BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan keadaan masyarakat yang dapat memenuhi gizinya dan
sekaligus mengalami peningkatan kesehatan secara konsisten membawa dampak pada
peningkatan harapan hidup, sehingga orang yang mencapai lanjut usia bertambah
banyak. Jumlah lanjut usia di Indonesia tahun 2000 adalah 7,6 % dari populasi atau
sekitar 15 juta dari 210 juta penduduk Indonesia (Setiabudi, 2001).
Masa tua merupakan suatu kurun waktu pertumbuhan yang penting bagi
banyak orang. Secara individu, pada lanjut usia terjadi penuaan secara alamiah, yang
akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi, dan psikologi, sehingga
membutuhkan perhatian tersendiri. Menurut pendapat Monks dkk (2001) bahwa
lanjut usia juga membutuhkan kehangatan, dihargai, hubungan sosial, dan seks.
Tugas perkembangan dan adaptasi bagi lanjut usia meliputi bergelut dengan keadaan
teman, penyesuaian terhadap pengaturan kehidupan sehari-hari, penyesuaian terhadap
masa pensiun, mengatasi keadaan dengan pendapatan yang menurun, bergelut dengan
perubahan-perubahan peran sosial, memanfaatkan waktu senggang yang ada dengan
baik, penyesuaian terhadap fungsi seksualitas dan fisik, serta menerima kenyataan
akan kematian yang tidak terelakkan (Hurlock, 1999).
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari masalah seksualitas. Seksualitas
meliputi seluruh perasaan, hubungan antar manusia, serta komunikasi antar pasangan
sehingga tidak dibatasi oleh sekedar keadaan fisik seseorang. Seksualitas adalah
aspek penting dalam kehidupan, yang mempengaruhi cara kita memperlihatkan kasih
sayang, menilai diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Seksualitas
didasarkan atas nilai-nilai pribadi yang amat dalam yang kita pelajari dari orang tua,
agama, dan diri kita sendiri (www.infokes.com).
Seksualitas dipengaruhi oleh klimaterik. Klimaterik terjadi pada pria dan
wanita, klimaterik pada pria mempunyai dua efek umum. Pertama, terjadi penyusutan
atau penurunan ciri-ciri seks sekunder. Misalnya perubahan suara, titik nada suara
meninggi, rambut pada wajah dan badan berkurang keindahannya, dan kekerasan otot
secara umum menurun. Kedua, klimakterik pada pria mempengaruhi fungsi seksual.
Walaupun potensi seksual telah menurun, tetapi tidak berarti bahwa keinginan untuk
melakukan hubungan seksual juga menurun. Klimakterik pada wanita, biasa disebut
menopause, yaitu masa berhentinya haid membawa banyak perubahan pada fisik
seorang wanita. Akibat dari menopause adalah terjadi perubahan bentuk tubuh, buah
dada wanita menjadi kurang menarik lagi, dan dinding vagina menjadi tipis.
Menopause pada wanita tidak selalu mempengaruhi kepuasan kontak seksual,
meskipun ada perubahan-perubahan biologis-fisiologis tersebut (Hurlock, 1999).
Menurut Monks dkk (2001), pengaruh budaya terhadap menurun atau meningkatnya
keinginan untuk melakukan hubungan seks lebih besar dibanding perubahan fisik.
Penelitian Diantara (2003) terhadap wanita umur 45-65 tahun menunjukkan bahwa
intensitas seks setelah menopause mempengaruhi kepuasan pernikahan. Semakin
tinggi intensitas seks, maka kepuasan pernikahan semakin tinggi.
Masyarakat menganggap bahwa orang yang sudah tua tidak mempunyai
kebutuhan-kebutuhan seksual lagi dan juga tidak dapat mempunyai interaksi seksual
lagi, serta dengan datangnya menopause telah selesai kehidupan seksualnya, dan
dengan turunnya vitalitas juga akan menurun vitalitas seksualnya. Banyak orang
percaya bahwa nafsu seks maupun kegiatan seksual seseorang akan terhenti apabila ia
memasuki usia lanjut. Ada pula yang berpendapat bahwa orang tua yang masih
melakukan kegiatan seksual secara moral kurang sesuai lagi. Pengaruh kebudayaan
terhadap seseorang atau masyarakat menimbulkan kecemasan yang berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seksual pria dan wanita. Pria dan wanita sering menahan
diri untuk melakukan hubungan seksualnya pada usia tua atau menghindari
perkawinan ulang, karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan
seksual antara orang berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual
mereka (Hidayat, 2004).
Kuesioner tentang seksualitas pada lanjut usia yang dibagikan kepada 110
responden berusia di atas 60 tahun di Bandung, hasilnya adalah 88% responden
menyatakan masih mengharapkan cinta dan kemesraan. Mengenai dorongan atau
gairah seksual, 59% menyatakan baik, 1% meningkat, 29% menurun, dan 23% tidak
ada lagi. Mengenai kemampuan dan potensi seksual, 50% responden menyatakan
baik, 21% meningkat, 23% menurun, dan 16% tidak ada lagi, sedangkan untuk
tingkat aktivitas seksual, 47% menyatakan teratur, 29% jarang, dan 28% tidak ada
lagi (Hidayat, 2004). Dalam publikasi Nijs mengenai “Siapa yang terlalu tua untuk
seksualitas” (Monks, dkk 2001) menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita dalam
kondisi fisik dan emosional yang baik akan masih mampu untuk melakukan aktivitas
seksual sampai usia yang tinggi. Menurut Nijs, aktivitas seksual yang rutin
merupakan persyaratan untuk mempertahankan aktivitas-aktivitas yang memuaskan.
Kekuatan terhadap keinginan seksual pada lanjut usia sangat tergantung pada
kesehatan seseorang secara umum dan cara penyelesaian seksual yang dilakukan pada
awal masa kehidupan. Bagi mereka yang penyesuaian seksualnya di masa remaja
buruk, terbukti akan lebih cepat kehilangan kemampuan seksual dibanding mereka
yang melakukan penyesuaian dengan baik (Hurlock, 1999).
Stereotipe yang berkembang di masyarakat adalah semua lanjut usia sudah
tidak lagi membutuhkan hubungan seksual. Asumsi di masyarakat menekankan
seksualitas hanya pada aspek fisik saja, yaitu kegiatan seksual hanya pantas dilakukan
oleh orang muda yang kondisi fisiknya masih bagus. Orang tua yang kondisi fisiknya
tidak seperti orang muda dianggap tidak pantas melakukan kegiatan seksual.
Penelitian mengenai seksualitas pada lanjut usia oleh La Torre dan Kear (Monks dkk,
2001) yang dilakukan terhadap mahasiswa dan para perawat usia lanjut, aktivitas
seksual dan interaksi seksual pada usia lanjut dianggap tidak ada lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa kebanyakan orang tidak mengerti akan seksualitas pada usia
lanjut. Bila orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan para lanjut usia sama
sekali tidak mempunyai pengertian akan kebutuhan-kebutuhan seksual usia lanjut,
maka akan dapat menyebabkan banyak konflik dan banyak frustrasi bagi usia lanjut.
“Studi Global Pfizer tentang Perilaku Seksual” pada pria dan wanita berumur
40-80 tahun yang melibatkan 26.000 responden dari 29 negara menunjukkan bahwa
orang usia lanjut masih membutuhkan hubungan seks. Sebagian besar responden
menyatakan bahwa hubungan seks penting bagi kehidupan. Mereka mengaku hidup
bahagia dan mendapatkan kepuasan fisik maupun emosi dari hubungan seksual,
semakin prima kesehatan, maka kebahagiaan dan kepuasan fisik maupun emosi
semakin tinggi (Pangkahila, 2002). Menurut Pangkahila, adanya gangguan seksual
pada orang usia lanjut, menunjukkan adanya gangguan kesehatan. Penelitian Starr
dan Weiner (Schult dan Salthouse, 1999) menunjukkan bahwa seks pada usia tua
dirasakan lebih baik karena ada pengertian yang lebih besar antara pasangan
mengenai keadaan fisik, kesadaran diri yang lebih baik, tidak ada kecemasan akan
hamil, dan ada pemahaman serta arti dari pengalaman seksual.
Kinsey (Oeswari, 1997) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
penurunan kegiatan seksual pada umur 60 tahun adalah sekitar 20% dan menurun
70% pada umur 80 tahun dibandingkan dengan para remaja berumur 16-20 tahun.
Kinsey juga mengungkapkan bahwa orang yang masih menikah atau yang pernah
menikah mempunyai kegiatan seksual yang lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan
yang belum pernah menikah. Pada wanita yang berumur diatas 60 tahun
menunjukkan terjadi pengurangan frekuensi hubungan seksual tetapi tidak melihat
bukti adanya penurunan kesanggupan seks pada wanita usia lanjut. Lebih lanjut
Kinsey berpendapat bahwa keinginan seksual wanita menopause ada hubungannya
dengan nafsu seksual semasa muda.
Masters dan Johnson (Quadagno, 1999) menyatakan bahwa laki-laki yang
berumur 60 tahun atau lebih, untuk menimbulkan nafsu seksnya membutuhkan waktu
yang lebih lama. Hasil yang sama juga diperoleh pada kelompok wanita usia lanjut.
Masters dan Johnson mewawancarai 133 laki-laki yang berumur diatas 60 tahun
diantaranya 52 laki-laki yang berumur diatas 70 tahun. Mereka menyatakan tidak ada
bukti kesanggupan seksual laki-laki menurun dengan bertambahnya umur seseorang.
Tetapi Masters dan Johnson mengungkapkan memang terjadi penurunan seksual laki-
laki yang hanya bergaul dengan seorang isteri saja. Masters dan Johnson mengambil
kesimpulan bahwa laki-laki yang semasa mudanya memiliki seks yang tinggi akan
mempunyai kesanggupan yang sama di hari tuanya. Hasil yang sama juga diperoleh
dari subjek wanita usia lanjut. Mereka juga mendapat kenyataan bahwa wanita
selama menopause bukanlah saat yang mematikan nafsu dan keinginan untuk
melakukan kegiatan seksual, jadi tidak ada batas umur untuk melakukan kegiatan
seksual bagi wanita usia lanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Duke di Amerika (Dekker dan
David, 1980), yang merupakan penelitian longitudinal sejak tahun 1954 dan sampai
sekarang masih terus dilakukan, terdapat bukti bahwa kegiatan seksual dan
persetubuhan tetap berlangsung pada mereka yang telah berumur 60 tahun ke atas,
serta ada perbedaan keinginan seksual antara wanita dan pria pada umur yang sama.
Hampir semua pria usia lanjut sangat tertarik pada seks seperti ketika masih remaja,
sedangkan hanya sepertiga dari wanita usia lanjut saja yang masih kuat keinginan
seksualnya.
Ognen (2001) dalam penelitiannya mengenai seksualitas pada lanjut usia
menemukan hasil bahwa seks pada usia lanjut lebih dari sekedar hubungan intim
antara suami isteri, tetapi meliputi dimensi motivasi seksual dan adanya interaksi
yang meliputi intelektual, emosi, dan aktivitas fisik. Respon seksual timbul dari
gabungan antara spiritualitas dan kedewasaan, dan secara tidak langsung menyatukan
pribadi dengan kesehatan. Emosi dan pengalaman spiritual adalah faktor untuk
memunculkan gambaran diri yang optimistik. Ognen menyimpulkan bahwa vitalitas
seksual tidak begitu penting pada lanjut usia, yang terpenting adalah adanya perasaan
harga diri, saling berbagi perasaan, empati, cinta, humor, dan kegembiraan hidup
untuk menyikapi respon seksual.
Penelitian Anderson dkk (1998) mengenai seksualitas pada atlit yang sudah
berusia lanjut, responden menyatakan bahwa mereka mengekspresikan seks, sendiri
atau dengan pasangan rata-rata enam kali dalam satu bulan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara responden pria dan responden wanita mengenai hasrat dan cara
mengekspresikan seks. Secara keseluruhan dilaporkan mengenai hubungan antara
frekuensi hubungan seks dengan bertambahnya umur, yaitu mean sebesar 9,2 untuk
responden umur 50 tahun, dan mean sebesar 4,6 untuk responden umur 70 tahun.
Secara keseluruhan pula responden menyatakan bahwa gambaran dari seksualitas
pada usia lanjut adalah adanya kasih sayang (69%), keyakinan (64,3%), kepuasan
(63%), kegiatan (69,2%), kesetiaan (81,5%), kelemah-lembutan (81,5%), cinta
(75%), dan romantisme (70,4%).
Survai pada responden berumur 65 sampai 74 tahun yang dilakukan oleh
Leger Marketing, Canadian Male Sexual Health Council and Pfizer Canada, lebih
dari 92% responden menyatakan bahwa hubungan seksual adalah bagian penting
dalam kehidupan. Adanya penerimaan dari pasangan, keterbukaan, dan komunikasi
antara pasangan jauh lebih penting dari pada kecantikan atau penampilan fisik dalam
mempertahankan hubungan seks yang sehat (Cooley, 2002).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, seorang isteri usia lanjut setelah
menopause cenderung menjauh dari suami dan dekat dengan cucu. Secara tradisi
seolah-olah suami isteri usia lanjut tidak mau diganggu dan tidak mau mengganggu
secara fisik. Kalau sebelumnya pasangan usia lanjut hidup sekamar, ternyata
kemudian kamarnya ditinggalkan. Isteri tidur dengan cucu-cucunya, suami umumnya
tidur di kamar yang terbuka (Kuntjoro, 2002). Lanjut usia sering menahan diri untuk
memenuhi kebutuhan seksualnya karena tradisi dan budaya yang menganggap orang
yang sudah tua tidak pantas berduaan, bahkan melakukan hubungan seks. Menurut
Tobing (Kuntjoro, 2002) sebenarnya hubungan suami istri pada lanjut usia, termasuk
hubungan seks seharusnya tidak perlu berubah, asal dilakukan dengan wajar dan
teratur, karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup.
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa relasi yang
intim yang terkandung dalam kegiatan seksual akan ada sepanjang hidup, berdasarkan
suatu pola relasi yang afektif. Apabila seks dan afeksi dipisahkan, maka relasinya
menjadi problematis (Monks dkk, 2001). Masalahnya adalah bagaimana mengatasi
anggapan masyarakat yang masih bependirian bahwa semua lanjut usia tidak
membutuhkan kegiatan seksual lagi, walaupun secara fisiologis masih dibutuhkan
dan masih mempunyai kesanggupan. Berdasarkan uraian diatas maka latar belakang
dari penelitian ini adalah bagaimana sebenarnya seksualitas pada lanjut usia dilihat
dari latar belakang budaya Jawa.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini ialah seksualitas pada lanjut usia ditinjau dari budaya
Jawa dilihat dari dimensi psikologis, dimensi moral perilaku, serta dimensi sosial
budaya seksualitas. Peneliti ingin mengungkap bagaimana pengaruh budaya Jawa
terhadap dimensi psikologis, dimensi moral perilaku, dan dimensi sosial budaya
seksualitas.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai seksualitas pada usia lanjut telah banyak dilakukan
terutama di luar negeri. Sejauh ini penelitian yang dilakukan menggunakan metode
angket (Hidayat, 2004; Anderson dkk, 1998), dan survai (Ognen, 2001; Cooley,
2002) dengan subjek yang luas tanpa mempertimbangkan faktor budaya. Di Indonesia
penelitian mengenai seksualitas pada lanjut usia masih jarang dilakukan, serta
responden berasal dari kota besar (Hidayat, 2004). Walaupun penelitian mengenai
seksualitas lanjut usia telah cukup banyak dilakukan, namun penelitian dengan
metode kualitatif berdasar budaya setempat belum penulis temukan. Dengan
demikian penelitian yang penulis lakukan dapat dikatakan asli.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan keadaan masyarakat yang dapat memenuhi gizinya dan
sekaligus mengalami peningkatan kesehatan secara konsisten membawa dampak pada
peningkatan harapan hidup, sehingga orang yang mencapai lanjut usia bertambah
banyak. Jumlah lanjut usia di Indonesia tahun 2000 adalah 7,6 % dari populasi atau
sekitar 15 juta dari 210 juta penduduk Indonesia (Setiabudi, 2001).
Masa tua merupakan suatu kurun waktu pertumbuhan yang penting bagi
banyak orang. Secara individu, pada lanjut usia terjadi penuaan secara alamiah, yang
akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi, dan psikologi, sehingga
membutuhkan perhatian tersendiri. Menurut pendapat Monks dkk (2001) bahwa
lanjut usia juga membutuhkan kehangatan, dihargai, hubungan sosial, dan seks.
Tugas perkembangan dan adaptasi bagi lanjut usia meliputi bergelut dengan keadaan
teman, penyesuaian terhadap pengaturan kehidupan sehari-hari, penyesuaian terhadap
masa pensiun, mengatasi keadaan dengan pendapatan yang menurun, bergelut dengan
perubahan-perubahan peran sosial, memanfaatkan waktu senggang yang ada dengan
baik, penyesuaian terhadap fungsi seksualitas dan fisik, serta menerima kenyataan
akan kematian yang tidak terelakkan (Hurlock, 1999).
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari masalah seksualitas. Seksualitas
meliputi seluruh perasaan, hubungan antar manusia, serta komunikasi antar pasangan
sehingga tidak dibatasi oleh sekedar keadaan fisik seseorang. Seksualitas adalah
aspek penting dalam kehidupan, yang mempengaruhi cara kita memperlihatkan kasih
sayang, menilai diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Seksualitas
didasarkan atas nilai-nilai pribadi yang amat dalam yang kita pelajari dari orang tua,
agama, dan diri kita sendiri (www.infokes.com).
Seksualitas dipengaruhi oleh klimaterik. Klimaterik terjadi pada pria dan
wanita, klimaterik pada pria mempunyai dua efek umum. Pertama, terjadi penyusutan
atau penurunan ciri-ciri seks sekunder. Misalnya perubahan suara, titik nada suara
meninggi, rambut pada wajah dan badan berkurang keindahannya, dan kekerasan otot
secara umum menurun. Kedua, klimakterik pada pria mempengaruhi fungsi seksual.
Walaupun potensi seksual telah menurun, tetapi tidak berarti bahwa keinginan untuk
melakukan hubungan seksual juga menurun. Klimakterik pada wanita, biasa disebut
menopause, yaitu masa berhentinya haid membawa banyak perubahan pada fisik
seorang wanita. Akibat dari menopause adalah terjadi perubahan bentuk tubuh, buah
dada wanita menjadi kurang menarik lagi, dan dinding vagina menjadi tipis.
Menopause pada wanita tidak selalu mempengaruhi kepuasan kontak seksual,
meskipun ada perubahan-perubahan biologis-fisiologis tersebut (Hurlock, 1999).
Menurut Monks dkk (2001), pengaruh budaya terhadap menurun atau meningkatnya
keinginan untuk melakukan hubungan seks lebih besar dibanding perubahan fisik.
Penelitian Diantara (2003) terhadap wanita umur 45-65 tahun menunjukkan bahwa
intensitas seks setelah menopause mempengaruhi kepuasan pernikahan. Semakin
tinggi intensitas seks, maka kepuasan pernikahan semakin tinggi.
Masyarakat menganggap bahwa orang yang sudah tua tidak mempunyai
kebutuhan-kebutuhan seksual lagi dan juga tidak dapat mempunyai interaksi seksual
lagi, serta dengan datangnya menopause telah selesai kehidupan seksualnya, dan
dengan turunnya vitalitas juga akan menurun vitalitas seksualnya. Banyak orang
percaya bahwa nafsu seks maupun kegiatan seksual seseorang akan terhenti apabila ia
memasuki usia lanjut. Ada pula yang berpendapat bahwa orang tua yang masih
melakukan kegiatan seksual secara moral kurang sesuai lagi. Pengaruh kebudayaan
terhadap seseorang atau masyarakat menimbulkan kecemasan yang berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seksual pria dan wanita. Pria dan wanita sering menahan
diri untuk melakukan hubungan seksualnya pada usia tua atau menghindari
perkawinan ulang, karena sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap hubungan
seksual antara orang berusia lanjut dan keraguan terhadap kemampuan seksual
mereka (Hidayat, 2004).
Kuesioner tentang seksualitas pada lanjut usia yang dibagikan kepada 110
responden berusia di atas 60 tahun di Bandung, hasilnya adalah 88% responden
menyatakan masih mengharapkan cinta dan kemesraan. Mengenai dorongan atau
gairah seksual, 59% menyatakan baik, 1% meningkat, 29% menurun, dan 23% tidak
ada lagi. Mengenai kemampuan dan potensi seksual, 50% responden menyatakan
baik, 21% meningkat, 23% menurun, dan 16% tidak ada lagi, sedangkan untuk
tingkat aktivitas seksual, 47% menyatakan teratur, 29% jarang, dan 28% tidak ada
lagi (Hidayat, 2004). Dalam publikasi Nijs mengenai “Siapa yang terlalu tua untuk
seksualitas” (Monks, dkk 2001) menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita dalam
kondisi fisik dan emosional yang baik akan masih mampu untuk melakukan aktivitas
seksual sampai usia yang tinggi. Menurut Nijs, aktivitas seksual yang rutin
merupakan persyaratan untuk mempertahankan aktivitas-aktivitas yang memuaskan.
Kekuatan terhadap keinginan seksual pada lanjut usia sangat tergantung pada
kesehatan seseorang secara umum dan cara penyelesaian seksual yang dilakukan pada
awal masa kehidupan. Bagi mereka yang penyesuaian seksualnya di masa remaja
buruk, terbukti akan lebih cepat kehilangan kemampuan seksual dibanding mereka
yang melakukan penyesuaian dengan baik (Hurlock, 1999).
Stereotipe yang berkembang di masyarakat adalah semua lanjut usia sudah
tidak lagi membutuhkan hubungan seksual. Asumsi di masyarakat menekankan
seksualitas hanya pada aspek fisik saja, yaitu kegiatan seksual hanya pantas dilakukan
oleh orang muda yang kondisi fisiknya masih bagus. Orang tua yang kondisi fisiknya
tidak seperti orang muda dianggap tidak pantas melakukan kegiatan seksual.
Penelitian mengenai seksualitas pada lanjut usia oleh La Torre dan Kear (Monks dkk,
2001) yang dilakukan terhadap mahasiswa dan para perawat usia lanjut, aktivitas
seksual dan interaksi seksual pada usia lanjut dianggap tidak ada lagi. Hal ini
menunjukkan bahwa kebanyakan orang tidak mengerti akan seksualitas pada usia
lanjut. Bila orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan para lanjut usia sama
sekali tidak mempunyai pengertian akan kebutuhan-kebutuhan seksual usia lanjut,
maka akan dapat menyebabkan banyak konflik dan banyak frustrasi bagi usia lanjut.
“Studi Global Pfizer tentang Perilaku Seksual” pada pria dan wanita berumur
40-80 tahun yang melibatkan 26.000 responden dari 29 negara menunjukkan bahwa
orang usia lanjut masih membutuhkan hubungan seks. Sebagian besar responden
menyatakan bahwa hubungan seks penting bagi kehidupan. Mereka mengaku hidup
bahagia dan mendapatkan kepuasan fisik maupun emosi dari hubungan seksual,
semakin prima kesehatan, maka kebahagiaan dan kepuasan fisik maupun emosi
semakin tinggi (Pangkahila, 2002). Menurut Pangkahila, adanya gangguan seksual
pada orang usia lanjut, menunjukkan adanya gangguan kesehatan. Penelitian Starr
dan Weiner (Schult dan Salthouse, 1999) menunjukkan bahwa seks pada usia tua
dirasakan lebih baik karena ada pengertian yang lebih besar antara pasangan
mengenai keadaan fisik, kesadaran diri yang lebih baik, tidak ada kecemasan akan
hamil, dan ada pemahaman serta arti dari pengalaman seksual.
Kinsey (Oeswari, 1997) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
penurunan kegiatan seksual pada umur 60 tahun adalah sekitar 20% dan menurun
70% pada umur 80 tahun dibandingkan dengan para remaja berumur 16-20 tahun.
Kinsey juga mengungkapkan bahwa orang yang masih menikah atau yang pernah
menikah mempunyai kegiatan seksual yang lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan
yang belum pernah menikah. Pada wanita yang berumur diatas 60 tahun
menunjukkan terjadi pengurangan frekuensi hubungan seksual tetapi tidak melihat
bukti adanya penurunan kesanggupan seks pada wanita usia lanjut. Lebih lanjut
Kinsey berpendapat bahwa keinginan seksual wanita menopause ada hubungannya
dengan nafsu seksual semasa muda.
Masters dan Johnson (Quadagno, 1999) menyatakan bahwa laki-laki yang
berumur 60 tahun atau lebih, untuk menimbulkan nafsu seksnya membutuhkan waktu
yang lebih lama. Hasil yang sama juga diperoleh pada kelompok wanita usia lanjut.
Masters dan Johnson mewawancarai 133 laki-laki yang berumur diatas 60 tahun
diantaranya 52 laki-laki yang berumur diatas 70 tahun. Mereka menyatakan tidak ada
bukti kesanggupan seksual laki-laki menurun dengan bertambahnya umur seseorang.
Tetapi Masters dan Johnson mengungkapkan memang terjadi penurunan seksual laki-
laki yang hanya bergaul dengan seorang isteri saja. Masters dan Johnson mengambil
kesimpulan bahwa laki-laki yang semasa mudanya memiliki seks yang tinggi akan
mempunyai kesanggupan yang sama di hari tuanya. Hasil yang sama juga diperoleh
dari subjek wanita usia lanjut. Mereka juga mendapat kenyataan bahwa wanita
selama menopause bukanlah saat yang mematikan nafsu dan keinginan untuk
melakukan kegiatan seksual, jadi tidak ada batas umur untuk melakukan kegiatan
seksual bagi wanita usia lanjut.
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Duke di Amerika (Dekker dan
David, 1980), yang merupakan penelitian longitudinal sejak tahun 1954 dan sampai
sekarang masih terus dilakukan, terdapat bukti bahwa kegiatan seksual dan
persetubuhan tetap berlangsung pada mereka yang telah berumur 60 tahun ke atas,
serta ada perbedaan keinginan seksual antara wanita dan pria pada umur yang sama.
Hampir semua pria usia lanjut sangat tertarik pada seks seperti ketika masih remaja,
sedangkan hanya sepertiga dari wanita usia lanjut saja yang masih kuat keinginan
seksualnya.
Ognen (2001) dalam penelitiannya mengenai seksualitas pada lanjut usia
menemukan hasil bahwa seks pada usia lanjut lebih dari sekedar hubungan intim
antara suami isteri, tetapi meliputi dimensi motivasi seksual dan adanya interaksi
yang meliputi intelektual, emosi, dan aktivitas fisik. Respon seksual timbul dari
gabungan antara spiritualitas dan kedewasaan, dan secara tidak langsung menyatukan
pribadi dengan kesehatan. Emosi dan pengalaman spiritual adalah faktor untuk
memunculkan gambaran diri yang optimistik. Ognen menyimpulkan bahwa vitalitas
seksual tidak begitu penting pada lanjut usia, yang terpenting adalah adanya perasaan
harga diri, saling berbagi perasaan, empati, cinta, humor, dan kegembiraan hidup
untuk menyikapi respon seksual.
Penelitian Anderson dkk (1998) mengenai seksualitas pada atlit yang sudah
berusia lanjut, responden menyatakan bahwa mereka mengekspresikan seks, sendiri
atau dengan pasangan rata-rata enam kali dalam satu bulan. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara responden pria dan responden wanita mengenai hasrat dan cara
mengekspresikan seks. Secara keseluruhan dilaporkan mengenai hubungan antara
frekuensi hubungan seks dengan bertambahnya umur, yaitu mean sebesar 9,2 untuk
responden umur 50 tahun, dan mean sebesar 4,6 untuk responden umur 70 tahun.
Secara keseluruhan pula responden menyatakan bahwa gambaran dari seksualitas
pada usia lanjut adalah adanya kasih sayang (69%), keyakinan (64,3%), kepuasan
(63%), kegiatan (69,2%), kesetiaan (81,5%), kelemah-lembutan (81,5%), cinta
(75%), dan romantisme (70,4%).
Survai pada responden berumur 65 sampai 74 tahun yang dilakukan oleh
Leger Marketing, Canadian Male Sexual Health Council and Pfizer Canada, lebih
dari 92% responden menyatakan bahwa hubungan seksual adalah bagian penting
dalam kehidupan. Adanya penerimaan dari pasangan, keterbukaan, dan komunikasi
antara pasangan jauh lebih penting dari pada kecantikan atau penampilan fisik dalam
mempertahankan hubungan seks yang sehat (Cooley, 2002).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, seorang isteri usia lanjut setelah
menopause cenderung menjauh dari suami dan dekat dengan cucu. Secara tradisi
seolah-olah suami isteri usia lanjut tidak mau diganggu dan tidak mau mengganggu
secara fisik. Kalau sebelumnya pasangan usia lanjut hidup sekamar, ternyata
kemudian kamarnya ditinggalkan. Isteri tidur dengan cucu-cucunya, suami umumnya
tidur di kamar yang terbuka (Kuntjoro, 2002). Lanjut usia sering menahan diri untuk
memenuhi kebutuhan seksualnya karena tradisi dan budaya yang menganggap orang
yang sudah tua tidak pantas berduaan, bahkan melakukan hubungan seks. Menurut
Tobing (Kuntjoro, 2002) sebenarnya hubungan suami istri pada lanjut usia, termasuk
hubungan seks seharusnya tidak perlu berubah, asal dilakukan dengan wajar dan
teratur, karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup.
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa relasi yang
intim yang terkandung dalam kegiatan seksual akan ada sepanjang hidup, berdasarkan
suatu pola relasi yang afektif. Apabila seks dan afeksi dipisahkan, maka relasinya
menjadi problematis (Monks dkk, 2001). Masalahnya adalah bagaimana mengatasi
anggapan masyarakat yang masih bependirian bahwa semua lanjut usia tidak
membutuhkan kegiatan seksual lagi, walaupun secara fisiologis masih dibutuhkan
dan masih mempunyai kesanggupan. Berdasarkan uraian diatas maka latar belakang
dari penelitian ini adalah bagaimana sebenarnya seksualitas pada lanjut usia dilihat
dari latar belakang budaya Jawa.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini ialah seksualitas pada lanjut usia ditinjau dari budaya
Jawa dilihat dari dimensi psikologis, dimensi moral perilaku, serta dimensi sosial
budaya seksualitas. Peneliti ingin mengungkap bagaimana pengaruh budaya Jawa
terhadap dimensi psikologis, dimensi moral perilaku, dan dimensi sosial budaya
seksualitas.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai seksualitas pada usia lanjut telah banyak dilakukan
terutama di luar negeri. Sejauh ini penelitian yang dilakukan menggunakan metode
angket (Hidayat, 2004; Anderson dkk, 1998), dan survai (Ognen, 2001; Cooley,
2002) dengan subjek yang luas tanpa mempertimbangkan faktor budaya. Di Indonesia
penelitian mengenai seksualitas pada lanjut usia masih jarang dilakukan, serta
responden berasal dari kota besar (Hidayat, 2004). Walaupun penelitian mengenai
seksualitas lanjut usia telah cukup banyak dilakukan, namun penelitian dengan
metode kualitatif berdasar budaya setempat belum penulis temukan. Dengan
demikian penelitian yang penulis lakukan dapat dikatakan asli.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :