BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas kesuluruhan gambaran dari penelitian ini. Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan masalah, kerangka penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Citra merek adalah suatu asset bagi perusahaan, yaitu berupa tanggapan konsumen yang ditimbulkan oleh pengetahuan mereka atas nama merek suatu produk. Citra merek suatu produk perusahaan perlu dibangun, dikarenakan konsumen tidak mungkin melakukan pembelian jika merek tersebut memiliki citra negatif. Dari adanya citra merek dalam diri konsumen, maka akan menimbulkan loyalitas merek. Loyalitas merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Sejauh mana pelanggan bersedia membayar lebih tinggi untuk merek tertentu tersebut merupakan ukuran loyalitas merek.
Pada kasus merek yang sedang mengalami kelesuan atau penurunan (suffering brand), seperti diungkapkan oleh Ewing et al (dalam Andrews dan Kim, 2007:350), untuk kembali pulih memerlukan waktu yang lama. Namun, dapat berubah ke arah yang lebih terpuruk jika program merek (branding program) gagal untuk mengatasi isu negatif mengenai merek yang ada di benak konsumen (Lamon, 2004).
Efek negatif dari persepsi citra merek yang buruk akan bertambah parah jika disebarkan melalui media massa, internet, atau melalui referensi dari mulut ke mulut (Word of Mouth) yang dilakukan oleh konsumen. Efek ini akan mengakibatkan usaha dalam memulihkan citra merek akan menjadi sia-sia dan terkalahkan dengan beredarnya informasi yang negatif mengenai merek tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian finansial dan hilangnya target pasar (Andrews dan Kim, 2007:351).
Terdapat contoh kasus mengenai penurunan citra merek yang dialami oleh Hyundai Mobil yang mengalami citra merek yang buruk di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Selain itu, ia juga memberikan contoh tentang ditariknya merek Vioxx oleh produsen Merck’s sebagai produsen produk-produk farmasi. Produk Vioxx diisukan memberikan efek samping pada munculnya kelainan pada hati dan resiko munculnya gejala stroke pada tahun 2000 (Andrews dan Kim, 2007:350-351).
Pemulihan merek (brand revitalisation) harus berbeda perlakuannya dari penciptaan citra merek yang baru, dikarenakan beberapa alasan: pertama, pemulihan merek terfokus pada upaya untuk merubah persepsi buruk yang ada di benak konsumen dengan citra yang baik (right brand image), sikap (attitude), dan asosiasi yang baik jika konsumen mengingat merek tersebut (association). Kedua, pemulihan merek melibatkan upaya untuk merubah market position yang awalnya terpuruk menjadi disukai, sedangkan penciptaan citra merek dari produk yang baru adalah penciptaan citra merek dan market position.
Penelitian empiris mengenai pemulihan citra merek yang terpuruk (revitalisation suffering brand), baik merek domestik (lokal) maupun merek internasional, masih sangat sedikit. Padahal, upaya untuk mengetahui strategi marketing dan tindakan manajerial dalam upaya memulihkan citra merek dari benak konsumen merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini terutama untuk upaya diagnosis faktor-faktor yang dapat ditempuh oleh manajemen dalam memulihkan citra merek sehingga dapat mempertahankan niat baik dari konsumen terhadap merek dan mempertahankan market share (Andrews dan Kim, 2007:351).
Berkenaan dengan obyek penelitian, produk handphone dengan merek Motorolla sebagai produk utama Motorolla, Inc dan di Indonesia di bawah PT Motorolla Indonesia, pada tahun 2008 citra merek perusahaan mengalami kemunduran yang tajam. Bahkan, seperti diberitakan oleh detikinet.com, Motorolla, Inc pada tahun 2008 memangkas sekitar 3 ribu karyawannya. Sekitar 2 ribu karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) berasal dari divisi perangkat bergerak (mobile phone). Langkah ini ditempuh Motorola sebagai bagian dari upaya penghematan keuangan sekitar US$800 juta. Di tahun 2008 ini, performa Motorola menurun tajam. Penjualan ponselnya turun sekitar 9 persen, dan mengalami kerugian sebesar US$397 juta (dikutip dari http://www.detikinet.com/read/2008/10/31/112014/1028909/319/motorolapangkas-ribuan-karyawan).
Dari segi market position yang menunjukkan bagaimana tingkat citra merek pada konsumen kaitannya dengan penjualan produk, pada tahun 2008 Motorola berada di urutan ke-4, di belakang Nokia, Samsung, dan Sony Ericsson dalam persaingan pasar ponsel dunia juga di Indonesia. Berbeda dengan tahun 2002, di mana market position Motorola berada pada posisi ke-2.
Market position dan market share produk-produk seluler lebih jelas terlihat pada tabel di bawah ini:
PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas kesuluruhan gambaran dari penelitian ini. Bab ini meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan masalah, kerangka penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Citra merek adalah suatu asset bagi perusahaan, yaitu berupa tanggapan konsumen yang ditimbulkan oleh pengetahuan mereka atas nama merek suatu produk. Citra merek suatu produk perusahaan perlu dibangun, dikarenakan konsumen tidak mungkin melakukan pembelian jika merek tersebut memiliki citra negatif. Dari adanya citra merek dalam diri konsumen, maka akan menimbulkan loyalitas merek. Loyalitas merek mengakibatkan pelanggan memperlihatkan preferensi terhadap suatu produk dibandingkan dengan yang lain kalau keduanya pada dasarnya identik. Sejauh mana pelanggan bersedia membayar lebih tinggi untuk merek tertentu tersebut merupakan ukuran loyalitas merek.
Pada kasus merek yang sedang mengalami kelesuan atau penurunan (suffering brand), seperti diungkapkan oleh Ewing et al (dalam Andrews dan Kim, 2007:350), untuk kembali pulih memerlukan waktu yang lama. Namun, dapat berubah ke arah yang lebih terpuruk jika program merek (branding program) gagal untuk mengatasi isu negatif mengenai merek yang ada di benak konsumen (Lamon, 2004).
Efek negatif dari persepsi citra merek yang buruk akan bertambah parah jika disebarkan melalui media massa, internet, atau melalui referensi dari mulut ke mulut (Word of Mouth) yang dilakukan oleh konsumen. Efek ini akan mengakibatkan usaha dalam memulihkan citra merek akan menjadi sia-sia dan terkalahkan dengan beredarnya informasi yang negatif mengenai merek tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian finansial dan hilangnya target pasar (Andrews dan Kim, 2007:351).
Terdapat contoh kasus mengenai penurunan citra merek yang dialami oleh Hyundai Mobil yang mengalami citra merek yang buruk di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Selain itu, ia juga memberikan contoh tentang ditariknya merek Vioxx oleh produsen Merck’s sebagai produsen produk-produk farmasi. Produk Vioxx diisukan memberikan efek samping pada munculnya kelainan pada hati dan resiko munculnya gejala stroke pada tahun 2000 (Andrews dan Kim, 2007:350-351).
Pemulihan merek (brand revitalisation) harus berbeda perlakuannya dari penciptaan citra merek yang baru, dikarenakan beberapa alasan: pertama, pemulihan merek terfokus pada upaya untuk merubah persepsi buruk yang ada di benak konsumen dengan citra yang baik (right brand image), sikap (attitude), dan asosiasi yang baik jika konsumen mengingat merek tersebut (association). Kedua, pemulihan merek melibatkan upaya untuk merubah market position yang awalnya terpuruk menjadi disukai, sedangkan penciptaan citra merek dari produk yang baru adalah penciptaan citra merek dan market position.
Penelitian empiris mengenai pemulihan citra merek yang terpuruk (revitalisation suffering brand), baik merek domestik (lokal) maupun merek internasional, masih sangat sedikit. Padahal, upaya untuk mengetahui strategi marketing dan tindakan manajerial dalam upaya memulihkan citra merek dari benak konsumen merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini terutama untuk upaya diagnosis faktor-faktor yang dapat ditempuh oleh manajemen dalam memulihkan citra merek sehingga dapat mempertahankan niat baik dari konsumen terhadap merek dan mempertahankan market share (Andrews dan Kim, 2007:351).
Berkenaan dengan obyek penelitian, produk handphone dengan merek Motorolla sebagai produk utama Motorolla, Inc dan di Indonesia di bawah PT Motorolla Indonesia, pada tahun 2008 citra merek perusahaan mengalami kemunduran yang tajam. Bahkan, seperti diberitakan oleh detikinet.com, Motorolla, Inc pada tahun 2008 memangkas sekitar 3 ribu karyawannya. Sekitar 2 ribu karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) berasal dari divisi perangkat bergerak (mobile phone). Langkah ini ditempuh Motorola sebagai bagian dari upaya penghematan keuangan sekitar US$800 juta. Di tahun 2008 ini, performa Motorola menurun tajam. Penjualan ponselnya turun sekitar 9 persen, dan mengalami kerugian sebesar US$397 juta (dikutip dari http://www.detikinet.com/read/2008/10/31/112014/1028909/319/motorolapangkas-ribuan-karyawan).
Dari segi market position yang menunjukkan bagaimana tingkat citra merek pada konsumen kaitannya dengan penjualan produk, pada tahun 2008 Motorola berada di urutan ke-4, di belakang Nokia, Samsung, dan Sony Ericsson dalam persaingan pasar ponsel dunia juga di Indonesia. Berbeda dengan tahun 2002, di mana market position Motorola berada pada posisi ke-2.
Market position dan market share produk-produk seluler lebih jelas terlihat pada tabel di bawah ini: