BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia mengalami
perkembangan. Hal ini ditandai oleh semakin bertambah dan semakin lengkapnya
lembaga keuangan syariah di negeri ini, yakni dengan didirikannya pasar modal
syariah (PSM) pada 14-15 Maret 2003 lalu oleh Bapepam, Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan Self Regulatory Orgazation (SRO). Jadi yang sebelumnya hanya ada
perbankan syariah, pegadaian syariah, kini bertambah dengan hadirnya pasar modal
syariah, dan perkembangan bisnis syariah di sektor riil seperti adanya Multi Level
Marketing (MLM) syariah dan hotel syariah.
Di dunia internasional telah ada lebih dari 300 Bank Syariah dan
lembaga keuangan syariah lainnya yang tersebar di 75 negara dengan asset yang
dikelola mencapai US $ 200 juta. Perkembangan di tingkat internasional ini
didukung oleh adanya infrastruktur-infrastruktur yang di antaranya: (1)
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), (2) The Islamic Financial Service Board (IFSB), (3) The
International Islamic Financial Market (IIFM), (4) The International Islamic
Rating Agency (IIRA), dan (5) The General Council of Islamic Banks and
Financial Institutions (GCIBFI). Saat ini di Indonesia telah ada 2 Bank Umum
Syariah, 8 Unit Usaha Syariah (Bank Konvensional yang membuka window
syariah –red) dan 84 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan
dukungan kantor 340 kantor (Abdullah, 2004).
1
2
Secara informal, industri keuangan syariah kita telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan
syariah. Sebelum tahun 1992, telah didirikan badan usaha pembiayaan non-bank
dengan prinsip bagi hasil pada operasinya. Baru pada tahun 1992, pemerintah
memberikan ruang bagi terbentuknya sistem perbankan yang sesuai dengan prinsip
syariah (yaitu bagi hasil sebagai dasar operasi) yang dimasukkan ke dalam undang-
undang no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara rinci dijabarkan dalam
peraturan pemerintah no. 72 tahun 1992 tentang bank berdasar prinsip bagi hasil.
Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum
beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem
perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia.
Pada tahun 1992 dibentuk bank umum syariah pertama yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) sebagai satu-satunya bank yang beroperasi dengan
prinsip syariah. Selama kurun waktu 1992 sampai dengan 1998 hanya terdapat satu
bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) (BI,2002).
Industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama
setelah dikeluarkannya UU. No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU. No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi
keberadaan sistem perbankan syariah dan UU. No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk
mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Untuk
lebih meluaskan dan memudahkan pembukaan bank syariah, Bank Indonesia
mengeluarkan peraturan No. 4/I/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan
3
Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional. Dengan adanya perangkat peraturan perundang-undangan
tersebut, diperkirakan perkembangan bank syariah akan terus mengalami
peningkatan. Hal ini ditandai seiring dengan meningkatnya aset dan jumlah
jaringan kantor.
Seperti apa yang dikutip Budi (2003), Menurut data Biro Perbankan
Syariah Bank Indonesia sampai Juni 2003, aset perbankan syariah telah mencapai Rp
5,37391 triliun. Jika aset perbankan syariah pada September 2002 hanya mencapai
Rp 3,66983 triliun, berarti terjadi peningkatan aset sebesar Rp 1,70408 triliun
(46,43%) dalam kurun waktu 9 bulan. Menurut data Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia sampai Juni 2003, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 5,37391
triliun. Jika aset perbankan syariah pada September 2002 hanya mencapai Rp
3,66983 triliun, berarti terjadi peningkatan aset sebesar Rp 1,70408 triliun (46,43%)
dalam kurun waktu 9 bulan. Total asset perbankan syariah sendiri hingga bulan
Oktober 2003 telah mengalami pertumbuhan sebesar 67% sehingga telah
meningkatkan pangsa perbankan syariah terhadap perbankan nasional dari 0,36%
pada akhir tahun 2002 menjadi 0,54% (Abdullah, 2004).
Dalam mengembangkan sistem perbankan syariah tersebut, Bank
Indonesia sebagai bank sentral telah melakukan berbagai kajian , membuat
ketentuan, dan menyempurnakan sistem pengawasan bank syariah. Sistem
pengawasan yang dikembangkan adalah yang dapat mendorong bank syariah untuk
patuh kepada prinsip syariah, ketentuan kehati-hatian, beroperasi secara efisien, serta
memiliki daya saing.
4
Untuk mengantisipasi perkembangan perbankan syariah ke depan, Bank
Indonesia telah menyusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia
pada tahun 2002. Keberadaan Cetak Biru tersebut diharapkan mampu menjadi
panduan bagi Bank Indonesia maupun stakeholders perbankan syariah lainnya dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Visi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Cetak Biru tersebut adalah
terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi
prinsip kehati-hatian yang mampu medukung sektor riil secara nyata melalui
pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong-
menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemashlahatan masyarakat.
Di dalam Cetak Biru tersebut Bank Indonesia menetapkan target market
share perbankan syariah pada tahun 2011 ‘baru’ akan mencapai 5%, banyak praktisi
perbankan syariah mengatakan kalau Bank Indonesia terlalu pesimistis (Dewi,2003).
Menurut Karim, target tersebut akan tercapai lebih cepat karena pertama,
pertumbuhan perbankan syariah yang masih terus berkembang bukanlah generic
growth tapi exponensial growth. Bahwa masih akan ada bank syariah baru di
Indonesia. Sedangkan bank-bank syariah yang sudah existing pertumbuhannya lebih
cepat daripada pertumbuhan perbankan konvensional yaitu mencapai 53%. Kedua,
adalah masuknya pemain-pemain asing yang tentu akan memicu produk-produk baru
bermunculan di perbankan syariah, yang kemudian akan meningkatkan demand
masyarakat terhadap bank syariah. Ketiga, ada semacam antisipasi dari bank-bank
yang sudah besar dengan membuka window syariah, teorinya, selain ekspansi juga
proteksi.
5
Seiring dengan perkembangan praktik bisnis syariah tersebut, maka
diperlukan suatu perangkat yang dapat memperlancar proses dan transaksi bisnis
tersebut. Perangkat inilah yang kemudian disebut akuntansi.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi,
terutama dalam menerima simpanan, bank syariah mengaplikasikan prinsip
mudharabah. Dalam prinsip ini penyimpan atau deposan bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan, yang hasilnya akan
dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam mudharabah, prinsip yang
dipakai adalah jika investasi mengalami kerugian, maka akan ditanggung oleh
shahibul maal dalam hal ini adalah penyimpan atau deposan. Oleh karenanya
dalam penyajian dana pihak ketiga yang menggunakan prinsip mudharabah di
neraca-yaitu di pasiva adalah sebagai investasi tidak terikat, bukan sebagai
kewajiban (liability) dalam pengertian wajib dikembalikan dalam kondisi
apapun.
Pengertian akun investasi tidak terikat menunjukkan bank secara bebas
dapat dapat melakukan investasi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah.
Sedangkan pada sisi lain terdapat akun investasi terikat yang tidak dicatat sebagai
bagian dari pasiva tetapi dicatat sebagai off balance sheet yang berbentuk laporan
perubahan dana investasi terikat.
Pada bank syariah terdapat produk atau jasa yang tidak akan ditemukan
dalam operasi bank konvensional, seperti musyarakah, mudharabah, murabahah,
salam, istishna, dan lain sebagainya.
6
Seperti apa yang dikutip Budi, Ahmad (2003) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa karena adanya perbedaan dalam hal produk dan jasa,
maka standar dan laporan keuangan antara bank konvensional dan bank syariah
harus berbeda. Perbedaan dalam produk dan jasa tersebut memunculkan
perbedaan dalam perlakuan akuntansi. Hal ini dapat dilihat pada simpanan.
Dalam konteks akuntansi bank konvensional, simpanan akan diperlakukan
sebagai utang ‘murni’ bank (sisi liability), sehingga akan muncul dalam
kelompok utang atau kewajiban jangka pendek. Sedangkan simpanan
mudharabah pada bank syariah pada hakikatnya mempunyai posisi antara
‘utang’ (liability) dan ‘modal’ (equity). Hal ini disebabkan bank syariah tidak
mempunyai kewajiban ‘penuh’ mengembalikan simpanan mudharabah tersebut
manakala terjadi kerugian.
Perbedaan lainnya mengenai perlakuan akuntansi dalam simpanan
mudharabah adalah bagi hasil mudharabah. Dalam akuntansi bank konvensional,
bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah dikategorikan sebagai beban atau
expense, akan tetapi dalam bank syariah tidak diakui sebagai beban, karena prinsip
mudharabah sebenarnya lebih menyerupai equity daripada liability.
Bank Indonesia (2003) menyatakan bahwa fungsi bank syariah adalah
sebagai (a) manajer investasi, (b) investor, (c) penyedia jasa keuangan dan lalu-lintas
pembayaran, dan (d) pengemban fungsi sosial. Oleh karena itu, laporan keuangan
bank syariah selain ditujukan untuk pemakai yang sama seperti pemakai laporan
keuangan bank konvensional juga ditujukan untuk investor, pembayaran zakat, infaq,
dan sadaqah serta Dewan Pengawas Syariah.
7
Pada tanggal 1 Mei 2002 Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) telah mengesahkan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berlaku
mulai 1 Januari 2003. PSAK No. 59 ini merupakan langkah maju bagi: (1) IAI
sebagai lembaga profesional yang memiliki otoritas untuk menerbitkan standar
akuntansi keuangan, dan (2) dunia perbankan syariah di Indonesia yang mulai
eksis sejak tahun 1992 (Triyuwono, 2002). Dengan adanya PSAK No. 59 ini,
perbankan syariah akan sangat terbantu dalam meyiapkan dan menyusun laporan
keuangan. Sebelum standar ini ada, perbankan syariah menggunakan standar
akuntansi keuangan untuk perbankan konvensional yaitu PSAK No. 31 yang
tentunya kurang sesuai untuk digunakan oleh perbankan syariah.
Bank syariah harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat
dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks
syariah Islam, karena penyajian informasi semacam itu penting bagi proses
pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank
syariah dan akan memiliki dampak positif terhadap distribusi sumber-sumber
ekonomi untuk kepentingan masyarakat. Untuk mendorong individu
menginvestasikan dananya melalui bank syariah, individu-individu tersebut harus
terlebih dahulu percaya bahwa bank syariah mampu merealisasikan tujuan-tujuan
investasinya. Salah satu prasyarat pengembangan kepercayaan itu adalah
ketersediaan informasi. Di antara sumber-sumber informasi yang penting adalah
laporan keuangan bank syariah yang di siapkan sesuai dengan standar yang
berlaku.
8
Penelitian ini merupakan pengulangan dari penelitian Budi (2003)
tentang perbandingan penyajian laporan keuangan bank syariah sebelum dan
sesudah adanya PSAK No. 59 dengan mengambil obyek dua buah bank umum
syariah yang memiliki aset terbesar, yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia dan
PT. Bank Syariah Mandiri. Penulis mencoba mengulang penelitian tersebut
karena penggunaan PSAK No. 59 ini baru digunakan untuk kedua kalinya
setelah ditetapkan IAI pada 1 Mei 2002 lalu dan efektif digunakan pada 1
Januari 2003.
Dari uraian tersebut di atas, penulis mencoba merumuskan penelitian
yang membahas tentang bagaimana penyajian laporan keuangan bank syariah
setelah adanya PSAK No. 59 dengan judul : “EVALUASI PENYAJIAN
LAPORAN
KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DIDASARKAN PSAK NO 59 (Studi Kasus pada Bank Muamalat Indonesia)”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas penulis merumuskan masalah apakah bank-
bank umum syariah menyajikan laporan keuangannya, telah sesuai dengan PSAK
No. 59 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
PENDAHULUAN
Perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia mengalami
perkembangan. Hal ini ditandai oleh semakin bertambah dan semakin lengkapnya
lembaga keuangan syariah di negeri ini, yakni dengan didirikannya pasar modal
syariah (PSM) pada 14-15 Maret 2003 lalu oleh Bapepam, Dewan Syariah Nasional
(DSN) dan Self Regulatory Orgazation (SRO). Jadi yang sebelumnya hanya ada
perbankan syariah, pegadaian syariah, kini bertambah dengan hadirnya pasar modal
syariah, dan perkembangan bisnis syariah di sektor riil seperti adanya Multi Level
Marketing (MLM) syariah dan hotel syariah.
Di dunia internasional telah ada lebih dari 300 Bank Syariah dan
lembaga keuangan syariah lainnya yang tersebar di 75 negara dengan asset yang
dikelola mencapai US $ 200 juta. Perkembangan di tingkat internasional ini
didukung oleh adanya infrastruktur-infrastruktur yang di antaranya: (1)
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), (2) The Islamic Financial Service Board (IFSB), (3) The
International Islamic Financial Market (IIFM), (4) The International Islamic
Rating Agency (IIRA), dan (5) The General Council of Islamic Banks and
Financial Institutions (GCIBFI). Saat ini di Indonesia telah ada 2 Bank Umum
Syariah, 8 Unit Usaha Syariah (Bank Konvensional yang membuka window
syariah –red) dan 84 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dengan
dukungan kantor 340 kantor (Abdullah, 2004).
1
2
Secara informal, industri keuangan syariah kita telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan
syariah. Sebelum tahun 1992, telah didirikan badan usaha pembiayaan non-bank
dengan prinsip bagi hasil pada operasinya. Baru pada tahun 1992, pemerintah
memberikan ruang bagi terbentuknya sistem perbankan yang sesuai dengan prinsip
syariah (yaitu bagi hasil sebagai dasar operasi) yang dimasukkan ke dalam undang-
undang no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang secara rinci dijabarkan dalam
peraturan pemerintah no. 72 tahun 1992 tentang bank berdasar prinsip bagi hasil.
Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum
beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai dimulainya era sistem
perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia.
Pada tahun 1992 dibentuk bank umum syariah pertama yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) sebagai satu-satunya bank yang beroperasi dengan
prinsip syariah. Selama kurun waktu 1992 sampai dengan 1998 hanya terdapat satu
bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) (BI,2002).
Industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang relatif pesat terutama
setelah dikeluarkannya UU. No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU. No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi
keberadaan sistem perbankan syariah dan UU. No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk
mengakomodasi prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Untuk
lebih meluaskan dan memudahkan pembukaan bank syariah, Bank Indonesia
mengeluarkan peraturan No. 4/I/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan
3
Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional. Dengan adanya perangkat peraturan perundang-undangan
tersebut, diperkirakan perkembangan bank syariah akan terus mengalami
peningkatan. Hal ini ditandai seiring dengan meningkatnya aset dan jumlah
jaringan kantor.
Seperti apa yang dikutip Budi (2003), Menurut data Biro Perbankan
Syariah Bank Indonesia sampai Juni 2003, aset perbankan syariah telah mencapai Rp
5,37391 triliun. Jika aset perbankan syariah pada September 2002 hanya mencapai
Rp 3,66983 triliun, berarti terjadi peningkatan aset sebesar Rp 1,70408 triliun
(46,43%) dalam kurun waktu 9 bulan. Menurut data Biro Perbankan Syariah Bank
Indonesia sampai Juni 2003, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 5,37391
triliun. Jika aset perbankan syariah pada September 2002 hanya mencapai Rp
3,66983 triliun, berarti terjadi peningkatan aset sebesar Rp 1,70408 triliun (46,43%)
dalam kurun waktu 9 bulan. Total asset perbankan syariah sendiri hingga bulan
Oktober 2003 telah mengalami pertumbuhan sebesar 67% sehingga telah
meningkatkan pangsa perbankan syariah terhadap perbankan nasional dari 0,36%
pada akhir tahun 2002 menjadi 0,54% (Abdullah, 2004).
Dalam mengembangkan sistem perbankan syariah tersebut, Bank
Indonesia sebagai bank sentral telah melakukan berbagai kajian , membuat
ketentuan, dan menyempurnakan sistem pengawasan bank syariah. Sistem
pengawasan yang dikembangkan adalah yang dapat mendorong bank syariah untuk
patuh kepada prinsip syariah, ketentuan kehati-hatian, beroperasi secara efisien, serta
memiliki daya saing.
4
Untuk mengantisipasi perkembangan perbankan syariah ke depan, Bank
Indonesia telah menyusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia
pada tahun 2002. Keberadaan Cetak Biru tersebut diharapkan mampu menjadi
panduan bagi Bank Indonesia maupun stakeholders perbankan syariah lainnya dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Visi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Cetak Biru tersebut adalah
terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi
prinsip kehati-hatian yang mampu medukung sektor riil secara nyata melalui
pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong-
menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemashlahatan masyarakat.
Di dalam Cetak Biru tersebut Bank Indonesia menetapkan target market
share perbankan syariah pada tahun 2011 ‘baru’ akan mencapai 5%, banyak praktisi
perbankan syariah mengatakan kalau Bank Indonesia terlalu pesimistis (Dewi,2003).
Menurut Karim, target tersebut akan tercapai lebih cepat karena pertama,
pertumbuhan perbankan syariah yang masih terus berkembang bukanlah generic
growth tapi exponensial growth. Bahwa masih akan ada bank syariah baru di
Indonesia. Sedangkan bank-bank syariah yang sudah existing pertumbuhannya lebih
cepat daripada pertumbuhan perbankan konvensional yaitu mencapai 53%. Kedua,
adalah masuknya pemain-pemain asing yang tentu akan memicu produk-produk baru
bermunculan di perbankan syariah, yang kemudian akan meningkatkan demand
masyarakat terhadap bank syariah. Ketiga, ada semacam antisipasi dari bank-bank
yang sudah besar dengan membuka window syariah, teorinya, selain ekspansi juga
proteksi.
5
Seiring dengan perkembangan praktik bisnis syariah tersebut, maka
diperlukan suatu perangkat yang dapat memperlancar proses dan transaksi bisnis
tersebut. Perangkat inilah yang kemudian disebut akuntansi.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi,
terutama dalam menerima simpanan, bank syariah mengaplikasikan prinsip
mudharabah. Dalam prinsip ini penyimpan atau deposan bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan, yang hasilnya akan
dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam mudharabah, prinsip yang
dipakai adalah jika investasi mengalami kerugian, maka akan ditanggung oleh
shahibul maal dalam hal ini adalah penyimpan atau deposan. Oleh karenanya
dalam penyajian dana pihak ketiga yang menggunakan prinsip mudharabah di
neraca-yaitu di pasiva adalah sebagai investasi tidak terikat, bukan sebagai
kewajiban (liability) dalam pengertian wajib dikembalikan dalam kondisi
apapun.
Pengertian akun investasi tidak terikat menunjukkan bank secara bebas
dapat dapat melakukan investasi sepanjang tidak bertentangan dengan syariah.
Sedangkan pada sisi lain terdapat akun investasi terikat yang tidak dicatat sebagai
bagian dari pasiva tetapi dicatat sebagai off balance sheet yang berbentuk laporan
perubahan dana investasi terikat.
Pada bank syariah terdapat produk atau jasa yang tidak akan ditemukan
dalam operasi bank konvensional, seperti musyarakah, mudharabah, murabahah,
salam, istishna, dan lain sebagainya.
6
Seperti apa yang dikutip Budi, Ahmad (2003) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa karena adanya perbedaan dalam hal produk dan jasa,
maka standar dan laporan keuangan antara bank konvensional dan bank syariah
harus berbeda. Perbedaan dalam produk dan jasa tersebut memunculkan
perbedaan dalam perlakuan akuntansi. Hal ini dapat dilihat pada simpanan.
Dalam konteks akuntansi bank konvensional, simpanan akan diperlakukan
sebagai utang ‘murni’ bank (sisi liability), sehingga akan muncul dalam
kelompok utang atau kewajiban jangka pendek. Sedangkan simpanan
mudharabah pada bank syariah pada hakikatnya mempunyai posisi antara
‘utang’ (liability) dan ‘modal’ (equity). Hal ini disebabkan bank syariah tidak
mempunyai kewajiban ‘penuh’ mengembalikan simpanan mudharabah tersebut
manakala terjadi kerugian.
Perbedaan lainnya mengenai perlakuan akuntansi dalam simpanan
mudharabah adalah bagi hasil mudharabah. Dalam akuntansi bank konvensional,
bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah dikategorikan sebagai beban atau
expense, akan tetapi dalam bank syariah tidak diakui sebagai beban, karena prinsip
mudharabah sebenarnya lebih menyerupai equity daripada liability.
Bank Indonesia (2003) menyatakan bahwa fungsi bank syariah adalah
sebagai (a) manajer investasi, (b) investor, (c) penyedia jasa keuangan dan lalu-lintas
pembayaran, dan (d) pengemban fungsi sosial. Oleh karena itu, laporan keuangan
bank syariah selain ditujukan untuk pemakai yang sama seperti pemakai laporan
keuangan bank konvensional juga ditujukan untuk investor, pembayaran zakat, infaq,
dan sadaqah serta Dewan Pengawas Syariah.
7
Pada tanggal 1 Mei 2002 Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) telah mengesahkan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah yang berlaku
mulai 1 Januari 2003. PSAK No. 59 ini merupakan langkah maju bagi: (1) IAI
sebagai lembaga profesional yang memiliki otoritas untuk menerbitkan standar
akuntansi keuangan, dan (2) dunia perbankan syariah di Indonesia yang mulai
eksis sejak tahun 1992 (Triyuwono, 2002). Dengan adanya PSAK No. 59 ini,
perbankan syariah akan sangat terbantu dalam meyiapkan dan menyusun laporan
keuangan. Sebelum standar ini ada, perbankan syariah menggunakan standar
akuntansi keuangan untuk perbankan konvensional yaitu PSAK No. 31 yang
tentunya kurang sesuai untuk digunakan oleh perbankan syariah.
Bank syariah harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat
dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks
syariah Islam, karena penyajian informasi semacam itu penting bagi proses
pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank
syariah dan akan memiliki dampak positif terhadap distribusi sumber-sumber
ekonomi untuk kepentingan masyarakat. Untuk mendorong individu
menginvestasikan dananya melalui bank syariah, individu-individu tersebut harus
terlebih dahulu percaya bahwa bank syariah mampu merealisasikan tujuan-tujuan
investasinya. Salah satu prasyarat pengembangan kepercayaan itu adalah
ketersediaan informasi. Di antara sumber-sumber informasi yang penting adalah
laporan keuangan bank syariah yang di siapkan sesuai dengan standar yang
berlaku.
8
Penelitian ini merupakan pengulangan dari penelitian Budi (2003)
tentang perbandingan penyajian laporan keuangan bank syariah sebelum dan
sesudah adanya PSAK No. 59 dengan mengambil obyek dua buah bank umum
syariah yang memiliki aset terbesar, yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia dan
PT. Bank Syariah Mandiri. Penulis mencoba mengulang penelitian tersebut
karena penggunaan PSAK No. 59 ini baru digunakan untuk kedua kalinya
setelah ditetapkan IAI pada 1 Mei 2002 lalu dan efektif digunakan pada 1
Januari 2003.
Dari uraian tersebut di atas, penulis mencoba merumuskan penelitian
yang membahas tentang bagaimana penyajian laporan keuangan bank syariah
setelah adanya PSAK No. 59 dengan judul : “EVALUASI PENYAJIAN
LAPORAN
KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
DIDASARKAN PSAK NO 59 (Studi Kasus pada Bank Muamalat Indonesia)”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas penulis merumuskan masalah apakah bank-
bank umum syariah menyajikan laporan keuangannya, telah sesuai dengan PSAK
No. 59 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah