak secara
maksimal. Tanpa adanya rasa aman dan kebebasan psikologis sulit bagi seorang
remaja untuk mengembangkan potensi kreativitasnya. Mappiare (1982) menyatakan
bahwa adanya kebebasan berpikir (misalnya pada anak dari keluarga yang berpola
mendidik demokratis, mengerti dan memahami anak) akan mendorong keberanian
seseorang dalam menyusun hipotesa-hipotesa yang radikal, bebas menjajaki masalah
secara keseluruhan dan menunujang keberanian anak dalam memecahkan masalah
dan menarik kesimpulan yang baru dan benar, setelah diuji kemasuk-akalannya.
Mulyadi (dalam Artistika, 2005) menyatakan supaya anak bisa berkembang
baik dan menjadi anak yang berpotensi maka kreativitas anak harus dikembangkan.
Anak-anak harus diberi kelonggaran. Kebanyakan anak-anak sekarang dididik
orangtua dengan kreativitas yang terlalu sempit. Misalnya seperti banyak melarang,
banyak mengarahkan sehingga anak tidak atau kurang mendapat kesempatan
berkreativitas. Anak menjadi kurang dapat mengembangkan kreativitas yang ada
pada dirinya, hal ini menyebabkan remaja menjadi kurang percaya diri atau bahkan
tidak mampu memecahkan masalah yang terjadi pada dirinya.
Penelitian Dacey (dalam Munandar, 1999) membandingkan karakteristik
keluarga yang anak remajanya sangat kreatif, dengan keluarga yang anak remajanya
biasa saja. Hasil penelitian ini menunjukkan peran besar lingkungan keluarga, dalam
keluarga dengan remaja kreatif, tidak banyak aturan diberlakukan dalam keluarga
dibandingkan keluarga biasa. Keinginan untuk menghasilkan karya dan
mengembangkan ide-ide yang orisinil muncul bukan karena ada tekanan yang ada di
luar individu, namun hal itu muncul dari dalam diri individu dan merupakan
karakteristik dari individu yang kreatif.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak
dipengaruhi oleh peranan orangtua tersebut. Peranan orangtua itu memberikan
lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya. Orangtua sebagai pemegang kunci awal perkembangan remaja
hendaknya menyadari sepenuhnya, bahwa kewajiban dan tugas orangtua adalah
mendidik anak sejak dini dengan pola asuh yang tidak menghambat perkembangan
anak. Sehingga saat anak memasuki masa remaja akan memiliki kreativitas yang
baik. Remaja kreatif akan mampu menyelesaikan permasalahan yang diatasi dengan
baik, dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dengan baik
serta mampu menciptakan ide-ide baru yang menghasilkan karya-karya baru yang
membanggakan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Remaja yang
kreatif juga akan memiliki tanggung jawab yang besar, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain (Tarmudji, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan, kreativitas siswa-siswa SD Indonesia berada
pada peringkat paling rendah di Asia Timur. Mulyadi (dalam Artistika, 2005)
mengemukakan, siswa-siswa hanya mampu memahami 30 persen dari materi bacaan
dan sulit menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
menunjukkan betapa rendahnya perhatian orangtua akan kreativitas anak.
Hasil penelitian yang dilakukan Hans Jellen dari Universitas Utah, AS dan
Klaus Urban dari Universitas Hannover, Jerman bulan Agustus 1987 terhadap anak-
anak berusia 10 tahun (dengan sample 50 anak-anak di Jakarta) menunjukkan, tingkat
kreativitas anak-anak Indonesia adalah yang terendah di antara anak-anak seusianya
dari 8 negara lainnya. Berturut-turut dari skor tertinggi sampai terendah adalah
Filipina, AS, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu dan Indonesia (Diana,
1999).
Hasil penelitian Kumala (1999) menunjukkan bahwa tingkat kreativitas verbal
mahasiswa psikologi yang mengalami pola asuh orangtua yang demokratis lebih
tinggi dibandingkan dengan otoriter. Selanjutnya tingkat kreativitas verbal mahasiswa
psikologi dengan pola asuh orangtua yang demokratis lebih tinggi dibandingkan
dengan permisif. Kemudian diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan pada tingkat
kreativitas verbal mahasiswa psikologi yang mengalami pola asuh orangtua yang
otoriter dan permisif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola asuh orangtua
yang diterapkan pada anaknya menghasilkan produk sikap, fisik dan mental yang
akhirnya menjadi kebiasaan atau perilaku sehari-hari.
Pola asuh orangtua adalah sebagai salah satu faktor yang berpengaruh cukup
besar dalam meningkatkan potensi kreatif yang dimiliki anak. Remaja yang semenjak
masa perkembangan awalnya mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan dan
memecahkan masalah dengan bimbingan orangtua dan tanpa paksaan akan lebih
mampu menghadapi masalah yang dialami saat remaja itu memasuki pergaulan dalam
masyarakat dan sekolah dengan lebih kreatif. Sebagai faktor internal yang
berpengaruh cukup besar dalam mengembangkan potensi kreativitas yang dimiliki
anak maka tingkat kreativitas yang rendah dapat disebabkan karena metode pola asuh
orangtua yang kurang tepat dan efektif, sehingga anak tidak menangkap dan
memahami pesan yang disampaikan orangtua. Oleh karena itu diperlukan metode
yang tepat dan cara yang sesuai sehingga anak dapat menangkap dan memahami
pesan yang ingin disampaikan orangtua (Hamidah, 2002). Orangtua seharusnya
mampu memberikan persepsi yang positif bagi anak terhadap pola asuh yang
diberikan. Dengan demikian orangtua harus mampu menanamkan persepsi positif
kepada anak terhadap pola asuh yang mereka berikan agar anak merasa aman dan
memiliki kebebasan psikologis atau dengan kata lain, pola asuh orangtua akan
mempengaruhi perilaku anaknya. Bagaimanapun pola asuh orangtua tergantung dari
penerimaan dan persepsi anak mereka.
Berdasarkan kenyataan yang ada, penulis merumuskan suatu permasalahan
yaitu : bagaimanakah kreativitas pada remaja ditinjau dari persepsi remaja terhadap
pola asuh orangtua. Sehubungan dengan masalah tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan judul “Kreativitas Remaja Ditinjau dari
Persepsi terhadap Pola Asuh Orangtua”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara persepsi anak terhadap pola asuh orangtua dengan kreativitas.
2. Peranan atau sumbangan efektif persepsi remaja terhadap pola asuh orangtua
terhadap kreativitas remaja.
3. Tingkat kreativitas pada subjek penelitian.
4. Jenis persepsi terhadap pola asuh orangtua pada subjek penelitian.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: