BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah perilaku seksual menyimpang berupa pelacuran selalu menjadi
bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan
diperbincangkan, sedangkan masalah ini merupakan masalah sensitif yang
menyangkut masalah-masalah peraturan sosial, segi-segi moral, etika dalam
masyarakat dan aturan-aturan dalam agama. Hal ini oleh banyak orang dianggap
sebagai suatu kegiatan yang tergolong anti sosial, menyimpang dari moral dan
norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan dalam agama.
Menurut Kuntjoro, peneliti pelacuran dari UGM, di kota pariwisata
Yogyakarta pada 1970-an bisnis pelacuran masih terpusat di sekitar stasiun kereta
api atau di area perdagangan. Ketergantungan pada mucikari sangat tinggi. Para
penjaja, pemakai, dan penyalur masih memiliki rasa malu (GATRA Nomor 20.
Senin, 5 April 2003). Kenyataanya saat ini rasa malu mulai mengalami
pergeseran, sehingga kegiatan pelacuran tersebut sudah semakin meluas.
Perubahan tersebut di atas, antara lain dipicu masuknya nilai baru yang
menular dari para pendatang dan gaya hidup kota besar. Nasikun, sosiolog dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, menilai masyarakat Yogyakarta
sedang dalam proses menuju ke masyarakat massa. Nasikun juga menyatakan
bahwa norma dan selera cenderung mengikuti tatanan global yang lebih besar
(GATRA Nomor 20. Senin, 5 April 2003).
Perubahan yang berupa kegiatan pelacuran yang semakin meluas,
membuat banyak orang menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang kemana
hilangnya rasa malu, penyesalan atau rasa bersalah pada diri para pelacur tersebut.
Sudah jelas bahwa pelacuran dianggap memalukan dan tercela, serta bertentangan
dengan norma-norma, etika dan moral yang biasanya diukur dari sistem nilai-nilai
yang ada pada masyarakat. Kebingungan-kebingungan tersebut semakin muncul
seiring dengan menjamurnya bisnis pelacuran dan bertambahnya jumlah pelacur.
Nitimihardjo (2000) melalui pengujian analisis diskriminan membuktikan
bahwa sistem kepribadian dan lingkungan berperan dalam perilaku prostitusi,
aspek-aspek pada sistem kepribadian memiliki kontribusi lebih besar
dibandingkan dengan aspek-aspek pada sistem lingkungan di dalam mewujudkan
perilaku prostitusi. Koentjoro (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) juga
berpendapat bahwa faktor utama pembentuk perilaku melacurkan diri adalah
faktor kemiskinan dan kepribadian.
Penelitian lainnya oleh Adhari dan Handayani (dalam Lestari dan
Koentjoro, 2002), memperoleh data yang menunjukkan bahwa kondisi psikologis
yang menonjol pada para pelacur adalah masalah harga diri yang rendah.
Menyangkut permasalahan harga diri yang rendah, secara teoritis
penurunan harga diri tersebut dapat disebabkan oleh adanya perasaan bersalah.
Moordiningsih (2000) berpendapat rasa bersalah adalah pelanggaran terhadap
standar internal yang menghasilkan penurunan harga diri. Jadi ketika seseorang
merasakan penurunan harga diri, hal ini dapat disebabkan karena orang tersebut
memiliki suatu perasaan bersalah.
Berbicara tentang rasa bersalah efek dari pelacuran yang dianggap
merupakan suatu pelanggaran terhadap sistem nilai-nilai yang ada pada
masyarakat ini umumnya dapat menimbulkan rasa bersalah, apalagi raasa bersalah
tersebut pasti muncul dalam kehidupan setiap orang. Menurut Chaplin (2000)
bahwasannya perasaan emosional yang berasosiasi dengan realisasi bahwa
seseorang telah melanggar peraturan sosial, moral atau etika dapat menimbulkan
rasa bersalah.
English dan Macker (dalam Moordiningsih, 2000) juga berpendapat
bahwa rasa bersalah dihasilkan dari pelanggaran standar internal dan terdapat
perasaan menyesal. Rasa penyesalan tersebut muncul karena pikiran, perasaan
atau sikap negatif yang tidak dapat diterima, baik oleh diri sendiri atau orang lain.
Seandainya rasa bersalah tersebut ada pada diri pelacur, maka akan ada
kemungkinan munculnya penyesalan pada diri mereka. Hal ini karena pelacuran
dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap standar internal individu serta
merupakan pelanggaran terhadap peraturan sosial, moral atau etika yang ada
dalam masyarakat, maka akan ada kemungkinan munculnya penyesalan pada diri
mereka. Penyesalan tersebut diharapkan pada akhirnya dapat membawa
perubahan, sehingga mereka meninggalkan perbuatan yang tercela tersebut.
Banyak harapan yang muncul agar para pelacur tersebut mau serta mampu
menyadari perbuatan mereka yang menyimpang karena profesi mereka dianggap
sebagai kegiatan yang kotor dan meresahkan bagi masyarakat, sehingga kegiatan
pelacuran ini tidak semakin berkembang.
Kenyataannya, persoalan pelacuran di Yogyakarta sampai saat ini
sesungguhnya tidak pernah selesai. Setelah lokalisasi Sanggrahan di kawasan
Yogyakarta Selatan ditutup pemerintah daerah, para pelacur ternyata tidak
semakin berkurang di kota ini. Sebagian diantaranya bahkan menyebar ke
berbagai pelosok Yogyakarta, salah satu yang dituju adalah kampung
Sosrowijayan Kulon. Daerah di selatan stasiun kereta api Tugu Yogyakarta ini
juga sering disebut dengan Pasar Kembang, merupakan daerah praktek pelacuran
yang terletak di tengah kota. Daerah ini dekat dengan pusat perbelanjaan dan
pariwisata Malioboro yang merupakan daerah padat serta pusat beraktivitas bagi
banyak orang (Bernas. Rabu, 6 Desember 2000).
Koentjoro (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) mensinyalir bahwa
Yogyakarta memang merupakan ladang subur bagi pelacuran. Bahkan jumlah
pelacur perempuan yang dapat didata pada tahun 2001 mengalami peningkatan
sekitar 300%, yaitu dari jumlah 250 orang bertambah menjadi 750 orang.
Data yang bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial DIY, menunjukkan
jumlah pelacur pada tahun 2002 di daerah Sleman tercatat berjumlah 234 orang,
Kulonprogo 78 orang, Bantul 424 orang dan di kota Yogyakarta sendiri tercatat
berjumlah 712 orang (GATRA Nomor 20. Senin, 5 April 2003).
Hal ini cukup ironis, karena pelacuran tersebut tumbuh disekitar orang-
orang yang tahu bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu hal yang menyimpang
dari moral, norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan
agama. Tidak salah jika akhirnya keadaan ini menimbulkan tanda tanya besar
tentang dimana rasa bersalah dan penyesalan pada diri para pelacur tersebut.
Pada sisi lain, seharusnya para pelacur itu sendiri menyadari akan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya. Mereka seharusnya juga sadar telah
melanggar standar internal yang ada pada diri mereka dan mau berubah, namun
pada kenyataanya kegiatan pelacuran tersebut kini tetap eksis dan bahkan sudah
menjadi bagian dari pelengkap komoditi pariwisata di kota Yogyakarta.
Berusaha memahami dengan cara berpikir yang positif, akan dapat
membantu dalam memahami lebih jauh terhadap keadaan para pelacur yang
sebenarnya. Bentuk pemahaman tersebut adalah mampu memandang mereka
sebagai manusia yang sama seperti manusia yang lain, karena tidak ada satupun
wanita yang pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur. Sesungguhnya dapat
dimungkinkan akan timbul bentuk-bentuk penyesalan dan persaan bersalah atau
bahkan perasaan berdosa atas perbuatan yang dilakukan oleh pelacur tersebut,
namun perlu ditelaah dan diteliti lebih dalam lagi tentang bagaimana bentuk
penyesalan dan perasaan bersalah yang ada pada diri mereka tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu suatu penelitian untuk
mengungkap adanya rasa bersalah yang muncul pada diri pelacur tersebut beserta
bentuk-bentuknya. Hal ini didasarkan pada kaitannya pelacuran sebagai bentuk
kegiatan yang menyimpang dari moral, melanggar norma-norma sosial dan
kondisi psikologis yang menonjol pada diri para pelacur adalah berupa masalah
harga diri yang rendah. Profesi sebagai pelacur dalam praktek prostitusi jika
dihubungkan dengan teori-teori rasa bersalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,
maka dapat dimungkinkan memunculkan rasa bersalah.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengungkap
dan mengkaji lebih dalam tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang
Yogyakarta, yang tumbuh di sekitar pusat perbelanjaan dan pariwisata Malioboro
serta stasiun kereta api Tugu.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berbunyi, “Bagaimanakah rasa
bersalah pada pelacur?”. Penelitian ini berusaha mengkaji bagaimana bentuk,
penyebab dan dampak rasa bersalah tersebut yang akan difokuskan meneliti rasa
bersalah pada pelacur perempuan. Selanjutnya usaha untuk menjawab rumusan
masalah tersebut, maka penulis dalam melakukan penelitian ini mengambil judul
“Rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta”.
B. Keaslian Penelitian
Penelitian yang meneliti tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar
Kembang Yogyakarta ini merupakan penelitian asli dan bukan replikasi.
Penelitian terhadap pelacuran inipun merupakan penelitian baru, karena belum
pernah ada peneliti yang meneliti tentang hal ini sebelumnya, baik yang berupa
skripsi ataupun dalam bentuk jurnal.
Penelitian mengenai pelacuran memang sudah pernah dan sering
dilakukan oleh banyak peneliti lain, namun penelitian yang dilakukan kebanyakan
adalah penelitian berupa ulasan tentang permasalahan dalam pelacuran yang
mengenai keadaan dan hal-hal yang mendorong munculnya pelacuran tersebut.
Penelitian tersebut juga hanya membahas tentang bagaimana penanganan terhadap
permasalahan pelacuran pada masyarakat secara umum.
Contoh penelitian yang berupa ulasan tentang permasalahan dalam
pelacuran yang mengenai keadaan dan hal-hal yang mendorong munculnya
pelacuran misalnya penelitian yang dilakukan oleh Nitimihardjo (2000), penelitian
ini mengambil judul Peran Sistem Kepribadian dan Lingkungan dalam Perilaku
Prostitusi. Contoh lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prabandari
(2002), judul penelitiannya yaitu Masalah Prostitusi di Simpanglima Semarang.
Untuk penelitian tentang bagaimana penanganan terhadap permasalahan
pelacuran pada masyarakat secara umum misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Koentjoro (1999), penelitian ini berjudul Pelacur dan Resosialisasi Antara
Patologi dan Rehabilitasi Sosial.
Jadi penelitian tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang
Yogyakarta ini merupakan penelitian yang asli dan masih baru, sehingga alasan-
alasan tersebut di atas menjadi bukti terhadap keaslian dan barunya penelitian ini.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah perilaku seksual menyimpang berupa pelacuran selalu menjadi
bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan
diperbincangkan, sedangkan masalah ini merupakan masalah sensitif yang
menyangkut masalah-masalah peraturan sosial, segi-segi moral, etika dalam
masyarakat dan aturan-aturan dalam agama. Hal ini oleh banyak orang dianggap
sebagai suatu kegiatan yang tergolong anti sosial, menyimpang dari moral dan
norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan dalam agama.
Menurut Kuntjoro, peneliti pelacuran dari UGM, di kota pariwisata
Yogyakarta pada 1970-an bisnis pelacuran masih terpusat di sekitar stasiun kereta
api atau di area perdagangan. Ketergantungan pada mucikari sangat tinggi. Para
penjaja, pemakai, dan penyalur masih memiliki rasa malu (GATRA Nomor 20.
Senin, 5 April 2003). Kenyataanya saat ini rasa malu mulai mengalami
pergeseran, sehingga kegiatan pelacuran tersebut sudah semakin meluas.
Perubahan tersebut di atas, antara lain dipicu masuknya nilai baru yang
menular dari para pendatang dan gaya hidup kota besar. Nasikun, sosiolog dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, menilai masyarakat Yogyakarta
sedang dalam proses menuju ke masyarakat massa. Nasikun juga menyatakan
bahwa norma dan selera cenderung mengikuti tatanan global yang lebih besar
(GATRA Nomor 20. Senin, 5 April 2003).
Perubahan yang berupa kegiatan pelacuran yang semakin meluas,
membuat banyak orang menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang kemana
hilangnya rasa malu, penyesalan atau rasa bersalah pada diri para pelacur tersebut.
Sudah jelas bahwa pelacuran dianggap memalukan dan tercela, serta bertentangan
dengan norma-norma, etika dan moral yang biasanya diukur dari sistem nilai-nilai
yang ada pada masyarakat. Kebingungan-kebingungan tersebut semakin muncul
seiring dengan menjamurnya bisnis pelacuran dan bertambahnya jumlah pelacur.
Nitimihardjo (2000) melalui pengujian analisis diskriminan membuktikan
bahwa sistem kepribadian dan lingkungan berperan dalam perilaku prostitusi,
aspek-aspek pada sistem kepribadian memiliki kontribusi lebih besar
dibandingkan dengan aspek-aspek pada sistem lingkungan di dalam mewujudkan
perilaku prostitusi. Koentjoro (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) juga
berpendapat bahwa faktor utama pembentuk perilaku melacurkan diri adalah
faktor kemiskinan dan kepribadian.
Penelitian lainnya oleh Adhari dan Handayani (dalam Lestari dan
Koentjoro, 2002), memperoleh data yang menunjukkan bahwa kondisi psikologis
yang menonjol pada para pelacur adalah masalah harga diri yang rendah.
Menyangkut permasalahan harga diri yang rendah, secara teoritis
penurunan harga diri tersebut dapat disebabkan oleh adanya perasaan bersalah.
Moordiningsih (2000) berpendapat rasa bersalah adalah pelanggaran terhadap
standar internal yang menghasilkan penurunan harga diri. Jadi ketika seseorang
merasakan penurunan harga diri, hal ini dapat disebabkan karena orang tersebut
memiliki suatu perasaan bersalah.
Berbicara tentang rasa bersalah efek dari pelacuran yang dianggap
merupakan suatu pelanggaran terhadap sistem nilai-nilai yang ada pada
masyarakat ini umumnya dapat menimbulkan rasa bersalah, apalagi raasa bersalah
tersebut pasti muncul dalam kehidupan setiap orang. Menurut Chaplin (2000)
bahwasannya perasaan emosional yang berasosiasi dengan realisasi bahwa
seseorang telah melanggar peraturan sosial, moral atau etika dapat menimbulkan
rasa bersalah.
English dan Macker (dalam Moordiningsih, 2000) juga berpendapat
bahwa rasa bersalah dihasilkan dari pelanggaran standar internal dan terdapat
perasaan menyesal. Rasa penyesalan tersebut muncul karena pikiran, perasaan
atau sikap negatif yang tidak dapat diterima, baik oleh diri sendiri atau orang lain.
Seandainya rasa bersalah tersebut ada pada diri pelacur, maka akan ada
kemungkinan munculnya penyesalan pada diri mereka. Hal ini karena pelacuran
dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap standar internal individu serta
merupakan pelanggaran terhadap peraturan sosial, moral atau etika yang ada
dalam masyarakat, maka akan ada kemungkinan munculnya penyesalan pada diri
mereka. Penyesalan tersebut diharapkan pada akhirnya dapat membawa
perubahan, sehingga mereka meninggalkan perbuatan yang tercela tersebut.
Banyak harapan yang muncul agar para pelacur tersebut mau serta mampu
menyadari perbuatan mereka yang menyimpang karena profesi mereka dianggap
sebagai kegiatan yang kotor dan meresahkan bagi masyarakat, sehingga kegiatan
pelacuran ini tidak semakin berkembang.
Kenyataannya, persoalan pelacuran di Yogyakarta sampai saat ini
sesungguhnya tidak pernah selesai. Setelah lokalisasi Sanggrahan di kawasan
Yogyakarta Selatan ditutup pemerintah daerah, para pelacur ternyata tidak
semakin berkurang di kota ini. Sebagian diantaranya bahkan menyebar ke
berbagai pelosok Yogyakarta, salah satu yang dituju adalah kampung
Sosrowijayan Kulon. Daerah di selatan stasiun kereta api Tugu Yogyakarta ini
juga sering disebut dengan Pasar Kembang, merupakan daerah praktek pelacuran
yang terletak di tengah kota. Daerah ini dekat dengan pusat perbelanjaan dan
pariwisata Malioboro yang merupakan daerah padat serta pusat beraktivitas bagi
banyak orang (Bernas. Rabu, 6 Desember 2000).
Koentjoro (dalam Lestari dan Koentjoro, 2002) mensinyalir bahwa
Yogyakarta memang merupakan ladang subur bagi pelacuran. Bahkan jumlah
pelacur perempuan yang dapat didata pada tahun 2001 mengalami peningkatan
sekitar 300%, yaitu dari jumlah 250 orang bertambah menjadi 750 orang.
Data yang bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial DIY, menunjukkan
jumlah pelacur pada tahun 2002 di daerah Sleman tercatat berjumlah 234 orang,
Kulonprogo 78 orang, Bantul 424 orang dan di kota Yogyakarta sendiri tercatat
berjumlah 712 orang (GATRA Nomor 20. Senin, 5 April 2003).
Hal ini cukup ironis, karena pelacuran tersebut tumbuh disekitar orang-
orang yang tahu bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu hal yang menyimpang
dari moral, norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan
agama. Tidak salah jika akhirnya keadaan ini menimbulkan tanda tanya besar
tentang dimana rasa bersalah dan penyesalan pada diri para pelacur tersebut.
Pada sisi lain, seharusnya para pelacur itu sendiri menyadari akan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya. Mereka seharusnya juga sadar telah
melanggar standar internal yang ada pada diri mereka dan mau berubah, namun
pada kenyataanya kegiatan pelacuran tersebut kini tetap eksis dan bahkan sudah
menjadi bagian dari pelengkap komoditi pariwisata di kota Yogyakarta.
Berusaha memahami dengan cara berpikir yang positif, akan dapat
membantu dalam memahami lebih jauh terhadap keadaan para pelacur yang
sebenarnya. Bentuk pemahaman tersebut adalah mampu memandang mereka
sebagai manusia yang sama seperti manusia yang lain, karena tidak ada satupun
wanita yang pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur. Sesungguhnya dapat
dimungkinkan akan timbul bentuk-bentuk penyesalan dan persaan bersalah atau
bahkan perasaan berdosa atas perbuatan yang dilakukan oleh pelacur tersebut,
namun perlu ditelaah dan diteliti lebih dalam lagi tentang bagaimana bentuk
penyesalan dan perasaan bersalah yang ada pada diri mereka tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu suatu penelitian untuk
mengungkap adanya rasa bersalah yang muncul pada diri pelacur tersebut beserta
bentuk-bentuknya. Hal ini didasarkan pada kaitannya pelacuran sebagai bentuk
kegiatan yang menyimpang dari moral, melanggar norma-norma sosial dan
kondisi psikologis yang menonjol pada diri para pelacur adalah berupa masalah
harga diri yang rendah. Profesi sebagai pelacur dalam praktek prostitusi jika
dihubungkan dengan teori-teori rasa bersalah yang sudah dipaparkan sebelumnya,
maka dapat dimungkinkan memunculkan rasa bersalah.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengungkap
dan mengkaji lebih dalam tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang
Yogyakarta, yang tumbuh di sekitar pusat perbelanjaan dan pariwisata Malioboro
serta stasiun kereta api Tugu.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berbunyi, “Bagaimanakah rasa
bersalah pada pelacur?”. Penelitian ini berusaha mengkaji bagaimana bentuk,
penyebab dan dampak rasa bersalah tersebut yang akan difokuskan meneliti rasa
bersalah pada pelacur perempuan. Selanjutnya usaha untuk menjawab rumusan
masalah tersebut, maka penulis dalam melakukan penelitian ini mengambil judul
“Rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang Yogyakarta”.
B. Keaslian Penelitian
Penelitian yang meneliti tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar
Kembang Yogyakarta ini merupakan penelitian asli dan bukan replikasi.
Penelitian terhadap pelacuran inipun merupakan penelitian baru, karena belum
pernah ada peneliti yang meneliti tentang hal ini sebelumnya, baik yang berupa
skripsi ataupun dalam bentuk jurnal.
Penelitian mengenai pelacuran memang sudah pernah dan sering
dilakukan oleh banyak peneliti lain, namun penelitian yang dilakukan kebanyakan
adalah penelitian berupa ulasan tentang permasalahan dalam pelacuran yang
mengenai keadaan dan hal-hal yang mendorong munculnya pelacuran tersebut.
Penelitian tersebut juga hanya membahas tentang bagaimana penanganan terhadap
permasalahan pelacuran pada masyarakat secara umum.
Contoh penelitian yang berupa ulasan tentang permasalahan dalam
pelacuran yang mengenai keadaan dan hal-hal yang mendorong munculnya
pelacuran misalnya penelitian yang dilakukan oleh Nitimihardjo (2000), penelitian
ini mengambil judul Peran Sistem Kepribadian dan Lingkungan dalam Perilaku
Prostitusi. Contoh lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prabandari
(2002), judul penelitiannya yaitu Masalah Prostitusi di Simpanglima Semarang.
Untuk penelitian tentang bagaimana penanganan terhadap permasalahan
pelacuran pada masyarakat secara umum misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Koentjoro (1999), penelitian ini berjudul Pelacur dan Resosialisasi Antara
Patologi dan Rehabilitasi Sosial.
Jadi penelitian tentang rasa bersalah pada pelacur di Pasar Kembang
Yogyakarta ini merupakan penelitian yang asli dan masih baru, sehingga alasan-
alasan tersebut di atas menjadi bukti terhadap keaslian dan barunya penelitian ini.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah