BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya kompetisi dan globalisasi, setiap profesi
dituntut untuk bekerja secara profesional, yaitu dengan bertanggung jawab
untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi Undang-Undang dan
peraturan masyarakat (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997 dalam Ninuk
Retnowati, 2003:3). Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh
suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing
dalam dunia usaha sekarang ini dan masa mendatang dalam menghadapi
tantangan yang semakin berat.
Selain keahlian dan kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu profesi,
dalam menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi. Dengan
adanya etika profesi, maka tiap profesi memiliki aturan-aturan khusus yang
harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut. Etika profesi
diperlukan, agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak melanggar batas-
batas tertentu yang dapat merugikan suatu pribadi atau masyarakat luas. Etika
tersebut akan memberi batasan-batasan mengenai apa yang harus dilakukan,
dan apa yang harus dihindari oleh suatu profesi.
1
2
Etika profesi menjadi tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap suatu
profesi (Jusup, Al Haryono, 2001: 90). Apabila etika suatu profesi dilanggar,
maka harus ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
profesi tersebut. Jika tidak, maka akan mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesi tersebut akan berkurang. Sedangkan apabila suatu
profesi dijalankan berdasarkan etika profesi yang ada, maka hasilnya tidak
akan merugikan kepentingan umum dan akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesi tersebut.
Etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang meliputi
kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu (Sihwahjoeni dan
Gudono, 2000). Oleh karena konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara
tertulis atau formal dan selanjutnya disebut dengan “kode etik”. Kode etik
profesi merupakan salah satu upaya dari suatu asosiasi profesi untuk menjaga
integritas profesi tersebut agar mampu menghadapi berbagai tekanan yang
dapat muncul dari dirinya sendiri maupun pihak eksternal.
Akuntan sebagai sebuah profesi telah memiliki seperangkat kode etik
tersendiri dalam menjalankan profesinya. Kode etik merupakan norma atau
aturan yang mengatur hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara
akuntan dengan sejawatnya, serta antara profesi dengan masyarakat. Dalam
pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia mengamanatkan bahwa
setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam
melaksanakan pekerjaanya (Mulyadi, 2002:59). Dengan mempertahankan
integritas, seorang akuntan akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi.
3
Sedangkan dengan mempertahankan objektivitas, seorang akuntan akan
bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh pihak tertentu ataupun tekanan
pribadinya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997, dalam Ninuk Retnowati,
2003:5).
Apabila bertindak sesuai dengan etika, maka kepercayaan masyarakat
terhadap profesi akuntan akan meningkat. Terlebih saat ini profesi akuntan
diperlukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan yang akan masuk pasar
bursa efek wajib diaudit oleh akuntan publik. Untuk mendukung
profesionalisme akuntan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sejak tahun 1975
telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia” yang telah mengalami
revisi pada tahun 1986, tahun 1994 dan terakhir pada tahun 1998. Dalam
Mukadimah Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 1998 ditekankan pentingnya
prinsip etika bagi akuntan :
Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan
menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga
disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan
peraturan. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Akuntan Indonesia
menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik,
pemakai jasa akuntan dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar
perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen
untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan
pribadi ( Jusup, Al Haryono, 2001: 90).
Namun kenyataannya, dalam praktek sehari-hari masih banyak terjadi
pelanggaran terhadap kode etik tersebut. Berbagai pelanggaran untuk
berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan terjadi baik di
luar negeri maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri pelanggaran kode etik
4
sering dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan
pemerintah. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat
ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam
laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994, menyebutkan
adanya 21 kasus pelanggaran yang melibatkan 53 KAP (Ludigdo dan
Machfoed, 1996:15 dalam Jaka dan Ninuk, 2003). Dari hasil BPKP terhadap
82 KAP dapat diketahui selama tahun 1994 sampai dengan tahun 1997
terdapat 91,81% KAP tidak memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik,
82,39% tidak menerapkan Sistem Pengendalian Mutu, 9,93% tidak mematuhi
Kode Etik Akuntan, dan 5,26% tidak mematuhi perturan perundang-undangan.
Dan dari data terakhir (Media Akuntansi Edisi 27: 2002:5) terdapat 10 KAP
yang melakukan pelanggaran saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada
tahun 1998.
Kasus pelanggaran lainnya yang melanda perbankan Indonesia pada
tahun 2002-an. Banyak bank-bank yang dinyatakan sehat tanpa syarat oleh
akuntan publik atas laporan keuangan berdasar Standar Akuntansi Perbankan
Indonesia (SAPI), ternyata sebagian besar bank itu tidak sehat. Adanya
rekayasa laporan keuangan oleh akuntan intern yang banyak dilakukan oleh
sejumlah perusahaan go public. Menurut catatan Biro Riset Info-Bank (BIRI),
pada tahun 2002 ada 12 perusahaan go public tertangkap basah melakukan
praktek tersebut. Kasus terkhir yang masih menjadi pembicaraan hangat dalam
kasus PT Telkom dimana laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh
5
KAP Eddy Pianto ditolak oleh US SEC (United States Securities and
Exchange Commision) untuk kinerja tahun 2002 (Jaka dan Ninuk, 2003).
Di Amerika Serikat juga banyak terjadi kasus pelanggaran terhadap
etika, seperti kasus runtuhnya perusahaan raksasa Enron Corporation yang
merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Amerika Serikat telah
melibatkan KAP Arthur Andersen sebagai akuntan publik yang mengaudit
laporan keuangan perusahaan tersebut. Lima tahun terakhir perusahaan
tersebut telah diduga melebihkan neraca dan laporan keuangan. Skandal Enron
memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Andersen,
dikarenakan auditor bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi
strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron.
Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan awal tahun ini kalangan auditor
(jasa akuntan publik) mengenai industri akunting dan potensi benturan
kepentingan yang dihadapi perusahaan tersebut dalam peranannya di
masyarakat (Media Akuntansi, 2002: 17-19).
Arthur Andersen secara nyata telah melakukan pelanggaran pada prinsip
kepentingan publik, dimana sebagai Kantor Akuntan Publik yang menerima
kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi justru melakukan kebohongan
publik dengan membiarkan laporan keuangan Enron terbit. Padahal dalam
kenyataannya Enron diduga melebih-lebihkan neraca dan laporan keuangan.
Selain itu Arthur Andersen juga melanggar prinsip integritas dan obyektivitas
dimana selain mengaudit laporan keuangan Enron mereka juga berperan
sebagai konsultan bisnis mereka. Arthur Andersen juga mendiskreditkan
6
profesi akuntan publik dengan menjalankan dua posisi tersebut, dan hal
tersebut jelas melanggar prinsip perilaku profesional.
Dengan adanya berbagai pelanggaran tersebut, maka jelas bahwa Kode
Etik Akuntan selama ini kurang dipatuhi. Hal tersebut akhirnya berdampak
pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan. Agar
kepercayaan masyarakat khususnya pengguna jasa akuntan meningkat, maka
seharusnya etika yang mengatur profesi akuntan sejak dini dipahami dan
dilaksanakan secara disiplin yaitu semenjak di bangku kuliah, sehingga Kode
Etik Akuntan yang ada benar-benar dipahami untuk dilaksanakan pada praktek
kerja nantinya.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia telah
menguji secara empiris tentang persepsi etika diantara berbagai kelompok
akuntan Desriani (1983), Ludigdo dan Mas’ud Machfoed (1999), Retno
Wulandari dan Sri Sularso (2002) serta Jaka dan Ninuk (2003) menemukan
adanya perbedaan persepsi tentang etika yang signifikan diantara kelompok
akuntan. Sedangkan Sihwahjoeni dan Gudono (2002) tidak menemukan
adanya perbedaan persepsi tentang etika, antara kelompok akuntan tersebut
mempunyai persepsi yang sama tentang kode etik akuntan.
Adanya hasil penelitian yang belum konsisten, maka dalam penelitian ini
ingin menguji kembali persepsi akuntan pendidik selaku staf pengajar,
akuntan publik sebagai praktisi dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi
sebagai calon akuntan Indonesia terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
7
dalam objek dan lingkup penelitian. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari Sihwahjoeni dan Gudono (2000) yang mengadopsi
dan memodifikasi dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia untuk profesi
akuntan secara umum, yang terdiri dari lima bab dan sebelas pasal, yang
meliputi kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan
kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik. Selain Objek yang
berbeda, penelitian ini juga memperluas area survei di wilayah Surakarta dan
Yogyakarta.
Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut maka menjadi latar
belakang untuk menyusun skripsi ini dengan judul “Analisis Persepsi Akuntan
Pendidik, Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik
Ikatan Akuntan Indonesia.”
B. Perumusan Masalah
Dengan mencermati kondisi saat ini, peran akuntan di mata masyarakat
seringkali dipandang negatif. Hal tersebut dikarenakan banyak kasus yang
merugikan masyarakat secara luas seperti kasus Enron yang terjadi di Amerika
dimana KAP Arthur Andersen yang ditunjuk sebagai auditor laporan
keuangan melakukan pelanggaran berupa ikut serta dalam memanipulasi
laporan keuangan Enron Corporation agar performa klien terlihat lebih bagus
di mata investor. Padahal apabila Kode Etik Akuntan yang mengatur
mengenai pelaksanaan profesi akuntan dilaksanakan dengan tulus dan niat
yang baik maka hal tersebut tidak seharusnya terjadi.
8
Studi tentang kode etik dan pendidikan etika merupakan hal yang
penting dalam rangka pengembangan dan peningkatan peran profesi akuntan,
terutama bila dikaitkan dengan rawannya profesi ini terhadap perilaku tidak
etis dalam bisnis (Ludigdo,1999, dalam Ninuk Retnowati, 2003). Penegakan
etika profesi harus dimulai melalui pemahaman dan penghayatan dengan
kesadaran penuh sedini mungkin, yaitu sejak bangku kuliah kepada
mahasiswa akuntansi sebagai calon sarjana akuntan, sehingga mereka dapat
mengembangkan perilaku etisnya guna memelihara integritas pribadinya dan
profesinya. Apabila pemahaman akan Kode Etik Akuntan tersebut tidak
dipahami dengan baik, maka dalam melakukan praktek kerja di masyarakat
akan terjadi banyak pelanggaran.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini, masalah yang
diangkat adalah apakah terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pendidik,
akuntan publik dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia dan faktor-faktornya yang meliputi
kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan kode etik
serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empiris apakah terdapat
perbedaan persepsi terhadap Kode Etik Akuntan antara akuntan pendidik,
akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
9
1. mendukung dan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu dan dapat
memberikan suatu bukti empiris mengenai persepsi akuntan pendidik,
akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
2. memberikan masukan yang penting bagi pendidikan tinggi akuntansi di
Indonesia dalam upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Pendidikan
akuntansi sebenarnya tidak saja bertanggungjawab pada pengajaran ilmu
pengetahuan bisnis dan akuntansi kepada mahasiswanya, tetapi juga
bertanggungjawab mendidik mahasiswanya agar mempunyai kepribadian
yang utuh sebagai manusia. Hal ini selaras dengan tujuan Pendidikan
Nasional (Pasal 4 UU No.2 tahun 1989), yaitu untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3. bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan para kelompok akuntan yang
menjadi responden, untuk mengetahui seberapa jauh kode etik yang
diterapkan telah melembaga dalam diri masing-masing kelompok akuntan
tersebut, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat
10
memberikan citra profesi yang mapan dan kemahiran profesionalnya
dalam memberikan jasa kepada masyarakat yang semakin berarti.
4. memberikan tambahan pembahasan, wawasan, serta sebagai dasar untuk
penelitian selanjutnya mengenai masalah masukan Kode Etik Akuntan
guna penyempurnaan serta pelaksanaannya bagi seluruh akuntan di
Indonesia.
E. Sistematika penulisan
Sistematika dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab, yaitu :
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya kompetisi dan globalisasi, setiap profesi
dituntut untuk bekerja secara profesional, yaitu dengan bertanggung jawab
untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi Undang-Undang dan
peraturan masyarakat (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997 dalam Ninuk
Retnowati, 2003:3). Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh
suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing
dalam dunia usaha sekarang ini dan masa mendatang dalam menghadapi
tantangan yang semakin berat.
Selain keahlian dan kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu profesi,
dalam menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi. Dengan
adanya etika profesi, maka tiap profesi memiliki aturan-aturan khusus yang
harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut. Etika profesi
diperlukan, agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak melanggar batas-
batas tertentu yang dapat merugikan suatu pribadi atau masyarakat luas. Etika
tersebut akan memberi batasan-batasan mengenai apa yang harus dilakukan,
dan apa yang harus dihindari oleh suatu profesi.
1
2
Etika profesi menjadi tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap suatu
profesi (Jusup, Al Haryono, 2001: 90). Apabila etika suatu profesi dilanggar,
maka harus ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
profesi tersebut. Jika tidak, maka akan mengakibatkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesi tersebut akan berkurang. Sedangkan apabila suatu
profesi dijalankan berdasarkan etika profesi yang ada, maka hasilnya tidak
akan merugikan kepentingan umum dan akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap profesi tersebut.
Etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang meliputi
kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu (Sihwahjoeni dan
Gudono, 2000). Oleh karena konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara
tertulis atau formal dan selanjutnya disebut dengan “kode etik”. Kode etik
profesi merupakan salah satu upaya dari suatu asosiasi profesi untuk menjaga
integritas profesi tersebut agar mampu menghadapi berbagai tekanan yang
dapat muncul dari dirinya sendiri maupun pihak eksternal.
Akuntan sebagai sebuah profesi telah memiliki seperangkat kode etik
tersendiri dalam menjalankan profesinya. Kode etik merupakan norma atau
aturan yang mengatur hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara
akuntan dengan sejawatnya, serta antara profesi dengan masyarakat. Dalam
pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia mengamanatkan bahwa
setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam
melaksanakan pekerjaanya (Mulyadi, 2002:59). Dengan mempertahankan
integritas, seorang akuntan akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi.
3
Sedangkan dengan mempertahankan objektivitas, seorang akuntan akan
bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh pihak tertentu ataupun tekanan
pribadinya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997, dalam Ninuk Retnowati,
2003:5).
Apabila bertindak sesuai dengan etika, maka kepercayaan masyarakat
terhadap profesi akuntan akan meningkat. Terlebih saat ini profesi akuntan
diperlukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan yang akan masuk pasar
bursa efek wajib diaudit oleh akuntan publik. Untuk mendukung
profesionalisme akuntan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sejak tahun 1975
telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia” yang telah mengalami
revisi pada tahun 1986, tahun 1994 dan terakhir pada tahun 1998. Dalam
Mukadimah Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 1998 ditekankan pentingnya
prinsip etika bagi akuntan :
Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan
menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga
disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan
peraturan. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Akuntan Indonesia
menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik,
pemakai jasa akuntan dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar
perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen
untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan
pribadi ( Jusup, Al Haryono, 2001: 90).
Namun kenyataannya, dalam praktek sehari-hari masih banyak terjadi
pelanggaran terhadap kode etik tersebut. Berbagai pelanggaran untuk
berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan terjadi baik di
luar negeri maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri pelanggaran kode etik
4
sering dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan
pemerintah. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat
ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam
laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994, menyebutkan
adanya 21 kasus pelanggaran yang melibatkan 53 KAP (Ludigdo dan
Machfoed, 1996:15 dalam Jaka dan Ninuk, 2003). Dari hasil BPKP terhadap
82 KAP dapat diketahui selama tahun 1994 sampai dengan tahun 1997
terdapat 91,81% KAP tidak memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik,
82,39% tidak menerapkan Sistem Pengendalian Mutu, 9,93% tidak mematuhi
Kode Etik Akuntan, dan 5,26% tidak mematuhi perturan perundang-undangan.
Dan dari data terakhir (Media Akuntansi Edisi 27: 2002:5) terdapat 10 KAP
yang melakukan pelanggaran saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada
tahun 1998.
Kasus pelanggaran lainnya yang melanda perbankan Indonesia pada
tahun 2002-an. Banyak bank-bank yang dinyatakan sehat tanpa syarat oleh
akuntan publik atas laporan keuangan berdasar Standar Akuntansi Perbankan
Indonesia (SAPI), ternyata sebagian besar bank itu tidak sehat. Adanya
rekayasa laporan keuangan oleh akuntan intern yang banyak dilakukan oleh
sejumlah perusahaan go public. Menurut catatan Biro Riset Info-Bank (BIRI),
pada tahun 2002 ada 12 perusahaan go public tertangkap basah melakukan
praktek tersebut. Kasus terkhir yang masih menjadi pembicaraan hangat dalam
kasus PT Telkom dimana laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh
5
KAP Eddy Pianto ditolak oleh US SEC (United States Securities and
Exchange Commision) untuk kinerja tahun 2002 (Jaka dan Ninuk, 2003).
Di Amerika Serikat juga banyak terjadi kasus pelanggaran terhadap
etika, seperti kasus runtuhnya perusahaan raksasa Enron Corporation yang
merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Amerika Serikat telah
melibatkan KAP Arthur Andersen sebagai akuntan publik yang mengaudit
laporan keuangan perusahaan tersebut. Lima tahun terakhir perusahaan
tersebut telah diduga melebihkan neraca dan laporan keuangan. Skandal Enron
memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Andersen,
dikarenakan auditor bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi
strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron.
Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan awal tahun ini kalangan auditor
(jasa akuntan publik) mengenai industri akunting dan potensi benturan
kepentingan yang dihadapi perusahaan tersebut dalam peranannya di
masyarakat (Media Akuntansi, 2002: 17-19).
Arthur Andersen secara nyata telah melakukan pelanggaran pada prinsip
kepentingan publik, dimana sebagai Kantor Akuntan Publik yang menerima
kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi justru melakukan kebohongan
publik dengan membiarkan laporan keuangan Enron terbit. Padahal dalam
kenyataannya Enron diduga melebih-lebihkan neraca dan laporan keuangan.
Selain itu Arthur Andersen juga melanggar prinsip integritas dan obyektivitas
dimana selain mengaudit laporan keuangan Enron mereka juga berperan
sebagai konsultan bisnis mereka. Arthur Andersen juga mendiskreditkan
6
profesi akuntan publik dengan menjalankan dua posisi tersebut, dan hal
tersebut jelas melanggar prinsip perilaku profesional.
Dengan adanya berbagai pelanggaran tersebut, maka jelas bahwa Kode
Etik Akuntan selama ini kurang dipatuhi. Hal tersebut akhirnya berdampak
pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan. Agar
kepercayaan masyarakat khususnya pengguna jasa akuntan meningkat, maka
seharusnya etika yang mengatur profesi akuntan sejak dini dipahami dan
dilaksanakan secara disiplin yaitu semenjak di bangku kuliah, sehingga Kode
Etik Akuntan yang ada benar-benar dipahami untuk dilaksanakan pada praktek
kerja nantinya.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia telah
menguji secara empiris tentang persepsi etika diantara berbagai kelompok
akuntan Desriani (1983), Ludigdo dan Mas’ud Machfoed (1999), Retno
Wulandari dan Sri Sularso (2002) serta Jaka dan Ninuk (2003) menemukan
adanya perbedaan persepsi tentang etika yang signifikan diantara kelompok
akuntan. Sedangkan Sihwahjoeni dan Gudono (2002) tidak menemukan
adanya perbedaan persepsi tentang etika, antara kelompok akuntan tersebut
mempunyai persepsi yang sama tentang kode etik akuntan.
Adanya hasil penelitian yang belum konsisten, maka dalam penelitian ini
ingin menguji kembali persepsi akuntan pendidik selaku staf pengajar,
akuntan publik sebagai praktisi dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi
sebagai calon akuntan Indonesia terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan
Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
7
dalam objek dan lingkup penelitian. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari Sihwahjoeni dan Gudono (2000) yang mengadopsi
dan memodifikasi dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia untuk profesi
akuntan secara umum, yang terdiri dari lima bab dan sebelas pasal, yang
meliputi kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan
kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik. Selain Objek yang
berbeda, penelitian ini juga memperluas area survei di wilayah Surakarta dan
Yogyakarta.
Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut maka menjadi latar
belakang untuk menyusun skripsi ini dengan judul “Analisis Persepsi Akuntan
Pendidik, Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik
Ikatan Akuntan Indonesia.”
B. Perumusan Masalah
Dengan mencermati kondisi saat ini, peran akuntan di mata masyarakat
seringkali dipandang negatif. Hal tersebut dikarenakan banyak kasus yang
merugikan masyarakat secara luas seperti kasus Enron yang terjadi di Amerika
dimana KAP Arthur Andersen yang ditunjuk sebagai auditor laporan
keuangan melakukan pelanggaran berupa ikut serta dalam memanipulasi
laporan keuangan Enron Corporation agar performa klien terlihat lebih bagus
di mata investor. Padahal apabila Kode Etik Akuntan yang mengatur
mengenai pelaksanaan profesi akuntan dilaksanakan dengan tulus dan niat
yang baik maka hal tersebut tidak seharusnya terjadi.
8
Studi tentang kode etik dan pendidikan etika merupakan hal yang
penting dalam rangka pengembangan dan peningkatan peran profesi akuntan,
terutama bila dikaitkan dengan rawannya profesi ini terhadap perilaku tidak
etis dalam bisnis (Ludigdo,1999, dalam Ninuk Retnowati, 2003). Penegakan
etika profesi harus dimulai melalui pemahaman dan penghayatan dengan
kesadaran penuh sedini mungkin, yaitu sejak bangku kuliah kepada
mahasiswa akuntansi sebagai calon sarjana akuntan, sehingga mereka dapat
mengembangkan perilaku etisnya guna memelihara integritas pribadinya dan
profesinya. Apabila pemahaman akan Kode Etik Akuntan tersebut tidak
dipahami dengan baik, maka dalam melakukan praktek kerja di masyarakat
akan terjadi banyak pelanggaran.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini, masalah yang
diangkat adalah apakah terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pendidik,
akuntan publik dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia dan faktor-faktornya yang meliputi
kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan kode etik
serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empiris apakah terdapat
perbedaan persepsi terhadap Kode Etik Akuntan antara akuntan pendidik,
akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
9
1. mendukung dan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu dan dapat
memberikan suatu bukti empiris mengenai persepsi akuntan pendidik,
akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
2. memberikan masukan yang penting bagi pendidikan tinggi akuntansi di
Indonesia dalam upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Pendidikan
akuntansi sebenarnya tidak saja bertanggungjawab pada pengajaran ilmu
pengetahuan bisnis dan akuntansi kepada mahasiswanya, tetapi juga
bertanggungjawab mendidik mahasiswanya agar mempunyai kepribadian
yang utuh sebagai manusia. Hal ini selaras dengan tujuan Pendidikan
Nasional (Pasal 4 UU No.2 tahun 1989), yaitu untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3. bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan para kelompok akuntan yang
menjadi responden, untuk mengetahui seberapa jauh kode etik yang
diterapkan telah melembaga dalam diri masing-masing kelompok akuntan
tersebut, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat
10
memberikan citra profesi yang mapan dan kemahiran profesionalnya
dalam memberikan jasa kepada masyarakat yang semakin berarti.
4. memberikan tambahan pembahasan, wawasan, serta sebagai dasar untuk
penelitian selanjutnya mengenai masalah masukan Kode Etik Akuntan
guna penyempurnaan serta pelaksanaannya bagi seluruh akuntan di
Indonesia.
E. Sistematika penulisan
Sistematika dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab, yaitu :