BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu unit terkecil dalam masyarakat yang anggotanya
terdiri dari minimal ayah, ibu dan anak. Keluarga merupakan lingkungan yang
pertama dan utama bagi perkembangan dan pembelajaran seorang individu. Sebuah
keluarga tentu saja menempati sebuah tempat tinggal yang biasa disebut rumah. Di
lingkungan rumah tersebutlah seorang individu untuk pertama kalinya mengenal diri,
orang dan lingkungan diluar dirinya. Pengenalan, pembelajaran dan pengalaman
nilai-nilai, sikap, moral, ajaran agama, sosial dan sebagainya juga diawali dari
lingkungan keluarga.
Menurut Shohih (2003) keluarga merupakan mercusuar dari arah dan
pendidikan anak-anaknya. Keluargalah yang menjadi pembentuk pertama anak.
Kemampuan keluarga dalam mengarahkan dan mendidik anak-anaknya sangat
diperlukan. Dartono (2004) menambahkan keluarga mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak serta dalam pemenuhan kebutuhan anak.
Keluarga adalah tempat atau lingkungan yang mampu memberikan cinta kasih, rasa
aman, kesempatan berkembang, disiplin dan sebagainya. Dari keluargalah anak
pertama kali belajar mengenai dunianya serta mempraktekkan pengalaman dan
keterampilannya.
Penerapan disiplin diri di rumah merupakan bagian dari pendidikan dalam
keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Su’udi (1994) penerapan disiplin hendaknya
dilakukan sejak dini sebagai suatu benteng pada langkah berikutnya. Haditono (1994)
mengatakan bahwa pendidikan anak itu hendaknya dimulai seawal mungkin, bahkan
ketika anak masih dalam kandungan. Saat itu anak peka sekali dengan rangsangan-
rangsangan dari luar. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh dan ikatan anak
dengan orang tuanya terutama ibu. Pendapat tersebut juga didukung oleh Andayani
(2000) yang menyatakan bahwa orang tua terutama ibu memiliki andil besar dalam
menentukan bentuk-bentuk perlakuan yang akan mereka berikan dalam mendidik
anak.
Hertinjung (2000) menambahkan yang dinyatakan dari hasil penelitiannya
bahwa secara umum kualitas interaksi antara ibu dan anak memegang peranan
penting dalam perkembangan anak. Sedangkan hasil penelitian Andayani (2000)
menunjukkan bahwa dari beberapa situasi pencetus yang dapat berpengaruh pada
perlakuan salah pada anak satu diantaranya adalah alasan penanaman disiplin dan
kepatuhan anak. Ini memberikan indikasi pentingnya penerapan disiplin pada anak
sebagai salah satu cara penanaman nilai nilai anak sehingga anak dapat berkembang
secara optimal, dan pada akhirnya menjadi individu yang diharapkan oleh orang tua
maupun masyarakat.
Disiplin menurut Gordon (1996) dipahami sebagai perilaku dan tata tertib yang
sesuai dengan peraturan dan ketetapan atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan,
seperti misalnya disiplin di rumah, disiplin di sekolah, dan lain sebagainya.
Sedangkan disiplin diri menurut Gie (1995) diartikan sebagai kecakapan seseorang
mengenai cara belajar yang baik dan merupakan proses ke arah pembentukan sikap
dan watak yang baik.
Disiplin diri merupakan aspek utama dan esensial dalam pendidikan keluarga
yang diemban oleh orang tua. Orang tua bertanggung jawab secara penuh dalam
meletakkan dasar-dasar dan fondasinya kepada anak. Usaha orang tua akan tercapai
bila anak dinilai telah mampu mengontrol perilakunya sendiri dengan acuan dari
nilai-nilai moral yang terinternalisasi. Usaha ini secara esensial adalah penataan
situasi dan kondisi yang dapat mengundang anak secara sukarela untuk menerapkan
nilai-nilai moral sehingga dapat dijadikan dasar untuk berperilaku disiplin.
Korelasinya adalah jika anak mampu berdisiplin maka dapat dimaknai ia memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi perilakunya.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak ditemukan kasus-kasus yang
menunjukkan kurangnya disiplin diri pada anak. Contohnya seperti kasus yang terjadi
pada Ivan berusia 8 tahun yang masih duduk di kelas 3 SD, berdasarkan keterangan
gurunya Ivan termasuk nakal di sekolah, ia sering dihukum karena menyepak dan
memukul temannya, orang tuanya sering mengeluh atas kenakalannya di rumah. Ia
juga susah diatur dan sering melakukan perbuatan sesukanya, tak jarang pula
perbuatannya tersebut merugikan orang-orang di sekitarnya. (http//www.tabloid
nakita.com, 18 Agustus 2004). Contoh lainnya adalah Nia berusia 7 tahun, ia
seringkali bertengkar dengan saudaranya dan masih suka mengompol, sulit makan,
tak mau belajar, seharian waktunya lebih sering dihabiskan untuk menonton televisi
terutama film kartun seperti shinchan.(http//www.ayahbunda.com,10 April 1999).
Contoh kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari permasalahan yang
dihadapi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Hal tersebut menunjukkan kurang
adanya kedisiplinan diri pada anak-anak mereka. Namun di sisi lain ada pula orang
tua yang sangat merasa bangga dengan anak anaknya, bangga atas prestasi si anak
maupun karena si anak berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang tuanya.
Kebanggaan tersebut menurut sebagian besar orang tua tidak hanya bisa dicapai tanpa
usaha, melainkan orang tua perlu mengajarkan nilai nilai, serta menerapkan disiplin
diri sedini mungkin.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
para ibu yang terlalu keras dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak mereka
dalam menunjukkan empati (Kolopaking, 2004). Hal ini dapat dikatakan merupakan
bagian dari konsekuensi penerapan disiplin diri pada anak. Hasil penelitian tersebut
secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman
yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan,
pengertian dan menerapkan peraturan peraturan yang konsisten, dan yang secara
keterlaluan memarahi anak-anak mereka cenderung menghalangi perkembangan
prososial anak. Demikian dari Natural Institute of Mental Health yang ditulis oleh Dr.
Paul. D.Hasting (dalam Kolopaking, 2004).
Para ahli mengatakan anak- anak yang dibesarkan dalam situasi di mana setiap
orang diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan, umumnya tak
akan disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, anak-anak yang pada saat
ini belajar untuk hidup berdasarkan peraturan, cenderung tumbuh menjadi anak yang
lebih bahagia dan berkelakuan baik (Soelaeman, R, 2004). Penerapan disiplin pada
anak usia SD diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi perkembangan anak
itu sendiri. Baik perkembangan anak di masa sekarang maupun di masa yang akan
datang.
Hurlock (1983) menyatakan bahwa tujuan dari disiplin diri adalah untuk
membina agar anak dapat menguasai dirinya. Penguasaan diri tersebut mempunyai
manfaat yang bermacam-macam, misalnya menjaga dirinya untuk tidak melakukan
perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan lingkungan.
Disamping itu tujuan dari disiplin diri adalah memberikan pola tingkah laku yang
baik dan benar serta mengembangkan kontrol pada diri individu (Schafer,1989).
Anak membutuhkan kebebasan tapi juga membutuhkan disiplin untuk membatasi
perilakunya agar sesuai dengan norma-norma masyarakat. Dapat dibayangkan bila
orang tua tidak menenerapkan disiplin diri pada anak, berarti anak akan bertindak
semaunya, tidak memiliki aturan, tidak hanya diri sendiri dan keluarga yang
dirugikan, masyarakatpun dapat terkena imbasnya. Hurlock (1983) mengungkapkan
dengan disiplin diri anak belajar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penerapan
disiplin diri ini membutuhkan proses, serta perlu memperhatikan tipe atau
karekteristik anak, untuk selanjutnya disesuaikan dengan penerapan disiplin yang
akan diberikan .
Usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa sekolah, anak yang berada
dalam tahap ini berkisar antara 6-12 tahun. Masa sekolah bagi anak dapat dikatakan
sebagai masa transisi dari masa ketergantungan yang tinggi terhadap orang tua
menuju masa kemandirian pada tahap awal. Karena itu pembelajaran untuk
menerapkan disiplin diri pada anak dipandang cukuplah penting.
Penting bagi orang tua untuk memperhatikan tipe atau karekteristik anak
sebelum memutuskan menerapkan disiplin diri dengan cara tertentu. . Hal ini sejalan
dengan pendapat Prasetyo (1993) yang menyatakan bahwa penanaman disiplin yang
ketat dan kaku tanpa memberikan anak kesempatan untuk mengolah dan
mengintregasikan dalam dirinya tidak akan memupuk “inner discipline”. Wood
(1994) menambahkan ada anak yang bertipe “mudah” dan anak yang bertipe “sulit”
dalam hal pendisiplinan. Adanya berbagai tipe atau karekateristik anak tersebut
tentunya memerlukan pendekatan khusus bagi masing-masing orang tua dalam usaha
mendisiplinkan anaknya. Pada kenyataannya tidak semua orang tua memperhatikan
hal tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut tentu saja akan memberikan dampak
yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat dikatakan penerapan disiplin diri di
rumah pada anak akan memberikan konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut
dapat bernilai positif maupun negatif.
Konsekuensi yang bernilai positif berarti akibat ataupun hasil yang
diterima oleh anak dari penerapan disiplin yang diberikan kepadanya bernilai baik.
Contoh dari konsekuensi positif tersebut diantaranya adalah anak dapat mengambil
keputusan dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, adanya keteraturan hidup
bagi anak, memiliki manajemen waktu yang baik, meningkatkan prestasi diri, serta
dapat mencapai keberhasilan yang diharapkan dan sebagainya.secara praktis bentuk
dari konsekuensi positif disiplin diri pada anak SD menurut Prianggoro (2004) yaitu
anak dapat bangun pagi, merapikan tempat tidur sendiri, mandi dan berpakaian,
sarapan, berangkat ke sekolah, tidur siang, bermain, mandi sore belajar, nonton
TV,dan tidur, semuanya dilakukan tepat waktu .
Konsekuensi yang bernilai negatif berarti akibat ataupun hasil yang
diterima oleh anak dari penerapan disiplin diri yang diberikan kepadanya bernilai
kurang baik atau bahkan buruk. Contoh dari konsekuensi negatif tersebut diantaranya
adalah anak merasa dikekang, merasa tidak bebas, ketidakstabilan emosinya, anak
merasa terlalu diatur sehingga tidak berani berpendapat, anak bersikap berpura-pura
baik di rumah, namun memiliki perilaku yang buruk di sekolah, serta membentuk
kepribadian ingin memberontak, dan sebagainya.
Secara sekilas kehidupan sehari hari seperti contoh kasus kasus pada anak
diatas menampakkan fenomena yang biasa saja. Namun bila dikaji lebih mendalam,
ternyata menghadirkan berbagai fenomena yang menyiratkan banyak persoalan dan
memiliki lingkup yang sangat kompleks. Dalam era global dewasa ini, kompleksitas
masalah kehidupan mengalami perubahan yang cepat sekali. Hal ini memberikan
kesan bahwa permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari semakin
beraneka. Jika tidak ada upaya untuk mencegah ataupun mengatasi permasalahan
tersebut maka dikwatirkan permasalahan pun akhirnya akan semakin kompleks.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para orang tua untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan disiplin diri di rumah
yang disesuaikan dengan tipe atau karekteristik anak. Dengan demikian anak
diajarkan untuk mengenal dan memahami nilai nilai moral, sehingga diharapkan
anak memiliki kontrol internal untuk berperilaku yang senantiasa taat moral. Upaya
tersebut menunjukkan perlu adanya tanggung jawab dari orang tua, karena orang tua
berkewajiban meletakkan dasar dasar disiplin diri kepada anak.. Kiranya penting bagi
orang tua dan anak untuk mengetahui konsekuensi penerapan disiplin diri, agar
permasalahan yang muncul dari hal tersebut dapat di atasi. Dengan demikian anak
tidak hanyut arus globalisasi, tetapi sebaliknya ia mampu berperilaku sesuai dengan
nilai nilai dan norma norma masyarakat.
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
“Bagaimana dan apa saja konsekuensi penerapan disiplin diri di rumah pada anak?,
dan apakah anak dengan tipe atau karekteristik tertentu membutuhkan pendekatan
tertentu dalam hal pendisiplinan?”. Usaha untuk menjawab rumusan masalah
tersebut, penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul “ Konsekuensi
Penerapan Disiplin Diri di Rumah Pada Anak”.
B. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang disiplin diri telah banyak dilakukan. Baik melalui
pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Tema tema yang telah diteliti antara lain
pola asuh orang tua dalam membantu anak meningkatkan disiplin diri, penelitian
tersebut dilakukan oleh Schocib (1998). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perlunya pertemuan makna antara orang tua dan anak sehingga pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anak dapat membantu anak mengembangkan disiplin diri.
Penelitian lain yang juga mengungkap tentang disiplin diri adalah penelitian yang
dilakukan oleh Widyastuti (2001) yang mengambil judul hubungan antara persepsi
pola asuh demokrasi dengan disiplin diri pada remaja. Hasil penelitiannya
menunjukkan ada hubungan yang positif antara persepsi pola asuh demokrasi dengan
disiplin diri pada remaja. Semakin baik persepsi remaja terhadap pola asuh
demokrasi, semakin baik disiplin dirinya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain bahwa pada penelitian ini
peneliti mencoba melihat konsekuensi dari penerapan disiplin diri yang diterapkan
orang tua di rumah pada anak usia SD, baik itu konsekuensi positif maupun negatif.
Hal ini dilakukan karena banyak orang tua yang memaksakan kehendak pada anak
dalam masalah pendisiplinan tanpa memperhatikan karekteristik anak. Sehingga tak
jarang disiplin yang diterapkan justru memberikan konsekuensi negatif. Di sisi lain
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sepengetahuan penulis penelitian
tentang konsekuensi penerapan disiplin diri pada anak masih sedikit dilakukan. Oleh
karena itu penelitian mengenai konsekuensi penerapan disiplin diri di rumah pada
anak yang dilakukan penulis sementara ini adalah asli.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi penerapan
disiplin diri di rumah pada anak, baik itu konsekuensi positif maupun konsekuensi
negatif.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat antara lain:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan suatu unit terkecil dalam masyarakat yang anggotanya
terdiri dari minimal ayah, ibu dan anak. Keluarga merupakan lingkungan yang
pertama dan utama bagi perkembangan dan pembelajaran seorang individu. Sebuah
keluarga tentu saja menempati sebuah tempat tinggal yang biasa disebut rumah. Di
lingkungan rumah tersebutlah seorang individu untuk pertama kalinya mengenal diri,
orang dan lingkungan diluar dirinya. Pengenalan, pembelajaran dan pengalaman
nilai-nilai, sikap, moral, ajaran agama, sosial dan sebagainya juga diawali dari
lingkungan keluarga.
Menurut Shohih (2003) keluarga merupakan mercusuar dari arah dan
pendidikan anak-anaknya. Keluargalah yang menjadi pembentuk pertama anak.
Kemampuan keluarga dalam mengarahkan dan mendidik anak-anaknya sangat
diperlukan. Dartono (2004) menambahkan keluarga mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak serta dalam pemenuhan kebutuhan anak.
Keluarga adalah tempat atau lingkungan yang mampu memberikan cinta kasih, rasa
aman, kesempatan berkembang, disiplin dan sebagainya. Dari keluargalah anak
pertama kali belajar mengenai dunianya serta mempraktekkan pengalaman dan
keterampilannya.
Penerapan disiplin diri di rumah merupakan bagian dari pendidikan dalam
keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Su’udi (1994) penerapan disiplin hendaknya
dilakukan sejak dini sebagai suatu benteng pada langkah berikutnya. Haditono (1994)
mengatakan bahwa pendidikan anak itu hendaknya dimulai seawal mungkin, bahkan
ketika anak masih dalam kandungan. Saat itu anak peka sekali dengan rangsangan-
rangsangan dari luar. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh dan ikatan anak
dengan orang tuanya terutama ibu. Pendapat tersebut juga didukung oleh Andayani
(2000) yang menyatakan bahwa orang tua terutama ibu memiliki andil besar dalam
menentukan bentuk-bentuk perlakuan yang akan mereka berikan dalam mendidik
anak.
Hertinjung (2000) menambahkan yang dinyatakan dari hasil penelitiannya
bahwa secara umum kualitas interaksi antara ibu dan anak memegang peranan
penting dalam perkembangan anak. Sedangkan hasil penelitian Andayani (2000)
menunjukkan bahwa dari beberapa situasi pencetus yang dapat berpengaruh pada
perlakuan salah pada anak satu diantaranya adalah alasan penanaman disiplin dan
kepatuhan anak. Ini memberikan indikasi pentingnya penerapan disiplin pada anak
sebagai salah satu cara penanaman nilai nilai anak sehingga anak dapat berkembang
secara optimal, dan pada akhirnya menjadi individu yang diharapkan oleh orang tua
maupun masyarakat.
Disiplin menurut Gordon (1996) dipahami sebagai perilaku dan tata tertib yang
sesuai dengan peraturan dan ketetapan atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan,
seperti misalnya disiplin di rumah, disiplin di sekolah, dan lain sebagainya.
Sedangkan disiplin diri menurut Gie (1995) diartikan sebagai kecakapan seseorang
mengenai cara belajar yang baik dan merupakan proses ke arah pembentukan sikap
dan watak yang baik.
Disiplin diri merupakan aspek utama dan esensial dalam pendidikan keluarga
yang diemban oleh orang tua. Orang tua bertanggung jawab secara penuh dalam
meletakkan dasar-dasar dan fondasinya kepada anak. Usaha orang tua akan tercapai
bila anak dinilai telah mampu mengontrol perilakunya sendiri dengan acuan dari
nilai-nilai moral yang terinternalisasi. Usaha ini secara esensial adalah penataan
situasi dan kondisi yang dapat mengundang anak secara sukarela untuk menerapkan
nilai-nilai moral sehingga dapat dijadikan dasar untuk berperilaku disiplin.
Korelasinya adalah jika anak mampu berdisiplin maka dapat dimaknai ia memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi dan mengakomodasi perilakunya.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak ditemukan kasus-kasus yang
menunjukkan kurangnya disiplin diri pada anak. Contohnya seperti kasus yang terjadi
pada Ivan berusia 8 tahun yang masih duduk di kelas 3 SD, berdasarkan keterangan
gurunya Ivan termasuk nakal di sekolah, ia sering dihukum karena menyepak dan
memukul temannya, orang tuanya sering mengeluh atas kenakalannya di rumah. Ia
juga susah diatur dan sering melakukan perbuatan sesukanya, tak jarang pula
perbuatannya tersebut merugikan orang-orang di sekitarnya. (http//www.tabloid
nakita.com, 18 Agustus 2004). Contoh lainnya adalah Nia berusia 7 tahun, ia
seringkali bertengkar dengan saudaranya dan masih suka mengompol, sulit makan,
tak mau belajar, seharian waktunya lebih sering dihabiskan untuk menonton televisi
terutama film kartun seperti shinchan.(http//www.ayahbunda.com,10 April 1999).
Contoh kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari permasalahan yang
dihadapi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Hal tersebut menunjukkan kurang
adanya kedisiplinan diri pada anak-anak mereka. Namun di sisi lain ada pula orang
tua yang sangat merasa bangga dengan anak anaknya, bangga atas prestasi si anak
maupun karena si anak berperilaku seperti yang diharapkan oleh orang tuanya.
Kebanggaan tersebut menurut sebagian besar orang tua tidak hanya bisa dicapai tanpa
usaha, melainkan orang tua perlu mengajarkan nilai nilai, serta menerapkan disiplin
diri sedini mungkin.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
para ibu yang terlalu keras dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak mereka
dalam menunjukkan empati (Kolopaking, 2004). Hal ini dapat dikatakan merupakan
bagian dari konsekuensi penerapan disiplin diri pada anak. Hasil penelitian tersebut
secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman
yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan,
pengertian dan menerapkan peraturan peraturan yang konsisten, dan yang secara
keterlaluan memarahi anak-anak mereka cenderung menghalangi perkembangan
prososial anak. Demikian dari Natural Institute of Mental Health yang ditulis oleh Dr.
Paul. D.Hasting (dalam Kolopaking, 2004).
Para ahli mengatakan anak- anak yang dibesarkan dalam situasi di mana setiap
orang diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan, umumnya tak
akan disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, anak-anak yang pada saat
ini belajar untuk hidup berdasarkan peraturan, cenderung tumbuh menjadi anak yang
lebih bahagia dan berkelakuan baik (Soelaeman, R, 2004). Penerapan disiplin pada
anak usia SD diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi perkembangan anak
itu sendiri. Baik perkembangan anak di masa sekarang maupun di masa yang akan
datang.
Hurlock (1983) menyatakan bahwa tujuan dari disiplin diri adalah untuk
membina agar anak dapat menguasai dirinya. Penguasaan diri tersebut mempunyai
manfaat yang bermacam-macam, misalnya menjaga dirinya untuk tidak melakukan
perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan lingkungan.
Disamping itu tujuan dari disiplin diri adalah memberikan pola tingkah laku yang
baik dan benar serta mengembangkan kontrol pada diri individu (Schafer,1989).
Anak membutuhkan kebebasan tapi juga membutuhkan disiplin untuk membatasi
perilakunya agar sesuai dengan norma-norma masyarakat. Dapat dibayangkan bila
orang tua tidak menenerapkan disiplin diri pada anak, berarti anak akan bertindak
semaunya, tidak memiliki aturan, tidak hanya diri sendiri dan keluarga yang
dirugikan, masyarakatpun dapat terkena imbasnya. Hurlock (1983) mengungkapkan
dengan disiplin diri anak belajar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Penerapan
disiplin diri ini membutuhkan proses, serta perlu memperhatikan tipe atau
karekteristik anak, untuk selanjutnya disesuaikan dengan penerapan disiplin yang
akan diberikan .
Usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa sekolah, anak yang berada
dalam tahap ini berkisar antara 6-12 tahun. Masa sekolah bagi anak dapat dikatakan
sebagai masa transisi dari masa ketergantungan yang tinggi terhadap orang tua
menuju masa kemandirian pada tahap awal. Karena itu pembelajaran untuk
menerapkan disiplin diri pada anak dipandang cukuplah penting.
Penting bagi orang tua untuk memperhatikan tipe atau karekteristik anak
sebelum memutuskan menerapkan disiplin diri dengan cara tertentu. . Hal ini sejalan
dengan pendapat Prasetyo (1993) yang menyatakan bahwa penanaman disiplin yang
ketat dan kaku tanpa memberikan anak kesempatan untuk mengolah dan
mengintregasikan dalam dirinya tidak akan memupuk “inner discipline”. Wood
(1994) menambahkan ada anak yang bertipe “mudah” dan anak yang bertipe “sulit”
dalam hal pendisiplinan. Adanya berbagai tipe atau karekateristik anak tersebut
tentunya memerlukan pendekatan khusus bagi masing-masing orang tua dalam usaha
mendisiplinkan anaknya. Pada kenyataannya tidak semua orang tua memperhatikan
hal tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut tentu saja akan memberikan dampak
yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat dikatakan penerapan disiplin diri di
rumah pada anak akan memberikan konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut
dapat bernilai positif maupun negatif.
Konsekuensi yang bernilai positif berarti akibat ataupun hasil yang
diterima oleh anak dari penerapan disiplin yang diberikan kepadanya bernilai baik.
Contoh dari konsekuensi positif tersebut diantaranya adalah anak dapat mengambil
keputusan dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, adanya keteraturan hidup
bagi anak, memiliki manajemen waktu yang baik, meningkatkan prestasi diri, serta
dapat mencapai keberhasilan yang diharapkan dan sebagainya.secara praktis bentuk
dari konsekuensi positif disiplin diri pada anak SD menurut Prianggoro (2004) yaitu
anak dapat bangun pagi, merapikan tempat tidur sendiri, mandi dan berpakaian,
sarapan, berangkat ke sekolah, tidur siang, bermain, mandi sore belajar, nonton
TV,dan tidur, semuanya dilakukan tepat waktu .
Konsekuensi yang bernilai negatif berarti akibat ataupun hasil yang
diterima oleh anak dari penerapan disiplin diri yang diberikan kepadanya bernilai
kurang baik atau bahkan buruk. Contoh dari konsekuensi negatif tersebut diantaranya
adalah anak merasa dikekang, merasa tidak bebas, ketidakstabilan emosinya, anak
merasa terlalu diatur sehingga tidak berani berpendapat, anak bersikap berpura-pura
baik di rumah, namun memiliki perilaku yang buruk di sekolah, serta membentuk
kepribadian ingin memberontak, dan sebagainya.
Secara sekilas kehidupan sehari hari seperti contoh kasus kasus pada anak
diatas menampakkan fenomena yang biasa saja. Namun bila dikaji lebih mendalam,
ternyata menghadirkan berbagai fenomena yang menyiratkan banyak persoalan dan
memiliki lingkup yang sangat kompleks. Dalam era global dewasa ini, kompleksitas
masalah kehidupan mengalami perubahan yang cepat sekali. Hal ini memberikan
kesan bahwa permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari semakin
beraneka. Jika tidak ada upaya untuk mencegah ataupun mengatasi permasalahan
tersebut maka dikwatirkan permasalahan pun akhirnya akan semakin kompleks.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para orang tua untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan disiplin diri di rumah
yang disesuaikan dengan tipe atau karekteristik anak. Dengan demikian anak
diajarkan untuk mengenal dan memahami nilai nilai moral, sehingga diharapkan
anak memiliki kontrol internal untuk berperilaku yang senantiasa taat moral. Upaya
tersebut menunjukkan perlu adanya tanggung jawab dari orang tua, karena orang tua
berkewajiban meletakkan dasar dasar disiplin diri kepada anak.. Kiranya penting bagi
orang tua dan anak untuk mengetahui konsekuensi penerapan disiplin diri, agar
permasalahan yang muncul dari hal tersebut dapat di atasi. Dengan demikian anak
tidak hanyut arus globalisasi, tetapi sebaliknya ia mampu berperilaku sesuai dengan
nilai nilai dan norma norma masyarakat.
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
“Bagaimana dan apa saja konsekuensi penerapan disiplin diri di rumah pada anak?,
dan apakah anak dengan tipe atau karekteristik tertentu membutuhkan pendekatan
tertentu dalam hal pendisiplinan?”. Usaha untuk menjawab rumusan masalah
tersebut, penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul “ Konsekuensi
Penerapan Disiplin Diri di Rumah Pada Anak”.
B. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang disiplin diri telah banyak dilakukan. Baik melalui
pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Tema tema yang telah diteliti antara lain
pola asuh orang tua dalam membantu anak meningkatkan disiplin diri, penelitian
tersebut dilakukan oleh Schocib (1998). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perlunya pertemuan makna antara orang tua dan anak sehingga pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anak dapat membantu anak mengembangkan disiplin diri.
Penelitian lain yang juga mengungkap tentang disiplin diri adalah penelitian yang
dilakukan oleh Widyastuti (2001) yang mengambil judul hubungan antara persepsi
pola asuh demokrasi dengan disiplin diri pada remaja. Hasil penelitiannya
menunjukkan ada hubungan yang positif antara persepsi pola asuh demokrasi dengan
disiplin diri pada remaja. Semakin baik persepsi remaja terhadap pola asuh
demokrasi, semakin baik disiplin dirinya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain bahwa pada penelitian ini
peneliti mencoba melihat konsekuensi dari penerapan disiplin diri yang diterapkan
orang tua di rumah pada anak usia SD, baik itu konsekuensi positif maupun negatif.
Hal ini dilakukan karena banyak orang tua yang memaksakan kehendak pada anak
dalam masalah pendisiplinan tanpa memperhatikan karekteristik anak. Sehingga tak
jarang disiplin yang diterapkan justru memberikan konsekuensi negatif. Di sisi lain
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sepengetahuan penulis penelitian
tentang konsekuensi penerapan disiplin diri pada anak masih sedikit dilakukan. Oleh
karena itu penelitian mengenai konsekuensi penerapan disiplin diri di rumah pada
anak yang dilakukan penulis sementara ini adalah asli.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi penerapan
disiplin diri di rumah pada anak, baik itu konsekuensi positif maupun konsekuensi
negatif.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat antara lain: