BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan seksual merupakan suatu fenomena yang akhir-akhir ini cukup
banyak diberitakan di media baik media cetak maupun media elektronik.
Kekerasan seksual banyak ditemukan disekitar kita, bahkan didepan mata kita
sampai pada acara-acara televisi terutama pada program berita kriminal. Hampir
setiap hari ada anak yang menjadi korban kekerasan seksual baik dalam bentuk
pencabulan bahkan sampai pada pemerkosaan (Fausiah, 2004).
Kejahatan terhadap anak-anak cenderung meningkat karena terjadi
penambahan-penambahan norma-norma ditengah masyarakat, kalau dulu norma-
norma keluarga sangat melindungi anak-anak, kini menganggap anak-anak
sebagai aset ekonomi dan komoditas, penambahan norma ini diakselerasikan oleh
agen-agen sosial khususnya media massa. Seperti yang sering ditulis dalam media
massa yang saat ini hampir setiap hari menjadi berita yang aktual (Fitriyah, 2005).
Laporan yang dikutip dari www.google.com (dalam Fitriyah, 2005) bahwa
data yang dikeluarkan unit Pelayanan Kesehatan Terpadu (PKT) Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo mengungkapkan pada tahun 2002
kasus perkosaan terhadap perempuan di bawah usia 18 tahun mencapai 74 kasus.
Angka itu meningkat menjadi 103 kasus pada tahun 2001 dan 127 kasus pada
tahun 2002. Tahun 2003 sampai akhir Juni tercatat 51 kasus.
Laporan Gloria Cyber Minstries tanggal 11 Juni 2004 (Fitriyah, 2005)
menyebutkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mencatat pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus kekerasan seksual (65,8%) dari 3.969 kasus
kekerasan seksual yang dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah
tersebut 75 % korbannya adalah anak perempuan.
Kekerasan terhadap anak dapat juga terjadi di dalam rumahnya.
Seharusnya rumah bagi setiap anggota keluarga adalah tempat dimana anak
merasa aman, nyaman dan terlindungi, namun terkadang pelaku kejahatan justru
anggota keluarga sendiri. Kekerasan seperti penganiayaan, pelecehan, bahkan
pemerkosaan dalam suatu keluarga sering kali tidak terdeteksi. Masalah pelecehan
dan kekerasan seksual terhadap anak-anak (sexual child abuse) masih merupakan
persoalan besar. Laporan yang dikutip dalam buku “Kekerasan Seksual pada Anak
dan Remaja” terungkap data-data diantaranya sebagai berikut (1) diperkirakan
25% wanita dewasa pernah mengalami pelecehan seksual semasa kecilnya, (2)
diperkirakan 40% pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur adalah orang
tuanya sendiri seperti ayah angkat atau ayah tiri bahkan ayah kandung, (3)
diperkirakan 80% pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah orang
yang dikenal oleh korban misalnya ayah, kakak, paman, tetangga atau teman yang
dikenal oleh korban (Purnama, 2002).
Berdasarkan data tersebut yaitu diperkirakan bahwa sekitar 40% pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah orang tuanya sendiri
seperti ayah angkat, ayah tiri bahkan ayah kandung dapat dilihat dengan berbagai
kasus yang dapat kita ketahui melalui media massa seperti koran atau majalah,
seperti kutipan kasus berikut ini.
Seorang ayah yang didakwa memperkosa anak tirinya selama hampir satu
tahun di suatu tempat yang masih menjadi wilayah kabupaten Boyolali dan
pelakunya dituntut 5 tahun penjara. Selama melakukan pemaksaan
hubungan seksual tersebut, istri terdakwa alias ibu kandung korban sama
sekali tidak mengetahui masalah itu. Masalah itu baru terungkap ketika
bulan April 2003 korban mencoba melakukan percobaan bunuh diri
dengan menenggak racun serangga, untungnya aksi itu dapat digagalkan,
korban mengaku tidak kuat menahan tekanan mental akibat dipaksa
melakukan hubungan seksual dengan ayah tirinya selama hampir setahun
(Prabowo ,2003).
Laporan Gloria Cyber Ministries, www.google.com tanggal 11 Juni 2004
(dalam Fitriyah, 2005) bahwa data yang tercatat pada pemberitaan “Antara”
bahwa sebanyak 150 kasus dari 178 kasus pelaku kekerasan seksual terhadap
anak-anak yang ada di Jawa Tengah selama tahun 2001 adalah orang-orang yang
dikenal korban. Hal ini memberikan indikasi bahwa saat ini rumah yang
seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak ternyata tidak lagi. Di manapun
anak-anak berada, tindak kekerasan terutama kekerasan seksual mengintainya.
Berdasarkan informasi di atas dimana pelaku kekerasan seksual adalah
orang terdekat yang dikenal oleh korban, dan hal ini memberikan indikasi bahwa
lingkungan rumah dan sekitarnya yang seharusnya tempat yang aman dan nyaman
untuk anak-anak sekarang ternyata tidak lagi. Ini dapat dilihat dari kutipan kasus
berikut ini.
Kuntum bukan nama sebenarnya usia 4,5 tahun salah satu warga di
wilayah Boyolali yang menjadi korban perbuatan cabul. Diduga dilakukan
oleh tetangganya sendiri. Aksi pencabulan itu dilakukan pada hari Senin,
26 April 2004 waktu sore hari sekitar pukul 15.00 WIB. Korban saat itu
sedang bermain sendiri sedangkan orang tua korban tidak sempat
mengawasinya karena mencuci pakaian di belakang. Korban mengaku
pada kedua orang tuanya baru saja diperkosa dan menceritakan bahwa saat
pelaku melakukan aksinya kepalanya dipegang dan lehernya sempat
dipegang agar tidak berontak (Prasetyo, 2004)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban
kekerasan seksual tidak hanya menderita trauma secara fisik yaitu kehilangan
virginitas, keperawanan dan cidera tubuh. Anak-anak juga merasakan sakit pada
daerah anus karena luka yang ditimbulkan akibat perilaku sodomi yang ditujukan
kepada anak-anak (Purnama, 2002). Dampak secara fisik yang dapat dilihat
adalah sakit fisik atau cidera pada daerah alat kelamin atau daerah sekitar dubur,
sehingga anak sulit berjalan atau bahkan menangis saat buang air kecil atau besar
(Fausiah, 2004). Saraswati (dalam Sofian dkk, 1999) menjelaskan bahwa anak-
anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami luka pada fisik yang bisa
mengakibatkan kematian. Akibat fisik lainnya, muncul juga rasa pusing dan mual
atau badan terasa ngilu dan menjadi letih karena melakukan onani karena melihat
perilaku seksual yang salah dari pelaku (Sofian dkk, 1999).
Dampak kekerasan seksual secara psikologis menurut Saraswati (dalam
Sofian dkk, 1999) menyebutkan bahwa kekerasan seksual mengakibatkan
timbulnya trauma berkepanjangan pada anak terhadap hal-hal tertentu yang telah
dialami. Sofian dkk, (1999) menyebutkan anak-anak akan mengalami rasa takut,
merasa tidak aman, dan tidak nyaman dalam merespon komunikasi antara orang
dewasa dengan diri mereka. Hal ini terlihat dari bentuk perkataan yang
disampaikan para orang dewasa dihadapan anak-anak tersebut. Perkataan tersebut
bernada keras dengan kata-kata yang kurang sopan, kalimat yang mengancam
keselamatan jiwa anak.
Laporan Gloria Cyber Ministries, www.google.com tanggal 11 Juni 2004
(dalam Fitriyah, 2005) bahwa kekerasan anak baik secara fisik, psikologis dan
seksual yang dilakukan oleh orang-orang profesional maupun orang terdekat
mereka dapat mengakibatkan trauma yang berkepanjangan dan dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka. Anak akan menderita stress
mental yang amat berat, dan ini bisa berlangsung seumur hidup. Stress pasca-
trauma atau stress setelah kejadian dan gejala-gejala secara umum antara lain
menderita stress berat yang diakibatkan kejadian kekerasan yang berupa
perkosaan tersebut. Gejala lainnya yang muncul juga adalah menurunnya secara
drastis keinginan untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan dunia luar, dan ini
muncul setelah peristiwa kekerasan seksual tersebut. Dimana gejala ini terlihat
dalam bentuk perasaan terlepas atau terasing dari orang lain atau lingkungannya,
murung, putus asa, tidak ada minat lagi terhadap aktivitas sebelumnya yang cukup
banyak (Purnama, 2002).
Dampak kekerasan seksual terhadap perilaku anak-anak menurut Fausiah
(2004) dijelaskan bahwa setelah mengalami kekerasan seksual, kebanyakan anak
menyimpan rapat dan tidak melaporkan kepada orangtuanya atau orang lain. Ada
beberapa alasan yang membuat anak tidak menceritakan peristiwa tersebut antara
lain (1) mereka tidak memahami apa yang dialami, (2) anak yang lebih kecil
memiliki keterbatasan mengungkapkan hal yang terjadi, (3) merasa malu, cemas
dan takut atas apa yang terjadi padanya, (4) adanya ancaman dari pelaku, (5)
merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya, (6) khawatir tidak dipercaya jika
bercerita peristiwa yang sebenarnya.
Fausiah (2004) menjelaskan beberapa perubahan perilaku yang mungkin
muncul meskipun tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual
menampilkan hal-hal tersebut, (1) munculnya kembali perilaku yang sebelumnya
sudah hilang (regresi) seperti mengompol, menghisap jari, buang air besar di
celana, (2) perilaku menarik diri, menyendiri, enggan bergaul padahal sebelumnya
tidak, (3) sering melamun dan mengalami kesulitan berkonsentrasi, (4)
menurunnya prestasi akademik, (5) ketakutan berlebihan pada orang atau benda
tertentu, (6) agresivitas berlebihan (padahal sebelumnya tidak), (7) pengetahuan
tentang seksualitas yang melebihi usianya, membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan seksual secara berlebihan atau melakukan permainan yang
mengarah pada seksualitas.
Dampak kekerasan seksual terhadap perilaku anak bukan hal yang ringan
dan disepelekan. Berbagai penjelasan mengenai kekerasan seksual dan
dampaknya telah dibahas sebelumnya, tetapi informasi mengenai anak akan
menambah lengkap bahwa individu yang disebut anak bukanlah individu biasa
seperti orang dewasa yang hanya dalam format mini atau kecil, tetapi anak adalah
individu yang khas dan unik dengan semua pola perilaku dan kepribadiannya.
Hurlock (1995) menyatakan bahwa anak adalah individu yang melewati
masa kanak-kanak yaitu rentang waktu antara 6-12 tahun dimana individu dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengaruh orang tua pada masa ini sangat
dominan pada pembentukan perilaku dan kepribadiannya disamping faktor sosial
yang mendukungnya. Berbagai proses perkembangan berlangsung pada masa
anak-anak seperti kognisi, emosi, bahasa, intelegensi dan lain-lainnya. Seorang
anak mempunyai bakat-bakat dan kemampuan yang khas dan unik. Anak adalah
subyek yang dinamis dan aktif terhadap perubahan atau rangsang.
Pendapat lain yang mendukung penjelasan di atas bahwa faktor biologis
atau bawaan merupakan dasar perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin,
selain itu merupakan proses belajar sosial sejak awal yang menjadi kontribusi
bahwa identitas jenis kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu penilaian
apa yang baik dan tidak bagi anak (Monks dkk, 1994).
Konvensi Hak Anak Internasional menjelaskan bahwa anak-anak yaitu
individu yang belum berusia 18 tahun yang berkaitan dengan keberhasilan dan
kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang, berhak memperoleh hak
perlindungan yang salah satunya adalah hak mendapat perlindungan dari
diskriminasi, kekerasan baik fisik maupun non fisik, penyalahgunaan sampai
penelantaran dan hak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa ada
gangguan atau hambatan.
Kekerasan seksual yang berkaitan dengan perilaku anak dapat
dihubungkan dengan perkembangan fisikoseksual dan psikoseksual anak yang
mungkin saja terganggu karena peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.
Stadium perkembangan psikoseksual anak yang normal baik lelaki maupun
perempuan melewati empat (4) fase. Sigmund Freud (dalam Nakita, 2004)
menyebutkan (1) fase oral yang berlangsung dari lahir sampai usia dua tahun
dimana pusat kenikmatan anak terletak pada mulut karena pada saat itu anak
senang menyusu dan mengisap maupun memasukkan segala sesuatu ke dalam
mulutnya, (2) fase muskuler yang berlangsung dari usia dua sampai tiga tahun
atau paling telat empat tahun dimana pusat kenikmatan anak berpindah ke otot
yang ditandai dengan kesenangan dipeluk, memeluk, mencubit, ditimang, (3) fase
anal uretral yang berlangsung dari usia tiga sampai empat tahun selambat-
lambatnya lima tahun dimana pusat kenikmatan anak terletak pada anus atau
dubur dan saluran kencing yang ditandai dengan senang menahan BAB (buang air
besar) atau BAK (buang air kecil), (4) fase genital berlangsung dari usia lima
sampai tujuh tahun dimana pusat kenikmatan dirasakan pada alat kelamin yang
ditandai dengan senang memegang alat kelamin bahkan sebagian anak dapat
mencapai “orgasme”.
Tahap-tahap tersebut dapat berjalan normal bila tidak ada gangguan.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah tindakan yang harus dicegah, tetapi bila
ada keluarga yang mengalami kita bisa belajar dan mengetahui dampak kekerasan
seksual terhadap perilaku anak. Karena anak adalah aset masa depan yang harus
dilindungi bukan untuk disakiti.
Goleman (1997) menjelaskan bahwa seorang anak adalah individu yang
melewati masa kanak-kanak yang merupakan awal bagi individu untuk mengenal
diri dan lingkungan sekitarnya. Pengalaman-pengalaman yang bersifat emosional
akan sangat mempengaruhi bentuk struktur kepribadian dan perilakunya. Suatu
pengalaman emosional yang menyakitkan dan terulang-ulang bahkan sampai
menimbulkan trauma bagi anak pada masa kanak-kanaknya merupakan awal
terbentuknya gangguan perilaku dan emosionalnya.
Berdasarkan uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan yang harus dijawab
lebih lanjut dalam sebuah penelitian yaitu bagaimana dampak kekerasan seksual
terhadap perilaku anak-anak ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dampak kekerasan seksual
terhadap perubahan perilaku anak yang menjadi korbannya dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan seksual merupakan suatu fenomena yang akhir-akhir ini cukup
banyak diberitakan di media baik media cetak maupun media elektronik.
Kekerasan seksual banyak ditemukan disekitar kita, bahkan didepan mata kita
sampai pada acara-acara televisi terutama pada program berita kriminal. Hampir
setiap hari ada anak yang menjadi korban kekerasan seksual baik dalam bentuk
pencabulan bahkan sampai pada pemerkosaan (Fausiah, 2004).
Kejahatan terhadap anak-anak cenderung meningkat karena terjadi
penambahan-penambahan norma-norma ditengah masyarakat, kalau dulu norma-
norma keluarga sangat melindungi anak-anak, kini menganggap anak-anak
sebagai aset ekonomi dan komoditas, penambahan norma ini diakselerasikan oleh
agen-agen sosial khususnya media massa. Seperti yang sering ditulis dalam media
massa yang saat ini hampir setiap hari menjadi berita yang aktual (Fitriyah, 2005).
Laporan yang dikutip dari www.google.com (dalam Fitriyah, 2005) bahwa
data yang dikeluarkan unit Pelayanan Kesehatan Terpadu (PKT) Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo mengungkapkan pada tahun 2002
kasus perkosaan terhadap perempuan di bawah usia 18 tahun mencapai 74 kasus.
Angka itu meningkat menjadi 103 kasus pada tahun 2001 dan 127 kasus pada
tahun 2002. Tahun 2003 sampai akhir Juni tercatat 51 kasus.
Laporan Gloria Cyber Minstries tanggal 11 Juni 2004 (Fitriyah, 2005)
menyebutkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mencatat pada
tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus kekerasan seksual (65,8%) dari 3.969 kasus
kekerasan seksual yang dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah
tersebut 75 % korbannya adalah anak perempuan.
Kekerasan terhadap anak dapat juga terjadi di dalam rumahnya.
Seharusnya rumah bagi setiap anggota keluarga adalah tempat dimana anak
merasa aman, nyaman dan terlindungi, namun terkadang pelaku kejahatan justru
anggota keluarga sendiri. Kekerasan seperti penganiayaan, pelecehan, bahkan
pemerkosaan dalam suatu keluarga sering kali tidak terdeteksi. Masalah pelecehan
dan kekerasan seksual terhadap anak-anak (sexual child abuse) masih merupakan
persoalan besar. Laporan yang dikutip dalam buku “Kekerasan Seksual pada Anak
dan Remaja” terungkap data-data diantaranya sebagai berikut (1) diperkirakan
25% wanita dewasa pernah mengalami pelecehan seksual semasa kecilnya, (2)
diperkirakan 40% pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur adalah orang
tuanya sendiri seperti ayah angkat atau ayah tiri bahkan ayah kandung, (3)
diperkirakan 80% pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah orang
yang dikenal oleh korban misalnya ayah, kakak, paman, tetangga atau teman yang
dikenal oleh korban (Purnama, 2002).
Berdasarkan data tersebut yaitu diperkirakan bahwa sekitar 40% pelaku
kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur adalah orang tuanya sendiri
seperti ayah angkat, ayah tiri bahkan ayah kandung dapat dilihat dengan berbagai
kasus yang dapat kita ketahui melalui media massa seperti koran atau majalah,
seperti kutipan kasus berikut ini.
Seorang ayah yang didakwa memperkosa anak tirinya selama hampir satu
tahun di suatu tempat yang masih menjadi wilayah kabupaten Boyolali dan
pelakunya dituntut 5 tahun penjara. Selama melakukan pemaksaan
hubungan seksual tersebut, istri terdakwa alias ibu kandung korban sama
sekali tidak mengetahui masalah itu. Masalah itu baru terungkap ketika
bulan April 2003 korban mencoba melakukan percobaan bunuh diri
dengan menenggak racun serangga, untungnya aksi itu dapat digagalkan,
korban mengaku tidak kuat menahan tekanan mental akibat dipaksa
melakukan hubungan seksual dengan ayah tirinya selama hampir setahun
(Prabowo ,2003).
Laporan Gloria Cyber Ministries, www.google.com tanggal 11 Juni 2004
(dalam Fitriyah, 2005) bahwa data yang tercatat pada pemberitaan “Antara”
bahwa sebanyak 150 kasus dari 178 kasus pelaku kekerasan seksual terhadap
anak-anak yang ada di Jawa Tengah selama tahun 2001 adalah orang-orang yang
dikenal korban. Hal ini memberikan indikasi bahwa saat ini rumah yang
seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak ternyata tidak lagi. Di manapun
anak-anak berada, tindak kekerasan terutama kekerasan seksual mengintainya.
Berdasarkan informasi di atas dimana pelaku kekerasan seksual adalah
orang terdekat yang dikenal oleh korban, dan hal ini memberikan indikasi bahwa
lingkungan rumah dan sekitarnya yang seharusnya tempat yang aman dan nyaman
untuk anak-anak sekarang ternyata tidak lagi. Ini dapat dilihat dari kutipan kasus
berikut ini.
Kuntum bukan nama sebenarnya usia 4,5 tahun salah satu warga di
wilayah Boyolali yang menjadi korban perbuatan cabul. Diduga dilakukan
oleh tetangganya sendiri. Aksi pencabulan itu dilakukan pada hari Senin,
26 April 2004 waktu sore hari sekitar pukul 15.00 WIB. Korban saat itu
sedang bermain sendiri sedangkan orang tua korban tidak sempat
mengawasinya karena mencuci pakaian di belakang. Korban mengaku
pada kedua orang tuanya baru saja diperkosa dan menceritakan bahwa saat
pelaku melakukan aksinya kepalanya dipegang dan lehernya sempat
dipegang agar tidak berontak (Prasetyo, 2004)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban
kekerasan seksual tidak hanya menderita trauma secara fisik yaitu kehilangan
virginitas, keperawanan dan cidera tubuh. Anak-anak juga merasakan sakit pada
daerah anus karena luka yang ditimbulkan akibat perilaku sodomi yang ditujukan
kepada anak-anak (Purnama, 2002). Dampak secara fisik yang dapat dilihat
adalah sakit fisik atau cidera pada daerah alat kelamin atau daerah sekitar dubur,
sehingga anak sulit berjalan atau bahkan menangis saat buang air kecil atau besar
(Fausiah, 2004). Saraswati (dalam Sofian dkk, 1999) menjelaskan bahwa anak-
anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami luka pada fisik yang bisa
mengakibatkan kematian. Akibat fisik lainnya, muncul juga rasa pusing dan mual
atau badan terasa ngilu dan menjadi letih karena melakukan onani karena melihat
perilaku seksual yang salah dari pelaku (Sofian dkk, 1999).
Dampak kekerasan seksual secara psikologis menurut Saraswati (dalam
Sofian dkk, 1999) menyebutkan bahwa kekerasan seksual mengakibatkan
timbulnya trauma berkepanjangan pada anak terhadap hal-hal tertentu yang telah
dialami. Sofian dkk, (1999) menyebutkan anak-anak akan mengalami rasa takut,
merasa tidak aman, dan tidak nyaman dalam merespon komunikasi antara orang
dewasa dengan diri mereka. Hal ini terlihat dari bentuk perkataan yang
disampaikan para orang dewasa dihadapan anak-anak tersebut. Perkataan tersebut
bernada keras dengan kata-kata yang kurang sopan, kalimat yang mengancam
keselamatan jiwa anak.
Laporan Gloria Cyber Ministries, www.google.com tanggal 11 Juni 2004
(dalam Fitriyah, 2005) bahwa kekerasan anak baik secara fisik, psikologis dan
seksual yang dilakukan oleh orang-orang profesional maupun orang terdekat
mereka dapat mengakibatkan trauma yang berkepanjangan dan dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka. Anak akan menderita stress
mental yang amat berat, dan ini bisa berlangsung seumur hidup. Stress pasca-
trauma atau stress setelah kejadian dan gejala-gejala secara umum antara lain
menderita stress berat yang diakibatkan kejadian kekerasan yang berupa
perkosaan tersebut. Gejala lainnya yang muncul juga adalah menurunnya secara
drastis keinginan untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan dunia luar, dan ini
muncul setelah peristiwa kekerasan seksual tersebut. Dimana gejala ini terlihat
dalam bentuk perasaan terlepas atau terasing dari orang lain atau lingkungannya,
murung, putus asa, tidak ada minat lagi terhadap aktivitas sebelumnya yang cukup
banyak (Purnama, 2002).
Dampak kekerasan seksual terhadap perilaku anak-anak menurut Fausiah
(2004) dijelaskan bahwa setelah mengalami kekerasan seksual, kebanyakan anak
menyimpan rapat dan tidak melaporkan kepada orangtuanya atau orang lain. Ada
beberapa alasan yang membuat anak tidak menceritakan peristiwa tersebut antara
lain (1) mereka tidak memahami apa yang dialami, (2) anak yang lebih kecil
memiliki keterbatasan mengungkapkan hal yang terjadi, (3) merasa malu, cemas
dan takut atas apa yang terjadi padanya, (4) adanya ancaman dari pelaku, (5)
merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya, (6) khawatir tidak dipercaya jika
bercerita peristiwa yang sebenarnya.
Fausiah (2004) menjelaskan beberapa perubahan perilaku yang mungkin
muncul meskipun tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual
menampilkan hal-hal tersebut, (1) munculnya kembali perilaku yang sebelumnya
sudah hilang (regresi) seperti mengompol, menghisap jari, buang air besar di
celana, (2) perilaku menarik diri, menyendiri, enggan bergaul padahal sebelumnya
tidak, (3) sering melamun dan mengalami kesulitan berkonsentrasi, (4)
menurunnya prestasi akademik, (5) ketakutan berlebihan pada orang atau benda
tertentu, (6) agresivitas berlebihan (padahal sebelumnya tidak), (7) pengetahuan
tentang seksualitas yang melebihi usianya, membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan seksual secara berlebihan atau melakukan permainan yang
mengarah pada seksualitas.
Dampak kekerasan seksual terhadap perilaku anak bukan hal yang ringan
dan disepelekan. Berbagai penjelasan mengenai kekerasan seksual dan
dampaknya telah dibahas sebelumnya, tetapi informasi mengenai anak akan
menambah lengkap bahwa individu yang disebut anak bukanlah individu biasa
seperti orang dewasa yang hanya dalam format mini atau kecil, tetapi anak adalah
individu yang khas dan unik dengan semua pola perilaku dan kepribadiannya.
Hurlock (1995) menyatakan bahwa anak adalah individu yang melewati
masa kanak-kanak yaitu rentang waktu antara 6-12 tahun dimana individu dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengaruh orang tua pada masa ini sangat
dominan pada pembentukan perilaku dan kepribadiannya disamping faktor sosial
yang mendukungnya. Berbagai proses perkembangan berlangsung pada masa
anak-anak seperti kognisi, emosi, bahasa, intelegensi dan lain-lainnya. Seorang
anak mempunyai bakat-bakat dan kemampuan yang khas dan unik. Anak adalah
subyek yang dinamis dan aktif terhadap perubahan atau rangsang.
Pendapat lain yang mendukung penjelasan di atas bahwa faktor biologis
atau bawaan merupakan dasar perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin,
selain itu merupakan proses belajar sosial sejak awal yang menjadi kontribusi
bahwa identitas jenis kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu penilaian
apa yang baik dan tidak bagi anak (Monks dkk, 1994).
Konvensi Hak Anak Internasional menjelaskan bahwa anak-anak yaitu
individu yang belum berusia 18 tahun yang berkaitan dengan keberhasilan dan
kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang, berhak memperoleh hak
perlindungan yang salah satunya adalah hak mendapat perlindungan dari
diskriminasi, kekerasan baik fisik maupun non fisik, penyalahgunaan sampai
penelantaran dan hak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa ada
gangguan atau hambatan.
Kekerasan seksual yang berkaitan dengan perilaku anak dapat
dihubungkan dengan perkembangan fisikoseksual dan psikoseksual anak yang
mungkin saja terganggu karena peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.
Stadium perkembangan psikoseksual anak yang normal baik lelaki maupun
perempuan melewati empat (4) fase. Sigmund Freud (dalam Nakita, 2004)
menyebutkan (1) fase oral yang berlangsung dari lahir sampai usia dua tahun
dimana pusat kenikmatan anak terletak pada mulut karena pada saat itu anak
senang menyusu dan mengisap maupun memasukkan segala sesuatu ke dalam
mulutnya, (2) fase muskuler yang berlangsung dari usia dua sampai tiga tahun
atau paling telat empat tahun dimana pusat kenikmatan anak berpindah ke otot
yang ditandai dengan kesenangan dipeluk, memeluk, mencubit, ditimang, (3) fase
anal uretral yang berlangsung dari usia tiga sampai empat tahun selambat-
lambatnya lima tahun dimana pusat kenikmatan anak terletak pada anus atau
dubur dan saluran kencing yang ditandai dengan senang menahan BAB (buang air
besar) atau BAK (buang air kecil), (4) fase genital berlangsung dari usia lima
sampai tujuh tahun dimana pusat kenikmatan dirasakan pada alat kelamin yang
ditandai dengan senang memegang alat kelamin bahkan sebagian anak dapat
mencapai “orgasme”.
Tahap-tahap tersebut dapat berjalan normal bila tidak ada gangguan.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah tindakan yang harus dicegah, tetapi bila
ada keluarga yang mengalami kita bisa belajar dan mengetahui dampak kekerasan
seksual terhadap perilaku anak. Karena anak adalah aset masa depan yang harus
dilindungi bukan untuk disakiti.
Goleman (1997) menjelaskan bahwa seorang anak adalah individu yang
melewati masa kanak-kanak yang merupakan awal bagi individu untuk mengenal
diri dan lingkungan sekitarnya. Pengalaman-pengalaman yang bersifat emosional
akan sangat mempengaruhi bentuk struktur kepribadian dan perilakunya. Suatu
pengalaman emosional yang menyakitkan dan terulang-ulang bahkan sampai
menimbulkan trauma bagi anak pada masa kanak-kanaknya merupakan awal
terbentuknya gangguan perilaku dan emosionalnya.
Berdasarkan uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan yang harus dijawab
lebih lanjut dalam sebuah penelitian yaitu bagaimana dampak kekerasan seksual
terhadap perilaku anak-anak ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dampak kekerasan seksual
terhadap perubahan perilaku anak yang menjadi korbannya dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :