BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya digunakan untuk menilai kinerja perusahaan ataupun kinerja manajer sebagai dasar untuk memberikan bonus kepada manajer, dan juga digunakan sebagai dasar penghitungan penghasilan kena pajak. Manajemen laba merupakan hal yang perlu dipahami oleh akuntan karena akan meningkatkan pemahaman mengenai kegunaan informasi net income, baik yang dilaporkan kepada investor, kreditor, maupun fiskus.
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba.
Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.
Manajemen laba sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang menjadi pendorong timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip Sugiri (1998) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa asimetri informasi dapat mempengaruhi manajemen laba. Teori keagenan (Agency Theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Fleksibelitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Variabel lain yang berkorelasi dengan manajemen laba adalah ukuran perusahaan. Mpaata dan Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total asset yang dimiliki perusahaan. Penelitian Defond (1993) dalam Veronica dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Perusahaan besar mempunyai insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Selain itu semakin besar perusahaan, semakin banyak estimasi dan penilaian yang perlu diterapkan untuk tiap jenis aktivitas perusahaan yang semakin banyak
Penelitian yang akan dilakukan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel independen asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel independen yang digunakan. Peneliti sebelumnya hanya menggunakan asimetri informasi sebagai variabel independennya, oleh karena itu, penulis menambahkan ukuran perusahaan sebagai variabel independen selain asimetri informasi. Selain itu peneliti sebelumnya menggunakan perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ sebagai sampel sedangkan penulis menggunakan perusahaan manufaktur yang go public di BEJ sebagai sampel
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya digunakan untuk menilai kinerja perusahaan ataupun kinerja manajer sebagai dasar untuk memberikan bonus kepada manajer, dan juga digunakan sebagai dasar penghitungan penghasilan kena pajak. Manajemen laba merupakan hal yang perlu dipahami oleh akuntan karena akan meningkatkan pemahaman mengenai kegunaan informasi net income, baik yang dilaporkan kepada investor, kreditor, maupun fiskus.
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba.
Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.
Manajemen laba sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang menjadi pendorong timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip Sugiri (1998) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa asimetri informasi dapat mempengaruhi manajemen laba. Teori keagenan (Agency Theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Fleksibelitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Variabel lain yang berkorelasi dengan manajemen laba adalah ukuran perusahaan. Mpaata dan Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total asset yang dimiliki perusahaan. Penelitian Defond (1993) dalam Veronica dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Perusahaan besar mempunyai insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Selain itu semakin besar perusahaan, semakin banyak estimasi dan penilaian yang perlu diterapkan untuk tiap jenis aktivitas perusahaan yang semakin banyak
Penelitian yang akan dilakukan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel independen asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel independen yang digunakan. Peneliti sebelumnya hanya menggunakan asimetri informasi sebagai variabel independennya, oleh karena itu, penulis menambahkan ukuran perusahaan sebagai variabel independen selain asimetri informasi. Selain itu peneliti sebelumnya menggunakan perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ sebagai sampel sedangkan penulis menggunakan perusahaan manufaktur yang go public di BEJ sebagai sampel
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :