BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sampai pada periode paruh pertama tahun 1997, perekonomian
Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan
menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996 tercatat
bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pertahun dan inflasi
pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat yang rendah selama
sepuluh tahun terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung
luar negeri mencapai $ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan devisa
resmi pemerintah mencapai $ 20 juta pada bulan maret 1997 (cukup untuk
lima bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar
Amerika terpelihara pada kisaran 3-5% ( Bank Indonesia,1997)
Perekonomian Indonesia mengalami perubahan mendadak setelah pada
pertengahan tahun 1997, muncul masalah yang menghantam perdagangan
valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar valuta
asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing negara-negara
lain termasuk Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997, depresiasi riil nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut tentunya berdampak negatif terhadap
posisi neraca pembayaran. Krisis ekonomi bisa muncul sebagai dampak
negatif dari kebijakan ekonomi yang kemudian diperburuk oleh kondisi
perekonomian dunia. Pengalaman negara-negara berkembang yang mengalami
1
2
krisis ekonomi pada dekade 80-an membuktikan bahwa perubahan harga
dunia seringkali menyebabkan munculnya defisit dalam neraca pembayaran
(balance of payment) suatu negara, dan pengeluaran yang berlebihan akan
mendorong inflasi, dalam kondisi produksi juga mengalami kemacetan.
Secara teoritis, kebijakan ekonomi di negara-negara sedang
berkembang muncul karena adanya asumsi bahwa pasar gagal melaksanakan
fungsinya (market failure) sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Namun
menurut Weiss (1995), jika kebijakan pemerintah tersebut tidak diarahkan
dengan baik maka justru akan mendorong munculnya kegagalan pemerintah
(government failure).
Akibat krisis, kinerja perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
banyak yang mengalami penurunan dan dikhawatirkan akan banyak yang
mengalami kebangkrutan di masa yang akan datang. Ini dapat berarti sebagai
sebuah potensi kebangkrutan. Fakta di BEJ menunjukkan bahwa pada akhir
tahun 1997 (6 bulan sejak terjadinya krisis), sebanyak 210 perusahaan dari
279 perusahaan publik di BEJ telah mengalami penurunan laba bersih sekitar
97% dibandingkan dengan laba bersih tahun 1996. Bahkan tercatat 75 dari 210
perusahaan publik yang menyampaikan laporan keuangannya itu mengalami
rugi bersih yang cukup besar. Padahal kinerja sepanjang tahun 1997 cukup
baik dan kurs yang berlaku pada akhir tahun masih sebesar Rp. 5.875 per dolar
(Kompas, 12 Mei 1998,dalam Setyorini dan Abdul Halim,1999)
Melemahnya kinerja perusahaan publik pada waktu krisis disebabkan
banyak faktor. Di sini dapat disebutkan paling tidak dua faktor diantaranya:
3
Pertama, produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan publik banyak
menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor (import content) tinggi.
Selain itu juga disebabkan karena sebagian besar perusahaan publik di Bursa
Efek Jakarta mempunyai utang luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas).
Salah satu alat yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan yang
terjadi di masa depan adalah dengan menggunakan rasio keuangan yang
terdapat dalam laporan keuangan. Rasio keuangan diasumsikan mempunyai
kandungan informasi untuk menentukan fenomena ekonomi sehingga
bermanfaat untuk mengambil keputusan yang bersifat ekonomis. Setiap jenis
rasio keuangan mempunyai kegunaan untuk analisis yang berbeda dipandang
dari yang menggunakan dan tujuan penggunaannya (Jakarta Stock Exchange,
2001:132).
Penelitian tentang ratio keuangan sebagai prediktor kegagalan atau
kebangkrutan perusahaan pertama kali dilakukan oleh Beaver (1996) yang
menggunakan 29 rasio keuangan pada lima tahun sebelum terjadi
kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver membuat enam kelompok rasio
keuangan dan membuat univariate analysis yaitu menghubungkan tiap-tiap
rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik digunakan sebagai
prediktor. Rasio keuangan tersebut terdiri dari cash flows ratios, net income
ratios, debt to total assets ratios, likuid assets to current debt ratio, turn over
ratios, liquid assets to total assets ratios. Dari enam kelompok ratio tersebut,
Beaver menemukan bahwa rasio dari aliran kas terhadap kewajiban total
merupakan prediktor yang paling baik untuk menentukan tingkat
4
kebangkrutan perusahaan. Dengan studi ini, Beaver menemukan bahwa rasio
keuangan terbukti sangat berguna untuk prediksi kebangkrutan dan dapat
digunakan untuk membedakan secara akurat perusahaan yang akan jatuh
bangkrut dan yang tidak (Setyorini dan Abdul Halim, 2002).
Studi lain dilakukan oleh Altman (1968) telah menemukan lima rasio
keuangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan
beberapa saat sebelum perusahaan tersebut bangkrut. Kelima rasio tersebut
terdiri dari: working capital to total asset, retained earning to total asset,
earning before interst and tax to total asset, market value of equity to book
value of total debt, sales to total asset. Atlman yang juga menemukan bahwa
rasio-rasio tertentu, terutama likuiditas dan leverage, memberikan sumbangan
terbesar dalam rangka mendeteksi dan memprediksi kebangkrutan perusahaan.
Model Altman ini dikenal dengan Z-Score Model. Z-Score adalah skor yang
ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang
menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian lagi disejumlah negara
seperti United State, Japan, Jerman, Switzerland, Brazil, Australia, Inggris,
Kanada, Belanda, Perancis (Foster, 1986 :511. Dalam Wilopo,2000). Dalam
penelitian ini Altman sudah memasukkan dimensi internasional.(Altman
(1984),dalam Setyorini dan Abdul Halim, 1999).
Setyorini dan Abdul Halim (1999). Studi potensi kebangkrutan
perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta, dengan menggunakan Z-Score
Altman (1984) sebagai indikator tingkat kesehatan atau potensi kebangkrutan
5
perusahaan. Indikator Z-Score untuk seluruh sampel 38 perusahaan, apabila
dikelompokkan ke dalam kategori sehat (skor >2,9), grey area (skor antara 1,2
dan 2,9) dan bangkrut (skor < 1,2). Dengan kesimpulan adanya perbedaan potensi kebangkrutan secara signifikan antara sebelum dan pada masa krisis dan analisis Z-Score yang digunakan Altman lebih ditujukan ke sektor perbankan. Muji dan Anies meramalkan kebangkrutan perusahaan publik dengan analisis deskriminan Edward I Altman. Dengan kesimpulan meskipun deskriminan Altman dinyatakan sebagai alat prediksi untuk perusahaan perusahaan pabrikan saja. Analisis ini menunjukkan bahwa apabila digabungkan dengan rasio maka analisis diskriminan Altman dapat juga diterapkan pada industri lain sebagai sarana untuk memberikan informasi bagi pihak seperti investasi, manajemen perusahaan, kreditor dan Bapepam selaku pengawas pasar modal indonesia. Adnan dan Kurniasih (2000). Adnan dan Kurniasih menganalisis tingkat kesehatan perusahaan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan pendekatan Altman. Penelitian ini mengambil kasus pada sepuluh perusahaan go-public di indonesia yang delisted atau beku operasi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa analisis tingkat kesehatan bisa digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dua tahun sebelum perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut. Penelitian ini memperkuat hasil penelitian Altman. 6 Berdasarkan uraian diatas dan melihat dari fungsi strategis dan perkembangan perusahaan di Indonesia, maka penelitian ini mengambil judul “ANALISIS PENGGUNAAN Z-SCORE ALTMAN SEBAGAI ALAT PREDIKTOR KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK JAKARTA”. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Apakah metode Z-Score Altman dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemungkinan perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta dalam potensi bangkrut atau sehat. 2. Apakah perbedaan rata-rata rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio leverage dan rasio aktivitas pada waktu sebelum terjadi kebangkrutan dapat dipakai untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk membuktikan bahwa metode Z-Score Altman dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta. 2. Untuk mengetahui dan menguji apakah perbedaan rata-rata rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio leverege dan rasio aktivitas pada waktu sebelum terjadi kebangkrutan dapat dipakai untuk memprediksi 7 kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. D. MANFAAT PENELITIAN Dari penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaat antara lain :
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sampai pada periode paruh pertama tahun 1997, perekonomian
Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan
menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996 tercatat
bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pertahun dan inflasi
pada lima bulan pertama mampu mencapai tingkat yang rendah selama
sepuluh tahun terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung
luar negeri mencapai $ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan devisa
resmi pemerintah mencapai $ 20 juta pada bulan maret 1997 (cukup untuk
lima bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar
Amerika terpelihara pada kisaran 3-5% ( Bank Indonesia,1997)
Perekonomian Indonesia mengalami perubahan mendadak setelah pada
pertengahan tahun 1997, muncul masalah yang menghantam perdagangan
valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar valuta
asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing negara-negara
lain termasuk Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997, depresiasi riil nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut tentunya berdampak negatif terhadap
posisi neraca pembayaran. Krisis ekonomi bisa muncul sebagai dampak
negatif dari kebijakan ekonomi yang kemudian diperburuk oleh kondisi
perekonomian dunia. Pengalaman negara-negara berkembang yang mengalami
1
2
krisis ekonomi pada dekade 80-an membuktikan bahwa perubahan harga
dunia seringkali menyebabkan munculnya defisit dalam neraca pembayaran
(balance of payment) suatu negara, dan pengeluaran yang berlebihan akan
mendorong inflasi, dalam kondisi produksi juga mengalami kemacetan.
Secara teoritis, kebijakan ekonomi di negara-negara sedang
berkembang muncul karena adanya asumsi bahwa pasar gagal melaksanakan
fungsinya (market failure) sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Namun
menurut Weiss (1995), jika kebijakan pemerintah tersebut tidak diarahkan
dengan baik maka justru akan mendorong munculnya kegagalan pemerintah
(government failure).
Akibat krisis, kinerja perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
banyak yang mengalami penurunan dan dikhawatirkan akan banyak yang
mengalami kebangkrutan di masa yang akan datang. Ini dapat berarti sebagai
sebuah potensi kebangkrutan. Fakta di BEJ menunjukkan bahwa pada akhir
tahun 1997 (6 bulan sejak terjadinya krisis), sebanyak 210 perusahaan dari
279 perusahaan publik di BEJ telah mengalami penurunan laba bersih sekitar
97% dibandingkan dengan laba bersih tahun 1996. Bahkan tercatat 75 dari 210
perusahaan publik yang menyampaikan laporan keuangannya itu mengalami
rugi bersih yang cukup besar. Padahal kinerja sepanjang tahun 1997 cukup
baik dan kurs yang berlaku pada akhir tahun masih sebesar Rp. 5.875 per dolar
(Kompas, 12 Mei 1998,dalam Setyorini dan Abdul Halim,1999)
Melemahnya kinerja perusahaan publik pada waktu krisis disebabkan
banyak faktor. Di sini dapat disebutkan paling tidak dua faktor diantaranya:
3
Pertama, produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan publik banyak
menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor (import content) tinggi.
Selain itu juga disebabkan karena sebagian besar perusahaan publik di Bursa
Efek Jakarta mempunyai utang luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas).
Salah satu alat yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan yang
terjadi di masa depan adalah dengan menggunakan rasio keuangan yang
terdapat dalam laporan keuangan. Rasio keuangan diasumsikan mempunyai
kandungan informasi untuk menentukan fenomena ekonomi sehingga
bermanfaat untuk mengambil keputusan yang bersifat ekonomis. Setiap jenis
rasio keuangan mempunyai kegunaan untuk analisis yang berbeda dipandang
dari yang menggunakan dan tujuan penggunaannya (Jakarta Stock Exchange,
2001:132).
Penelitian tentang ratio keuangan sebagai prediktor kegagalan atau
kebangkrutan perusahaan pertama kali dilakukan oleh Beaver (1996) yang
menggunakan 29 rasio keuangan pada lima tahun sebelum terjadi
kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver membuat enam kelompok rasio
keuangan dan membuat univariate analysis yaitu menghubungkan tiap-tiap
rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik digunakan sebagai
prediktor. Rasio keuangan tersebut terdiri dari cash flows ratios, net income
ratios, debt to total assets ratios, likuid assets to current debt ratio, turn over
ratios, liquid assets to total assets ratios. Dari enam kelompok ratio tersebut,
Beaver menemukan bahwa rasio dari aliran kas terhadap kewajiban total
merupakan prediktor yang paling baik untuk menentukan tingkat
4
kebangkrutan perusahaan. Dengan studi ini, Beaver menemukan bahwa rasio
keuangan terbukti sangat berguna untuk prediksi kebangkrutan dan dapat
digunakan untuk membedakan secara akurat perusahaan yang akan jatuh
bangkrut dan yang tidak (Setyorini dan Abdul Halim, 2002).
Studi lain dilakukan oleh Altman (1968) telah menemukan lima rasio
keuangan yang dapat digunakan untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan
beberapa saat sebelum perusahaan tersebut bangkrut. Kelima rasio tersebut
terdiri dari: working capital to total asset, retained earning to total asset,
earning before interst and tax to total asset, market value of equity to book
value of total debt, sales to total asset. Atlman yang juga menemukan bahwa
rasio-rasio tertentu, terutama likuiditas dan leverage, memberikan sumbangan
terbesar dalam rangka mendeteksi dan memprediksi kebangkrutan perusahaan.
Model Altman ini dikenal dengan Z-Score Model. Z-Score adalah skor yang
ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang
menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian lagi disejumlah negara
seperti United State, Japan, Jerman, Switzerland, Brazil, Australia, Inggris,
Kanada, Belanda, Perancis (Foster, 1986 :511. Dalam Wilopo,2000). Dalam
penelitian ini Altman sudah memasukkan dimensi internasional.(Altman
(1984),dalam Setyorini dan Abdul Halim, 1999).
Setyorini dan Abdul Halim (1999). Studi potensi kebangkrutan
perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta, dengan menggunakan Z-Score
Altman (1984) sebagai indikator tingkat kesehatan atau potensi kebangkrutan
5
perusahaan. Indikator Z-Score untuk seluruh sampel 38 perusahaan, apabila
dikelompokkan ke dalam kategori sehat (skor >2,9), grey area (skor antara 1,2
dan 2,9) dan bangkrut (skor < 1,2). Dengan kesimpulan adanya perbedaan potensi kebangkrutan secara signifikan antara sebelum dan pada masa krisis dan analisis Z-Score yang digunakan Altman lebih ditujukan ke sektor perbankan. Muji dan Anies meramalkan kebangkrutan perusahaan publik dengan analisis deskriminan Edward I Altman. Dengan kesimpulan meskipun deskriminan Altman dinyatakan sebagai alat prediksi untuk perusahaan perusahaan pabrikan saja. Analisis ini menunjukkan bahwa apabila digabungkan dengan rasio maka analisis diskriminan Altman dapat juga diterapkan pada industri lain sebagai sarana untuk memberikan informasi bagi pihak seperti investasi, manajemen perusahaan, kreditor dan Bapepam selaku pengawas pasar modal indonesia. Adnan dan Kurniasih (2000). Adnan dan Kurniasih menganalisis tingkat kesehatan perusahaan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan pendekatan Altman. Penelitian ini mengambil kasus pada sepuluh perusahaan go-public di indonesia yang delisted atau beku operasi. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa analisis tingkat kesehatan bisa digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dua tahun sebelum perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut. Penelitian ini memperkuat hasil penelitian Altman. 6 Berdasarkan uraian diatas dan melihat dari fungsi strategis dan perkembangan perusahaan di Indonesia, maka penelitian ini mengambil judul “ANALISIS PENGGUNAAN Z-SCORE ALTMAN SEBAGAI ALAT PREDIKTOR KEBANGKRUTAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK JAKARTA”. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Apakah metode Z-Score Altman dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemungkinan perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta dalam potensi bangkrut atau sehat. 2. Apakah perbedaan rata-rata rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio leverage dan rasio aktivitas pada waktu sebelum terjadi kebangkrutan dapat dipakai untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk membuktikan bahwa metode Z-Score Altman dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta. 2. Untuk mengetahui dan menguji apakah perbedaan rata-rata rasio likuiditas, rasio profitabilitas, rasio leverege dan rasio aktivitas pada waktu sebelum terjadi kebangkrutan dapat dipakai untuk memprediksi 7 kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. D. MANFAAT PENELITIAN Dari penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaat antara lain :