BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan sebuah satuan terkecil komunitas yang ada dalam
masyarakat. Keluarga mempunyai anggota yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak,
dimana anak terdiri dari anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Anak bungsu
lahir di luar perencanan dan sering dimanja oleh orang tua karena ia merupakan
anak terkecil dan anak penghabisan (Handayani, 2003). Hal ini menegaskan
bahwa anak dalam posisi urutan kelahiran terakhir adalah anak bungsu meski
dalam satu keluarga itu terdapat anak lain yang mempunyai umur yang lebih
muda dari anak yang dilahirkan pada urutan terakhir. Hurlock (1990) berpendapat
bahwa pembentukan sikap anak bungsu terhadap dirinya sendiri maupun orang
lain dipengaruhi oleh keluarga dan pola – pola perilaku yang ada di sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar perkembangan anak bergantung pada
interaksi dengan saudara-saudaranya. Semua anggota keluarga memaksakan pola-
pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain saat berinteraksi
sehingga posisi dalam keluarga memberi cap yang tidak dapat dihapuskan pada
gaya hidup seseorang. Orang tua tidak lagi menekan dan mengharapkan anak
bungsu seperti halnya terhadap anak sulung. Gunawan (2004) berpendapat bahwa
adanya perhatian dan dukungan yang berlebihan dari orang tua dapat
menyebabkan anak bungsu senantiasa dianggap anak kecil, menjadi manja,
kekanak-kanakkan, merasa lemah, dan egois. Anak bungsu mengembangkan
karakteristik yang akan sangat dipengaruhi oleh apakah anggota keluarga
memandang mereka sebagai “boneka yang menyenangkan” atau sebagai
“pengganggu” sehingga terungkap bahwa anak bungsu mempunyai sindrom
tertentu yaitu percaya diri, spontan, manja, tidak matang, rendah diri, merasa tidak
mampu, tidak mandiri, dan tidak bertanggung jawab (Hurlock, 1990).
Karakter manja selalu melekat pada anak bungsu. Beberapa ahli
mengatakan bahwa karakter anak bungsu dipengaruhi oleh sikap dan perlakuan
orang-orang dewasa disekitarnya. Anak bungsu juga diharapkan oleh orang tua
untuk mempunyai prestasi yang sama dengan kakak-kakaknya. Anak bungsu
diharapkan mempunyai suatu karakter yang bertolak belakang dengan manja dan
tergantung yaitu kemandirian. Kemandirian diperlukan anak bungsu saat ia harus
lepas dari orang-orang terdekatnya yang selalu memberikan dukungan dan
perhatian yang penuh.
Kemandirian merupakan aspek penting yang harus dimiliki semua orang
terutama dalam pemecahan masalah dan saat dihadapkan pada beberapa alternatif
keadaan. Kemandirian anak bungsu perlu dipupuk agar dimasa dewasanya
mempunyai kemampuan pribadi yang baik. Kemampuan pribadi yang baik adalah
kemampuan pribadi yang mandiri sehingga dapat memecahkan masalah pada
beberapa alternatif keadaan yang baik. Kemandirian berasal dari kata mandiri,
yang berarti berdiri sendiri. Basri (2000) menyatakan bahwa kemandirian dalam
arti psikologis dan mentalis mengandung pengertian keadaan seseorang dalam
kehidupan yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan
orang lain. Kemampuan demikian hanya dimiliki jika seseorang berkemampuan
memikirkan dengan seksama tentang sesuatu yang dikerjakan atau diputuskan,
baik dalam segi-segi manfaat atau keuntungan maupun segi-segi manfaat atau
keuntungan maupun segi-segi negatif dan kerugian yang akan dialami.
Hurlock (1990) mengatakan pengaruh kelompok dalam penyesuaian
pribadi dan sosial adalah dengan membantu anak-anak mencapai kemandirian dan
orang tua menjadi dirinya sendiri. Melalui hubungan dengan teman sebaya anak-
anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima
pandangan dan nilai-nilai yang asalnya bukan dari keluarga mereka, dan
mempelajari pola perilaku yang diterima kelompok. Individu yang memiliki sikap
mandiri dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan,
mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif
dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Menurut Gilmore (Widiastuti, 2000) seseorang dikatakan memiliki
perilaku mandiri, bila bebas dari pengaruh dan pengawasan orang lain. Hal ini
menunjukan bahwa sesorang yang berperilaku mandiri mampu menentukan
sendiri segala sesuatu yang harus dilakukannya, mampu mengambil keputusannya
dan memilih keyakinan-keyakinan yang akan terjadi karena perbuatannya, serta
berusaha memecahkan sendiri permasalahan yang dihadapi tanpa mengharapkan
bantuan orang lain.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat diketahui bahwa anak bungsu jarang
mempunyai karakter mandiri. Teori-teori diatas menegaskan bahwa pola perilaku
dan cara perlakuan yang diterapkan pada anak bungsu dari orang-orang
terdekatnya menjadikan terbentuknya karakter tidak mandiri dalam diri anak
bungsu dengan sendirinya.
Penulis tertarik dengan karakter anak bungsu yang jarang memiliki
kemandirian. Anak bungsu cenderung untuk bergantung pada orang-orang
disekitarnya terutama keluarganya. Mereka, biasanya, mengandalkan saudara atau
orang tuanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ataupun mengandalkan
orang lain untuk melakukan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Peran individu dalam keluarga, perlakuan yang diterima dari anggota-anggota
keluarga, serta sikap mereka akan meninggalkan bekas pada kepribadian dan pola
perilaku anak bungsu.
Dari teori dan fakta diatas, maka penulis merumuskan pertanyaan
penelitian “bagaimana pola perilaku kemandirian anak bungsu dan bagaimana
karakter ketidakmandirian bisa terbentuk?” dari pertanyaan penelitian tersebut,
penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Studi Kualitatif
Mengenai Kemandirian pada Anak Bungsu”
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan sebuah satuan terkecil komunitas yang ada dalam
masyarakat. Keluarga mempunyai anggota yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak,
dimana anak terdiri dari anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Anak bungsu
lahir di luar perencanan dan sering dimanja oleh orang tua karena ia merupakan
anak terkecil dan anak penghabisan (Handayani, 2003). Hal ini menegaskan
bahwa anak dalam posisi urutan kelahiran terakhir adalah anak bungsu meski
dalam satu keluarga itu terdapat anak lain yang mempunyai umur yang lebih
muda dari anak yang dilahirkan pada urutan terakhir. Hurlock (1990) berpendapat
bahwa pembentukan sikap anak bungsu terhadap dirinya sendiri maupun orang
lain dipengaruhi oleh keluarga dan pola – pola perilaku yang ada di sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar perkembangan anak bergantung pada
interaksi dengan saudara-saudaranya. Semua anggota keluarga memaksakan pola-
pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain saat berinteraksi
sehingga posisi dalam keluarga memberi cap yang tidak dapat dihapuskan pada
gaya hidup seseorang. Orang tua tidak lagi menekan dan mengharapkan anak
bungsu seperti halnya terhadap anak sulung. Gunawan (2004) berpendapat bahwa
adanya perhatian dan dukungan yang berlebihan dari orang tua dapat
menyebabkan anak bungsu senantiasa dianggap anak kecil, menjadi manja,
kekanak-kanakkan, merasa lemah, dan egois. Anak bungsu mengembangkan
karakteristik yang akan sangat dipengaruhi oleh apakah anggota keluarga
memandang mereka sebagai “boneka yang menyenangkan” atau sebagai
“pengganggu” sehingga terungkap bahwa anak bungsu mempunyai sindrom
tertentu yaitu percaya diri, spontan, manja, tidak matang, rendah diri, merasa tidak
mampu, tidak mandiri, dan tidak bertanggung jawab (Hurlock, 1990).
Karakter manja selalu melekat pada anak bungsu. Beberapa ahli
mengatakan bahwa karakter anak bungsu dipengaruhi oleh sikap dan perlakuan
orang-orang dewasa disekitarnya. Anak bungsu juga diharapkan oleh orang tua
untuk mempunyai prestasi yang sama dengan kakak-kakaknya. Anak bungsu
diharapkan mempunyai suatu karakter yang bertolak belakang dengan manja dan
tergantung yaitu kemandirian. Kemandirian diperlukan anak bungsu saat ia harus
lepas dari orang-orang terdekatnya yang selalu memberikan dukungan dan
perhatian yang penuh.
Kemandirian merupakan aspek penting yang harus dimiliki semua orang
terutama dalam pemecahan masalah dan saat dihadapkan pada beberapa alternatif
keadaan. Kemandirian anak bungsu perlu dipupuk agar dimasa dewasanya
mempunyai kemampuan pribadi yang baik. Kemampuan pribadi yang baik adalah
kemampuan pribadi yang mandiri sehingga dapat memecahkan masalah pada
beberapa alternatif keadaan yang baik. Kemandirian berasal dari kata mandiri,
yang berarti berdiri sendiri. Basri (2000) menyatakan bahwa kemandirian dalam
arti psikologis dan mentalis mengandung pengertian keadaan seseorang dalam
kehidupan yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan
orang lain. Kemampuan demikian hanya dimiliki jika seseorang berkemampuan
memikirkan dengan seksama tentang sesuatu yang dikerjakan atau diputuskan,
baik dalam segi-segi manfaat atau keuntungan maupun segi-segi manfaat atau
keuntungan maupun segi-segi negatif dan kerugian yang akan dialami.
Hurlock (1990) mengatakan pengaruh kelompok dalam penyesuaian
pribadi dan sosial adalah dengan membantu anak-anak mencapai kemandirian dan
orang tua menjadi dirinya sendiri. Melalui hubungan dengan teman sebaya anak-
anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima
pandangan dan nilai-nilai yang asalnya bukan dari keluarga mereka, dan
mempelajari pola perilaku yang diterima kelompok. Individu yang memiliki sikap
mandiri dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan,
mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif
dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Menurut Gilmore (Widiastuti, 2000) seseorang dikatakan memiliki
perilaku mandiri, bila bebas dari pengaruh dan pengawasan orang lain. Hal ini
menunjukan bahwa sesorang yang berperilaku mandiri mampu menentukan
sendiri segala sesuatu yang harus dilakukannya, mampu mengambil keputusannya
dan memilih keyakinan-keyakinan yang akan terjadi karena perbuatannya, serta
berusaha memecahkan sendiri permasalahan yang dihadapi tanpa mengharapkan
bantuan orang lain.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat diketahui bahwa anak bungsu jarang
mempunyai karakter mandiri. Teori-teori diatas menegaskan bahwa pola perilaku
dan cara perlakuan yang diterapkan pada anak bungsu dari orang-orang
terdekatnya menjadikan terbentuknya karakter tidak mandiri dalam diri anak
bungsu dengan sendirinya.
Penulis tertarik dengan karakter anak bungsu yang jarang memiliki
kemandirian. Anak bungsu cenderung untuk bergantung pada orang-orang
disekitarnya terutama keluarganya. Mereka, biasanya, mengandalkan saudara atau
orang tuanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ataupun mengandalkan
orang lain untuk melakukan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Peran individu dalam keluarga, perlakuan yang diterima dari anggota-anggota
keluarga, serta sikap mereka akan meninggalkan bekas pada kepribadian dan pola
perilaku anak bungsu.
Dari teori dan fakta diatas, maka penulis merumuskan pertanyaan
penelitian “bagaimana pola perilaku kemandirian anak bungsu dan bagaimana
karakter ketidakmandirian bisa terbentuk?” dari pertanyaan penelitian tersebut,
penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Studi Kualitatif
Mengenai Kemandirian pada Anak Bungsu”