BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak awal merupakan sebuah fase awal dari perkembangan
ketiga aspek yang dimiliki oleh manusia pada umumnya, yaitu perkembangan
kognisi, motorik, dan afeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa inilah
seorang anak akan mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya untuk
kelangsungan hidupnya dikemudian hari karena pada usia yang masih muda ini,
pribadi dari anak masih mudah untuk dibentuk.
Hurlock (1997) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat enam tugas
perkembangan pada masa kanak-kanak awal ini, namun yang paling sulit bagi
anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua,
saudara-saudara kandung dan orang lain. Hubungan emosional yang terdapat pada
masa bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Alasannya adalah
karena hubungan dengan orang lain dalam masa bayi berdasarkan ketergantungan
bayi pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, terutama
kebutuhan kasih sayang. Tetapi anak harus belajar memberi dan menerima kasih
sayang. Singkatnya, ia harus belajar terikat keluar daripada dirinya sendiri.
Perkembangan sosial anak ditandai dengan kemajuannya dalam berbicara.
Pada masa ini anak-anak mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar berbicara.
Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok
dalam sosialisasi. Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman
sebaya akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima
sebagai anggota kelompok daripada anak yang kemampuan berkomunikasinya
terbatas. Kedua, belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh
kemandirian. Anak-anak yang tidak dapat mengemukakan keinginan dan
kebutuhannya, atau yang tidak dapat berusaha agar dimengerti orang lain
cenderung diperlukan sebagai bayi dan tidak berhasil memperoleh kemandirian
yang diinginkan (Hurlock, 1997).
Anak sebagai seorang individu dan sebagai makhluk sosial dituntut untuk
selalu mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosialnya dan mampu menampilkan dirinya sesuai
dengan norma atau aturan yang berlaku. Proses mengenal tingkah laku yang dapat
diterima oleh masyarakat dan diharapkan dilakukan anak, serta belajar
mengendalikan diri dinamakan proses sosialisasi. Hasil yang diperoleh dari proses
sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang mempunyai kedudukan
strategis bagi anak untuk dapat membina hubungan antarpribadi dalam berbagai
lingkungan dan kelompok orang. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya
disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai
dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang
cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya,
memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dan
sebagainya. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan
memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya
sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Mu’tadin (2002) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan
individu untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil
dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai
dengan aturan atau norma yang berlaku. Michelson, dkk (1985) menjelaskan lebih
lanjut bahwa keterampilan sosial meliputi cara-cara memberikan pujian,
mengemukakan keluhan atau ketidaksetujuan terhadap suatu hal, menolak
permintaan orang lain, keterampilan bertukar pengalaman, cara-cara menuntut hak
pribadi, memberikan saran kepada orang lain, teknik pemecahan masalah atau
konflik, cara-cara berhubungan/bekerja sama dengan orang lain yang berlainan
jenis kelamin maupun orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya dan
beberapa tingkah laku lain.
Bentuk keterampilan sosial ini terdiri atas: keterampilan bercakap-cakap
baik verbal maupun nonverbal, keterampilan melontarkan humor, keterampilan
untuk berteman dan menjalin persahabatan, keterampilan bergaul dalam
kelompok, dan keterampilan bertata krama (Shapiro, 1999).
Selaras dengan pendapat tersebut, Michelson (1985) mengemukakan 3
aspek yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu: a) respon verbal, yaitu
respon yang disampaikan individu kepada orang lain secara lisan, b) respon
nonverbal, yaitu setiap respon individu yang tidak diberikan secara lisan, serta c)
proses kognitif, proses kognitif yang dialami individu biasanya menyangkut
pemikiran dan ide-ide mengenai tindakan atau sikap yang menyangkut sesuatu
hal. Proses ini sangat mempengaruhi kemampuan individu melakukan komunikasi
verbal maupun nonverbal.
Proses pembentukan keterampilan sosial tersebut tidaklah lepas dari
pengaruh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seorang anak memulai kehidupan
sosialnya di sekolah yang pertama ia masuki. Di sekolah inilah anak akan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan
kelompok, maupun berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai
individu. Namun demikian, tentunya banyak faktor yang bisa mempengaruhi
pembentukan diri juga keterampilan sosial anak pada masa ini, salah satunya yaitu
dengan mempertimbangkan sistem pendidikan yang diberikan pada anak. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Ihsan (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan tidak
hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan
keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan
keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup
pribadi dan sosial yang memuaskan.
Mengapa pendidikan pada anak usia dini (prasekolah) ini sangat penting
dicermati ? Data tahun 2000 menunjukkan bahwa dari 26 juta anak usia 0-6 tahun,
baru sekitar 4,4 juta atau 17 % yang sudah mendapat pelayanan di berbagai
program pendidikan anak usia dini dalam bentuk bina keluarga balita, taman
kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (taman bermain Islam) atau RA, tempat
penitipan anak, dan kelompok bermain. Namun dua tahun sejak tahun 2000 terjadi
peningkatan jumlah lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan bagi anak
usia dini (http://www.gontor.net/readartikel.php?).
Pendidikan, pada hakikatnya merupakan usaha sadar orang dewasa untuk
membimbing, mengarahkan atau mengkondisikan orang yang belum dewasa agar
mencapai kedewasaannya. Pengertian ini masih umum, artinya bentuk
kedewasaan yang dimaksud tergantung kepada sistem nilai yang melandasi
konsep pendidikan itu sendiri. Bila konsep pendidikan yang hendak
dikembangkan berlandaskan sistem nilai Imtaq, maka bentuk kedewasaan yang
dimaksudkan tentu berbeda dengan bentuk kedewasaan yang hendak
dikembangkan oleh konsep pendidikan yang berlandaskan sistem nilai fujur
(http://www/alsofwah.or.id.)
Nawawi (Ihsan, 2003) menyatakan bahwa pendidikan formal adalah usaha
pendidikan yang diselenggarakan secara sengaja, berencana, terarah, dan
sistematis melalui suatu lembaga pendidikan yang disebut sekolah. Sedangkan
lembaga pendidikan merupakan lembaga normatif yang menawarkan sejumlah
nilai yang baik dan mensosialisasikan kepada masyarakat pendidik. Kurikulum
pendidikan formal adalah kurikulum yang telah ditetapkan oleh Depdiknas, dan
biasanya mempunyai waktu belajar yang relatif singkat dibandingkan dengan
sistem pendidikan terpadu yang sekarang ini sedang berkembang.
Seperti kita ketahui, berdirinya sekolah-sekolah terpadu terutama sekolah
Islam terpadu sedikit banyak mampu memberikan angin segar kepada para orang
tua ataupun pendidik untuk memilih pendidikan yang dirasa cocok bagi
perkembangan anaknya. Pendidikan terpadu ini biasanya menggunakan sistem full
days school, konsep belajar sehari penuh dimana anak didik berada di lingkungan
sekolah dari pagi hingga sore hari (pukul 07.15-15.30 WIB). Sistem pendidikan
ini berusaha mengoptimalkan kurikulum yang telah disusun oleh Depdiknas
dengan pendidikan modern, baik dilihat dari sarana dan prasarananya maupun
dilihat dari bentuk pendidikan yang diberikan.
Menurut Nurlaela (http://www.pikiran-rakyat.com) hasil dari pendidikan
yang diterapkan Indonesia sekarang ini ternyata menghasilkan generasi-generasi
yang babak belur. Faktanya, hampir di seluruh kota-kota besar hal-hal seperti
tawuran, narkoba, seks bebas dan sebagainya sudah menjadi teman akrab para
siswa. Dan diakui oleh sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan yang
diterapkan tidak berhasil mencetak generasi unggul, karena pendidikan yang
diterapkan adalah pendidikan sekuler. Oleh karena itu, masyarakat sadar dan
mencari sistem pendidikan alternatif yang bisa mencetak generasi unggul, yaitu
sistem pendidikan Islam.
Pendapat Nurlaela, di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat Alaydroes
(http://www.eramuslim.com) sebagai Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Indonesia, dan mengetuai yayasan pendidikan Nurul Fitri. Alaydroes menyatakan
bahwa motif utamanya mendirikan sekolah semacam ini adalah karena
kekecewaan. Kekecewaan terdapat sekolah-sekolah yang ada, yang umumnya
kering terhadap nilai-nilai Islam. Kalaupun ada, hanya melalui pendekatan
pelajaran agama saja. Itupun dilakukan dengan cara yang tidak efektif,
membosankan, dengan materi-materi yang padat. Maka dicobalah membuat
sekolah yang nilai-nilai Islamnya tidak hanya melalui pendekatan pelajaran agama
saja, tapi secara keseluruhan. Itulah yang disebut terpadu. Alasan kedua, kecewa
dengan performa sekolah-sekolah Islam yang ada, yang relatif tidak kompetitif
dari segi prestasi. Sekolah Islam Terpadu yang kini mulai merebak, mendongkrak,
meng-upgrade atau meng-improve keberadaan sekolah Islam dengan pendekatan
pembelajaran yang lebih modern. Alasan ketiga, ingin mengajak orangtua untuk
berpartisipasi aktif, terjun dalam pendidikan putra-putri mereka.
Sistem pendidikan terpadu merupakan sistem pendidikan yang tidak hanya
terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus
memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal
ini, minimal ada tiga hal yang harus menjadi pusat perhatian. Pertama, sinergi
antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan
terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Ketiga, berorientasi
pada pembentukan tsaqofah Islam, kepribadian Islam, dan pengetahuan terhadap
ilmu pengetahuan (http://www.hayatuislam.net).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekarang
ini lebih menyukai dan lebih mempercayai sekolah atau taman kanak-kanak
dengan sistem pendidikan terpadu dibandingkan dengan sistem pendidikan formal
atau biasa, namun apakah benar ada perbedaan keterampilan sosial anak pada
sekolah dengan sistem pendidikan terpadu dan sekolah dengan sistem pendidikan
formal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak awal merupakan sebuah fase awal dari perkembangan
ketiga aspek yang dimiliki oleh manusia pada umumnya, yaitu perkembangan
kognisi, motorik, dan afeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa inilah
seorang anak akan mengembangkan semua kemampuan yang dimilikinya untuk
kelangsungan hidupnya dikemudian hari karena pada usia yang masih muda ini,
pribadi dari anak masih mudah untuk dibentuk.
Hurlock (1997) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat enam tugas
perkembangan pada masa kanak-kanak awal ini, namun yang paling sulit bagi
anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua,
saudara-saudara kandung dan orang lain. Hubungan emosional yang terdapat pada
masa bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Alasannya adalah
karena hubungan dengan orang lain dalam masa bayi berdasarkan ketergantungan
bayi pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, terutama
kebutuhan kasih sayang. Tetapi anak harus belajar memberi dan menerima kasih
sayang. Singkatnya, ia harus belajar terikat keluar daripada dirinya sendiri.
Perkembangan sosial anak ditandai dengan kemajuannya dalam berbicara.
Pada masa ini anak-anak mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar berbicara.
Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok
dalam sosialisasi. Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman
sebaya akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima
sebagai anggota kelompok daripada anak yang kemampuan berkomunikasinya
terbatas. Kedua, belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh
kemandirian. Anak-anak yang tidak dapat mengemukakan keinginan dan
kebutuhannya, atau yang tidak dapat berusaha agar dimengerti orang lain
cenderung diperlukan sebagai bayi dan tidak berhasil memperoleh kemandirian
yang diinginkan (Hurlock, 1997).
Anak sebagai seorang individu dan sebagai makhluk sosial dituntut untuk
selalu mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungan sosialnya dan mampu menampilkan dirinya sesuai
dengan norma atau aturan yang berlaku. Proses mengenal tingkah laku yang dapat
diterima oleh masyarakat dan diharapkan dilakukan anak, serta belajar
mengendalikan diri dinamakan proses sosialisasi. Hasil yang diperoleh dari proses
sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang mempunyai kedudukan
strategis bagi anak untuk dapat membina hubungan antarpribadi dalam berbagai
lingkungan dan kelompok orang. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya
disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai
dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang
cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya,
memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dan
sebagainya. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini maka akan
memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya
sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Mu’tadin (2002) mengartikan keterampilan sosial sebagai kemampuan
individu untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil
dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai
dengan aturan atau norma yang berlaku. Michelson, dkk (1985) menjelaskan lebih
lanjut bahwa keterampilan sosial meliputi cara-cara memberikan pujian,
mengemukakan keluhan atau ketidaksetujuan terhadap suatu hal, menolak
permintaan orang lain, keterampilan bertukar pengalaman, cara-cara menuntut hak
pribadi, memberikan saran kepada orang lain, teknik pemecahan masalah atau
konflik, cara-cara berhubungan/bekerja sama dengan orang lain yang berlainan
jenis kelamin maupun orang yang lebih tua dan lebih tinggi statusnya dan
beberapa tingkah laku lain.
Bentuk keterampilan sosial ini terdiri atas: keterampilan bercakap-cakap
baik verbal maupun nonverbal, keterampilan melontarkan humor, keterampilan
untuk berteman dan menjalin persahabatan, keterampilan bergaul dalam
kelompok, dan keterampilan bertata krama (Shapiro, 1999).
Selaras dengan pendapat tersebut, Michelson (1985) mengemukakan 3
aspek yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu: a) respon verbal, yaitu
respon yang disampaikan individu kepada orang lain secara lisan, b) respon
nonverbal, yaitu setiap respon individu yang tidak diberikan secara lisan, serta c)
proses kognitif, proses kognitif yang dialami individu biasanya menyangkut
pemikiran dan ide-ide mengenai tindakan atau sikap yang menyangkut sesuatu
hal. Proses ini sangat mempengaruhi kemampuan individu melakukan komunikasi
verbal maupun nonverbal.
Proses pembentukan keterampilan sosial tersebut tidaklah lepas dari
pengaruh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seorang anak memulai kehidupan
sosialnya di sekolah yang pertama ia masuki. Di sekolah inilah anak akan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan
kelompok, maupun berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai
individu. Namun demikian, tentunya banyak faktor yang bisa mempengaruhi
pembentukan diri juga keterampilan sosial anak pada masa ini, salah satunya yaitu
dengan mempertimbangkan sistem pendidikan yang diberikan pada anak. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Ihsan (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan tidak
hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan
keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan
keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup
pribadi dan sosial yang memuaskan.
Mengapa pendidikan pada anak usia dini (prasekolah) ini sangat penting
dicermati ? Data tahun 2000 menunjukkan bahwa dari 26 juta anak usia 0-6 tahun,
baru sekitar 4,4 juta atau 17 % yang sudah mendapat pelayanan di berbagai
program pendidikan anak usia dini dalam bentuk bina keluarga balita, taman
kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (taman bermain Islam) atau RA, tempat
penitipan anak, dan kelompok bermain. Namun dua tahun sejak tahun 2000 terjadi
peningkatan jumlah lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan bagi anak
usia dini (http://www.gontor.net/readartikel.php?).
Pendidikan, pada hakikatnya merupakan usaha sadar orang dewasa untuk
membimbing, mengarahkan atau mengkondisikan orang yang belum dewasa agar
mencapai kedewasaannya. Pengertian ini masih umum, artinya bentuk
kedewasaan yang dimaksud tergantung kepada sistem nilai yang melandasi
konsep pendidikan itu sendiri. Bila konsep pendidikan yang hendak
dikembangkan berlandaskan sistem nilai Imtaq, maka bentuk kedewasaan yang
dimaksudkan tentu berbeda dengan bentuk kedewasaan yang hendak
dikembangkan oleh konsep pendidikan yang berlandaskan sistem nilai fujur
(http://www/alsofwah.or.id.)
Nawawi (Ihsan, 2003) menyatakan bahwa pendidikan formal adalah usaha
pendidikan yang diselenggarakan secara sengaja, berencana, terarah, dan
sistematis melalui suatu lembaga pendidikan yang disebut sekolah. Sedangkan
lembaga pendidikan merupakan lembaga normatif yang menawarkan sejumlah
nilai yang baik dan mensosialisasikan kepada masyarakat pendidik. Kurikulum
pendidikan formal adalah kurikulum yang telah ditetapkan oleh Depdiknas, dan
biasanya mempunyai waktu belajar yang relatif singkat dibandingkan dengan
sistem pendidikan terpadu yang sekarang ini sedang berkembang.
Seperti kita ketahui, berdirinya sekolah-sekolah terpadu terutama sekolah
Islam terpadu sedikit banyak mampu memberikan angin segar kepada para orang
tua ataupun pendidik untuk memilih pendidikan yang dirasa cocok bagi
perkembangan anaknya. Pendidikan terpadu ini biasanya menggunakan sistem full
days school, konsep belajar sehari penuh dimana anak didik berada di lingkungan
sekolah dari pagi hingga sore hari (pukul 07.15-15.30 WIB). Sistem pendidikan
ini berusaha mengoptimalkan kurikulum yang telah disusun oleh Depdiknas
dengan pendidikan modern, baik dilihat dari sarana dan prasarananya maupun
dilihat dari bentuk pendidikan yang diberikan.
Menurut Nurlaela (http://www.pikiran-rakyat.com) hasil dari pendidikan
yang diterapkan Indonesia sekarang ini ternyata menghasilkan generasi-generasi
yang babak belur. Faktanya, hampir di seluruh kota-kota besar hal-hal seperti
tawuran, narkoba, seks bebas dan sebagainya sudah menjadi teman akrab para
siswa. Dan diakui oleh sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan yang
diterapkan tidak berhasil mencetak generasi unggul, karena pendidikan yang
diterapkan adalah pendidikan sekuler. Oleh karena itu, masyarakat sadar dan
mencari sistem pendidikan alternatif yang bisa mencetak generasi unggul, yaitu
sistem pendidikan Islam.
Pendapat Nurlaela, di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat Alaydroes
(http://www.eramuslim.com) sebagai Ketua Jaringan Sekolah Islam Terpadu
Indonesia, dan mengetuai yayasan pendidikan Nurul Fitri. Alaydroes menyatakan
bahwa motif utamanya mendirikan sekolah semacam ini adalah karena
kekecewaan. Kekecewaan terdapat sekolah-sekolah yang ada, yang umumnya
kering terhadap nilai-nilai Islam. Kalaupun ada, hanya melalui pendekatan
pelajaran agama saja. Itupun dilakukan dengan cara yang tidak efektif,
membosankan, dengan materi-materi yang padat. Maka dicobalah membuat
sekolah yang nilai-nilai Islamnya tidak hanya melalui pendekatan pelajaran agama
saja, tapi secara keseluruhan. Itulah yang disebut terpadu. Alasan kedua, kecewa
dengan performa sekolah-sekolah Islam yang ada, yang relatif tidak kompetitif
dari segi prestasi. Sekolah Islam Terpadu yang kini mulai merebak, mendongkrak,
meng-upgrade atau meng-improve keberadaan sekolah Islam dengan pendekatan
pembelajaran yang lebih modern. Alasan ketiga, ingin mengajak orangtua untuk
berpartisipasi aktif, terjun dalam pendidikan putra-putri mereka.
Sistem pendidikan terpadu merupakan sistem pendidikan yang tidak hanya
terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus
memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal
ini, minimal ada tiga hal yang harus menjadi pusat perhatian. Pertama, sinergi
antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan
terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Ketiga, berorientasi
pada pembentukan tsaqofah Islam, kepribadian Islam, dan pengetahuan terhadap
ilmu pengetahuan (http://www.hayatuislam.net).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat sekarang
ini lebih menyukai dan lebih mempercayai sekolah atau taman kanak-kanak
dengan sistem pendidikan terpadu dibandingkan dengan sistem pendidikan formal
atau biasa, namun apakah benar ada perbedaan keterampilan sosial anak pada
sekolah dengan sistem pendidikan terpadu dan sekolah dengan sistem pendidikan
formal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: