BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendirian bank syariah di tanah air secara nyata dimulai sejak dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang mengatur tentang deregulasi dalam bidang perbankan di Indonesia. Sejak saat itu, para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai berusaha untuk mendirikan bank dengan konsep bebas bunga, akan tetapi masih terhambat dengan tiadanya hukum positif untuk mewujudkan hal tersebut. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan menafsirkan peraturan di bidang perbankan bahwa bank dapat saja menerapkan tingkat bunga 0%.
Pada tahun 1992 dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Pada saat itu belum disebutkan sebagai bank syariah, saat itu masih disebut dengan bahasa bank yang beroperasi dengan konsep bagi hasil. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka berdirilah bank syariah pertama di tanah air yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), maka banyak pula berdiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di pelosok tanah air.
UU No. 7 Tahun 1992 tidak memperbolehkan dual banking system yaitu bank yang beroperasi dengan dua sistem. Bank yang beroperasi dengan sistem bunga tidak diperbolehkan beroperasi dengan sistem bagi hasil dan sebaliknya bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil tidak diperbolehkan beroperasi dengan sistem bunga.
Pada tahun 1998 dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang membuka kemungkinan berlakunya dual banking system di tanah air. Sejak dikeluarkannya UU tersebut, muncullah bank-bank yang menggunakan sistem bunga membuka Unit Usaha Syariah (UUS).
Menurut data Karim Business Consulting (Kusnan M.Djawahir ,2005:95) sudah ada 19 bank umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dan 3 bank yang beroperasi penuh secara syariah (Bank Umum Syariah). Ketiga Bank Umum tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) yang merupakan konversi dari Bank Tugu.
Dari segi volume bisnis, keuangan syariah belum sebanding dengan keuangan konvensional (dengan sistem bunga). Adiwarman Karim juga menyebutkan bahwa pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil yaitu hanya 1,2% dari pangsa pasar seluruhnya. Data Bank Indonesia menunjukkan, tahun 2004 total aset perbankan syariah baru Rp 15,31 triliun. Sedangkan total aset bank konvensional sudah mencapai Rp 1.215,69 triliun. Pada tahun 2004 Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan syariah hanya Rp 11,67 triliun dan bank konvensional (dengan sistem bunga) mencapai Rp 965,08 triliun.
Pertumbuhan keuangan syariah sangat menggembirakan. Volume usaha (aset) perbankan syariah pada tahun 2004 diestimasi mencapai Rp 14,15 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2003, volume usaha tersebut naik sebesar 88,6%. Berikut ini penulis sajikan tabel perkembangan perbankan syariah (konsep bagi hasil) dan perbankan konvensional (konsep bunga):
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendirian bank syariah di tanah air secara nyata dimulai sejak dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang mengatur tentang deregulasi dalam bidang perbankan di Indonesia. Sejak saat itu, para ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai berusaha untuk mendirikan bank dengan konsep bebas bunga, akan tetapi masih terhambat dengan tiadanya hukum positif untuk mewujudkan hal tersebut. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan menafsirkan peraturan di bidang perbankan bahwa bank dapat saja menerapkan tingkat bunga 0%.
Pada tahun 1992 dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Pada saat itu belum disebutkan sebagai bank syariah, saat itu masih disebut dengan bahasa bank yang beroperasi dengan konsep bagi hasil. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka berdirilah bank syariah pertama di tanah air yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), maka banyak pula berdiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di pelosok tanah air.
UU No. 7 Tahun 1992 tidak memperbolehkan dual banking system yaitu bank yang beroperasi dengan dua sistem. Bank yang beroperasi dengan sistem bunga tidak diperbolehkan beroperasi dengan sistem bagi hasil dan sebaliknya bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil tidak diperbolehkan beroperasi dengan sistem bunga.
Pada tahun 1998 dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang membuka kemungkinan berlakunya dual banking system di tanah air. Sejak dikeluarkannya UU tersebut, muncullah bank-bank yang menggunakan sistem bunga membuka Unit Usaha Syariah (UUS).
Menurut data Karim Business Consulting (Kusnan M.Djawahir ,2005:95) sudah ada 19 bank umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dan 3 bank yang beroperasi penuh secara syariah (Bank Umum Syariah). Ketiga Bank Umum tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) yang merupakan konversi dari Bank Tugu.
Dari segi volume bisnis, keuangan syariah belum sebanding dengan keuangan konvensional (dengan sistem bunga). Adiwarman Karim juga menyebutkan bahwa pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil yaitu hanya 1,2% dari pangsa pasar seluruhnya. Data Bank Indonesia menunjukkan, tahun 2004 total aset perbankan syariah baru Rp 15,31 triliun. Sedangkan total aset bank konvensional sudah mencapai Rp 1.215,69 triliun. Pada tahun 2004 Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan syariah hanya Rp 11,67 triliun dan bank konvensional (dengan sistem bunga) mencapai Rp 965,08 triliun.
Pertumbuhan keuangan syariah sangat menggembirakan. Volume usaha (aset) perbankan syariah pada tahun 2004 diestimasi mencapai Rp 14,15 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2003, volume usaha tersebut naik sebesar 88,6%. Berikut ini penulis sajikan tabel perkembangan perbankan syariah (konsep bagi hasil) dan perbankan konvensional (konsep bunga):