BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan pemerkosaan bukan suatu jenis kejahatan yang baru. Melainkan
sama tua usianya dengan keberadaan kehidupan manusia. Pemunculannya tidak
saja dalam masyarakat modern, melainkan juga dalam masyarakat primitif.
Dewasa ini kejahatan pemerkosaan merupakan kejahatan yang cukup
mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Kejahatan tersebut tampaknya
meningkat secara kuantitas, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan
masyarakat. Atmasasmita ahli hukum UNPAD mengatakan selama delapan tahun
(1992-1999), rata-rata dalam empat atau lima jam, jatuh satu korban perkosaan.
Menurut Aris Margono (1995) jumlah korban perkosaan tiap tahun lebih dari
seribu orang. Pada tahun 1991 di seluruh Indonesia terjadi 1.341 kasus perkosaan.
Pada tahun 1992 ada 1.356 kasus (Gatra, 5 Agustus 1995 : 27). Angka tersebut
belum termasuk perkosaan yang tidak dilaporkan, dr. W.M. Roan (1995)
mengatakan perkosaan termasuk kasus yang rendah tingkat pelapornya, yakni dari
4-10 kasus hanya satu yang melapor (Marzuki Umar Sa’abah, juni 2001).
Gara-gara tidak bisa menahan hasrat seksualnya seorang pemuda Surabaya
telah memperkosa anak yang berumur 14 tahun. Hasrat seksual timbul gara-gara
hobi menonton VCD porno dan perbuatan bejat itu dilakukan di kamar rumah
korban. Kejadian ini bermula ketika pemerkosa melihat kemolekan tubuh korban
yang tertidur dengan hanya mengenakan BH dan celana dalam. Yang lebih kejam
lagi saat pemerkosa itu melakukan hubungan intimnya dengan korban seakan-
akan membayangkan adegan porno yang pernah ditontonnya
(SM. Jawa Pos, 26 Maret 2004).
Berita tersebut sempat menggemparkan warga masyarakat yang telah
mengetahui pemerkosaan akhir-akhir ini telah meningkat tajam. Akhir-akhir ini
dalam dunia kejahatan telah banyak ditayangkan oleh stasiun TV, sebagian besar
adalah tentang kasus pemerkosaan yang dilandasi berbagai motif.
Menunurut dr. W. M. Roan (1995) kasus di atas hanya salah satu dari
banyak kasus pemerkosaan yang terjadi hampir di mana saja dan kapan saja,
masyarakat dunia dibikin kesal oleh meningkatnya jumlah kasus pemerkosaan.
Banyak surat kabar dan majalah mencoba mengangkat kasus-kasus tersebut,
bertujuan dengan maksud mendapatkan perhatian dari masyarakat luas dan pihak-
pihak yang berkompeten. Misalnya, kepolisian, pengadilan, guru dan psikolog
khususnya. Dunia perfilman bahkan juga berupaya turut mengangkat kasus itu.
Biasanya kasus pemerkosaan banyak yang tidak dilaporkan. Banyak
anggota masyarakat tidak melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya dan
memilih untuk diam atau tutup mulut. Alasan mereka antara lain rasa malu jika
dirinya diketahui oleh umum sebagai korban pemerkosaan dan kuatir diperolok,
malu karena akan ketahuan tidak perawan lagi padahal belum bersuami,
masalahnya akan berkepanjangan jika berurusan dengan polisi dan pengadilan
serta rasa takut terhadap ancaman pelaku atau keluarga pelaku.
Banyak kerugian yang harus ditanggung oleh korban perkosaan pada anak-
anak maupun orang dewasa. Kerugian tersebut meliputi fisik dan psikis. Korban
perkosaan akan mengalami trauma akibat pengalamannya yang melibatkan fisik
dan mentalnya.
Master dan Johnson (Davison dan Neale, 1974) membuktikan adanya
beberapa kasus yang menunjukkan bahwa pengalaman perkosaan dapat
meninggalkan bekas pada perempuan selama beberapa tahun setelah kejadian,
serta mengakibatkan sikap negatif terhadap hubungan seksual dengan suaminya.
Ligamen-ligamen dalam daerah pelvic dapat koyak ketika perempuan tersebut
melakukan usaha perlawanan terhadap pemerkosa. Belum lagi terjadi kehamilan
akibat hubungan seksual dalam perkosaan tersebut, Si korban pula yang harus
menanggungnya.
Perlakuan memperkosa melalui paksaan dapat dilibatkan teror verbal dan
fisik terhadap korban yang umumnya lebih lemah dan tidak siap secara fisik
maupun mental. Pemerkosa bahkan dapat melukai tubuh korban secara serius
dalam rangka memaksa korbannya.
Perilaku memperkosa memang merupakan suatu fenomena yang cukup
kompleks dan banyak memiliki variasi yang berbeda dalam bentuk, motivasi serta
korbannya. Tinjauan perilaku memperkosa ini dapat mengacu pada berbagai
prespektif yang mempengaruhi pembentukkan sebuah fenomena definisi perilaku
memperkosa serta kategori kasus di dalamnya.
Perilaku memperkosa secara umum tidak dapat dipisahkan dari unsur
seksual, karena bentuk perilaku ini berhubungan erat dengan hubungan seksual
antar individu. Jika ditinjau lebih jauh akan tampak bahwa ternyata unsur
seksualitas dalam kehidupan manusia memiliki banyak arti.
Perilaku memperkosa dapat juga timbul untuk menuangkan berbagai motif
yang berbeda serta mengekspresikan berbagai emosi yang berbeda pula.
Oleh karena itu tidak heran jika kini perilaku memperkosa memiliki banyak motif
(Konechi dan Ebbesen, 1982). Motivasi memperkosa dapat juga ditampakkan
sebagai suatau cara mengekspresikan permusuhan dan kebencian (Baron dan
Byrne, 1980).
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu (Suryabrata, 1984). Selain motivasi pemuasan seksual juga ada
yang untuk mencari fantasi seksual yang pernah dialami sebelumnya (Coleman
dan Baron, 1974 ; Davison dan Neale, 1974 ; Kisker, 1977 ; Strange, 1976 ; White
dan Wait, 1981).
Perilaku memperkosa sering melibatkan unsur kekerasan sebagai
manifestasi dari agresivitas baik secara verbal dan fisik sebagai rasa kekecewaan
serta unsur seksual yang sama-sama tinggi. Oleh karena itu motivasi memperkosa
dianggap sebagai gabungan antara seksual dan agresivitas (Coleman dan Broen,
1974)
Kisker (1977) memandang masalah motivasi memperkosa dari sudut
pandang psikologi abnormal sehingga tendensi ekspresi impulsive dari perilaku
seksual yang besar dan individu tidak mampu menyesuaikan dorongan dalam
kondisi semacam itu.
Perkosaan tidak dipandang sebagai kejahatan yang menjadi urusan
individu korban, namun harus dijadikan sebagai problem publik, karena kejahatan
ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku primitif yang menonjolkan nafsu,
dendam, dan superioritas, yakni siapa yang kuat itulah yang berhak
mengorbankan orang lain.
Titik berat permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaku (pemerkosa)
bukan korban. Alasan utama penekanan pada pelaku (pemerkosa) adalah
keprihatinan terhadap peningkatan jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia
khususnya wilayah Karisidenan Surakarta, sehingga perlu dicegah supaya korban
tidak berjatuhan semakin banyak. Keprihatinan penulis terhadap masalah ini
terutama mengingat kondisi korban akibat peristiwa yang dialaminya. Korban
akan mengalami trauma akibat pengalaman buruk belum lagi rasa malu dan sakit
yang ditanggungnya, juga shock yang terjadi, kesulitan penyesuaian diri, rasa
tidak percaya diri serta rasa tidak percaya kepada orang lain, kehilangan masa
depan yang cerah terutama dalam konteks kehidupan perkawinan dan dinilai
kewanitaannya. Semua akibat yang dapat terjadi pada diri korban, dan jelas itu
semua bukan kerugian yang kecil dan sederhana, karena hal ini dapat menurunkan
derajat kemanusiaan. Oleh karena itu selayaknya jika perilaku tersebut
dikendalikan, kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali. Dalam hal ini psikologi
sebagai suatu ilmu yang berhubungan erat dengan perilaku manusia dapat
memberikan sumbangan dalam mengendalikan perilaku itu. Tentu saja tugas
tersebut akan lebih mudah dilaksanakan jika perilaku tersebut dapat dipahami
dengan jelas termasuk faktor-faktor yang mendukung timbulnya perilaku tersebut,
serta interaksi yang terjadi antara keduanya.
Rumusan masalahannya adalah Apakah motivasi yang melatarbelakangi
perilaku memperkosa pada Napi kasus pemerkosaan. Sehingga berdasarkan
permasalahan yang telah diuraikan di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai topik tersebut dengan judul “ Motivasi Memperkosa Pada
Napi Kasus Pemerkosaan “.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memahami
secara mendalam motivasi-motivasi dibalik pemerkosaan yang terjadi pada Napi
yang terlibat kasus pemerkosaan.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan pemerkosaan bukan suatu jenis kejahatan yang baru. Melainkan
sama tua usianya dengan keberadaan kehidupan manusia. Pemunculannya tidak
saja dalam masyarakat modern, melainkan juga dalam masyarakat primitif.
Dewasa ini kejahatan pemerkosaan merupakan kejahatan yang cukup
mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Kejahatan tersebut tampaknya
meningkat secara kuantitas, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan
masyarakat. Atmasasmita ahli hukum UNPAD mengatakan selama delapan tahun
(1992-1999), rata-rata dalam empat atau lima jam, jatuh satu korban perkosaan.
Menurut Aris Margono (1995) jumlah korban perkosaan tiap tahun lebih dari
seribu orang. Pada tahun 1991 di seluruh Indonesia terjadi 1.341 kasus perkosaan.
Pada tahun 1992 ada 1.356 kasus (Gatra, 5 Agustus 1995 : 27). Angka tersebut
belum termasuk perkosaan yang tidak dilaporkan, dr. W.M. Roan (1995)
mengatakan perkosaan termasuk kasus yang rendah tingkat pelapornya, yakni dari
4-10 kasus hanya satu yang melapor (Marzuki Umar Sa’abah, juni 2001).
Gara-gara tidak bisa menahan hasrat seksualnya seorang pemuda Surabaya
telah memperkosa anak yang berumur 14 tahun. Hasrat seksual timbul gara-gara
hobi menonton VCD porno dan perbuatan bejat itu dilakukan di kamar rumah
korban. Kejadian ini bermula ketika pemerkosa melihat kemolekan tubuh korban
yang tertidur dengan hanya mengenakan BH dan celana dalam. Yang lebih kejam
lagi saat pemerkosa itu melakukan hubungan intimnya dengan korban seakan-
akan membayangkan adegan porno yang pernah ditontonnya
(SM. Jawa Pos, 26 Maret 2004).
Berita tersebut sempat menggemparkan warga masyarakat yang telah
mengetahui pemerkosaan akhir-akhir ini telah meningkat tajam. Akhir-akhir ini
dalam dunia kejahatan telah banyak ditayangkan oleh stasiun TV, sebagian besar
adalah tentang kasus pemerkosaan yang dilandasi berbagai motif.
Menunurut dr. W. M. Roan (1995) kasus di atas hanya salah satu dari
banyak kasus pemerkosaan yang terjadi hampir di mana saja dan kapan saja,
masyarakat dunia dibikin kesal oleh meningkatnya jumlah kasus pemerkosaan.
Banyak surat kabar dan majalah mencoba mengangkat kasus-kasus tersebut,
bertujuan dengan maksud mendapatkan perhatian dari masyarakat luas dan pihak-
pihak yang berkompeten. Misalnya, kepolisian, pengadilan, guru dan psikolog
khususnya. Dunia perfilman bahkan juga berupaya turut mengangkat kasus itu.
Biasanya kasus pemerkosaan banyak yang tidak dilaporkan. Banyak
anggota masyarakat tidak melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya dan
memilih untuk diam atau tutup mulut. Alasan mereka antara lain rasa malu jika
dirinya diketahui oleh umum sebagai korban pemerkosaan dan kuatir diperolok,
malu karena akan ketahuan tidak perawan lagi padahal belum bersuami,
masalahnya akan berkepanjangan jika berurusan dengan polisi dan pengadilan
serta rasa takut terhadap ancaman pelaku atau keluarga pelaku.
Banyak kerugian yang harus ditanggung oleh korban perkosaan pada anak-
anak maupun orang dewasa. Kerugian tersebut meliputi fisik dan psikis. Korban
perkosaan akan mengalami trauma akibat pengalamannya yang melibatkan fisik
dan mentalnya.
Master dan Johnson (Davison dan Neale, 1974) membuktikan adanya
beberapa kasus yang menunjukkan bahwa pengalaman perkosaan dapat
meninggalkan bekas pada perempuan selama beberapa tahun setelah kejadian,
serta mengakibatkan sikap negatif terhadap hubungan seksual dengan suaminya.
Ligamen-ligamen dalam daerah pelvic dapat koyak ketika perempuan tersebut
melakukan usaha perlawanan terhadap pemerkosa. Belum lagi terjadi kehamilan
akibat hubungan seksual dalam perkosaan tersebut, Si korban pula yang harus
menanggungnya.
Perlakuan memperkosa melalui paksaan dapat dilibatkan teror verbal dan
fisik terhadap korban yang umumnya lebih lemah dan tidak siap secara fisik
maupun mental. Pemerkosa bahkan dapat melukai tubuh korban secara serius
dalam rangka memaksa korbannya.
Perilaku memperkosa memang merupakan suatu fenomena yang cukup
kompleks dan banyak memiliki variasi yang berbeda dalam bentuk, motivasi serta
korbannya. Tinjauan perilaku memperkosa ini dapat mengacu pada berbagai
prespektif yang mempengaruhi pembentukkan sebuah fenomena definisi perilaku
memperkosa serta kategori kasus di dalamnya.
Perilaku memperkosa secara umum tidak dapat dipisahkan dari unsur
seksual, karena bentuk perilaku ini berhubungan erat dengan hubungan seksual
antar individu. Jika ditinjau lebih jauh akan tampak bahwa ternyata unsur
seksualitas dalam kehidupan manusia memiliki banyak arti.
Perilaku memperkosa dapat juga timbul untuk menuangkan berbagai motif
yang berbeda serta mengekspresikan berbagai emosi yang berbeda pula.
Oleh karena itu tidak heran jika kini perilaku memperkosa memiliki banyak motif
(Konechi dan Ebbesen, 1982). Motivasi memperkosa dapat juga ditampakkan
sebagai suatau cara mengekspresikan permusuhan dan kebencian (Baron dan
Byrne, 1980).
Motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu (Suryabrata, 1984). Selain motivasi pemuasan seksual juga ada
yang untuk mencari fantasi seksual yang pernah dialami sebelumnya (Coleman
dan Baron, 1974 ; Davison dan Neale, 1974 ; Kisker, 1977 ; Strange, 1976 ; White
dan Wait, 1981).
Perilaku memperkosa sering melibatkan unsur kekerasan sebagai
manifestasi dari agresivitas baik secara verbal dan fisik sebagai rasa kekecewaan
serta unsur seksual yang sama-sama tinggi. Oleh karena itu motivasi memperkosa
dianggap sebagai gabungan antara seksual dan agresivitas (Coleman dan Broen,
1974)
Kisker (1977) memandang masalah motivasi memperkosa dari sudut
pandang psikologi abnormal sehingga tendensi ekspresi impulsive dari perilaku
seksual yang besar dan individu tidak mampu menyesuaikan dorongan dalam
kondisi semacam itu.
Perkosaan tidak dipandang sebagai kejahatan yang menjadi urusan
individu korban, namun harus dijadikan sebagai problem publik, karena kejahatan
ini jelas-jelas merupakan bentuk perilaku primitif yang menonjolkan nafsu,
dendam, dan superioritas, yakni siapa yang kuat itulah yang berhak
mengorbankan orang lain.
Titik berat permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaku (pemerkosa)
bukan korban. Alasan utama penekanan pada pelaku (pemerkosa) adalah
keprihatinan terhadap peningkatan jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia
khususnya wilayah Karisidenan Surakarta, sehingga perlu dicegah supaya korban
tidak berjatuhan semakin banyak. Keprihatinan penulis terhadap masalah ini
terutama mengingat kondisi korban akibat peristiwa yang dialaminya. Korban
akan mengalami trauma akibat pengalaman buruk belum lagi rasa malu dan sakit
yang ditanggungnya, juga shock yang terjadi, kesulitan penyesuaian diri, rasa
tidak percaya diri serta rasa tidak percaya kepada orang lain, kehilangan masa
depan yang cerah terutama dalam konteks kehidupan perkawinan dan dinilai
kewanitaannya. Semua akibat yang dapat terjadi pada diri korban, dan jelas itu
semua bukan kerugian yang kecil dan sederhana, karena hal ini dapat menurunkan
derajat kemanusiaan. Oleh karena itu selayaknya jika perilaku tersebut
dikendalikan, kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali. Dalam hal ini psikologi
sebagai suatu ilmu yang berhubungan erat dengan perilaku manusia dapat
memberikan sumbangan dalam mengendalikan perilaku itu. Tentu saja tugas
tersebut akan lebih mudah dilaksanakan jika perilaku tersebut dapat dipahami
dengan jelas termasuk faktor-faktor yang mendukung timbulnya perilaku tersebut,
serta interaksi yang terjadi antara keduanya.
Rumusan masalahannya adalah Apakah motivasi yang melatarbelakangi
perilaku memperkosa pada Napi kasus pemerkosaan. Sehingga berdasarkan
permasalahan yang telah diuraikan di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai topik tersebut dengan judul “ Motivasi Memperkosa Pada
Napi Kasus Pemerkosaan “.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memahami
secara mendalam motivasi-motivasi dibalik pemerkosaan yang terjadi pada Napi
yang terlibat kasus pemerkosaan.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :