BAB I
PENDAHULUAN
Dunia bisnis modern dan liberalisasi perdagangan telah memasuki era
keemasan ditandai oleh maraknya dunia perdagangan dunia dengan
beranekaragam komoditi perdagangan. Adanya kemajuan diberbagai bidang
seperti ilmu pengetahuan, teknologi, telekomunikasi, teknologi informasi,
jaringan transportasi dan sektor-sektor kehidupan lainnya menyebabkan arus
informasi semakin mudah dan lancar, mengalir antar individu dan atau
kelompok dunia sudah terasa ibarat sebuah dusun global (global village),
batas-batas geografis maupun negara sudah tidak lagi signifikan. Hal ini
memungkinkan manusia untuk mencapai taraf hidup yang serba modern,
canggih, serta cepat dan multi dimensi. Akibatnya konsumen semakin terdidik
banyak menuntut dan memiliki posisi tawar menawar (bargaining positions)
yang semakin kuat.
Berkembangnya perekonomian global dapat dilihat dengan berbagai
karakteristik, seperti perdagangan barang jauh lebih pesat apabila
dibandingkan produksi dana. Selain itu, perpindahan modal (investasi
langsung asing) juga berkembang lebih cepat dari pada perdagangan barang;
semakin terbukanya, berbagai perekonomian nasional, seperti RRC negara-
negara di kawasan Eropa Timur dan Rusia; serta pemulihan ekonomi
1
2
berkembang yang sebelumnya terkena krisis ekonomi (terutama di kawasan
Asia), dilihat dari berbagai karakteristik di atas, maka kesiapan dunia usaha
dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat haruslah didukung oleh
adanya sumber-sumber informasi akuntansi yang dapat diandalkan, dimana
informasi keuangan menjadi dasar pengambilan keputusan operasional dan
strategi yang penting.
Sekarang ini masyarakat sudah tidak lagi memandang sebelah mata atau
beranggapan bahwa retail business hanya sekedar “berjualan barang
kelontong”, tetapi ia telah berkembang menjadi departemen store yang
berukuran besar. Hal tersebut merupakan proses perubahan retailing yang
selalu berkembang dari waktu ke waktu, yang semula bermula dari usaha
eceran kecil-kecilan. Maka diantara sekian banyak industri lainnya, industri
retailing (eceran) telah mencapai tingkatan yang sedemikian kompleks dan
dinamis. Manajemen eceran merupakan salah satu arena manajemen yang
rumit dan penuh tantangan.
Usaha eceran atau bisnis perdagangan eceran adalah usaha yang banyak
dilakukan orang yang memiliki modal. Hal itu merupakan tuntutan masyarakat
yang menginginkan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan kebutuhan
lainnya serta sebagai media promosi bagi para pedagang dan pabrikan.
Persaingan bisnis retail kini semakin besar. Indikasinya, terlihat dari retail
3
yang didirikan dengan berbagai strategi yang dilakukan dengan tujuan untuk
memikat serta memberikan kemudahan bagi konsumen. Hal tersebut
dikarenakan kebutuhan dan keinginan mereka semakin berkembang dan
semakin kompleks. Menurut Gregorius Chandra (2001) mereka menuntut
enam hal sekaligus, yaitu:
1. Produk berkualitas tinggi (high quality)
2. Harga yang wajar (fair price)
3. Penyerahan produk yang cepat (fast delivery)
4. Layanan khusus (special service)
5. Produk yang memiliki tingkat fleksibilitas tinggi (high flexibility)
6. Akrab dengan pemakai (user friendly)
Peranan pengecer dalam aliran barang dan jasa dari produsen sampai
ke tangan konsumen menempati posisi yang sangat penting dalam arti
menempati ujung tombak utama kegiatan distribusi barang dan jasa karena
langsung berhadapan dengan konsumen. Mengacu pada pendapat (Philip
Kotler, 1994: 660), bahwa usaha eceran meliputi semua bentuk distribusi
barang dan jasa yang langsung ke tangan konsumen. Sesungguhnya bisnis
usaha meliputi ruang lingkup yang sangat luas karena kebutuhan manusia
yang selalu berkembang dan semakin kompleks.
4
Fakta yang ada tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan utama dari
perusahaan bisnis adalah perolehan laba (Cerepak dan Taylor, 1987:9). Selain
sebagai target utama laba juga prediktor yang akurat apakah usaha yang
dijalankan mampu bertahan dalam jangka panjang, layak untuk dipertahankan
dan juga sebagai bahan pertimbangan dalam meneliti dan menilai bidang
usaha yang dijalankan merupakan lahan terbaik untuk berwirausaha. Hal ini
terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati Winarsih (1998)
terhadap perusahaan kecil, disimpulkan bahwa pengendalian atas laba dapat
dipergunakan untuk pengangguran bagi perusahaan kecil yang baru berdiri
sehingga dengan modal yang terbatas dapat beroperasi dalam kapasitas penuh.
Laba bersih (net income) akan nampak pada laporan laba rugi yang
merupakan bagian dari laporan keuangan, selain neraca dan laporan perubahan
modal. Nilai perolehan laba bersih tidak akan lepas dari metode yang
digunakan dalam penilaian dan pengakuan atas pencatatan transaksi adalah
dengan dasar kas (cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Pemilihan
salah satu diantara kedua metode tersebut akan menimbulkan dampak yang
berbeda bagi bobot laporan keuangan yang dihasilkan. Dasar kas umumnya
digunakan bagi perusahaan kecil, perusahaan perorangan dan bagi profesi
tertentu. Sedangkan dasar akrual menggunakan dua prinsip akuntansi, yaitu
prinsip realisasi penerimaan dan prinsip mempertemukan. Pembahasan lebih
lanjut mengenai kedua metode tersebut akan disajikan pada bab berikutnya.
5
Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti Setyaningsih (1998)
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Laba dan arus kas merupakan prediktor yang signifikan untuk laba dan
arus kas mendatang.
2. Laba berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan arus kas terhadap laba
mendatang.
3. Laba dan arus kas prediktor yang valid dan efisien untuk laba mendatang.
Perusahaan eceran yang terdapat di daerah Sragen pada umumnya
merupakan perusahaan kecil berbentuk perusahaan perseorangan di bawah
binaan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal
(Diperindagkop dan Pendal) Sragen menurut data yang diperoleh dari Kantor
Diperindagkop dan Pendal, perusahaan eceran di Daerah Sragen dikelola
langsung oleh pemiliknya, dan ada juga yang dipercayakan kepada orang lain,
dengan masa kerja, serta tingkat pendidikan.
Untuk daerah Sragen dengan dasar penggolongan Peraturan Daerah
Nomor 9 tahun 2003 tentang Ijin Usaha Industri, Ijin Usaha Perdagangan dan
Tanda Daftar Gudang ke dalam 3 kelompok, yaitu: perusahaan eceran kecil,
perusahaan eceran menengah, dan perusahaan eceran besar. Dasar yang
digunakan dalam melakukan pengelompokan adalah besarnya modal yang
diinvestasikan dalam mendirikan perusahaan eceran. Perusahaan dengan
modal antara Rp 0 – Rp 200 juta merupakan perusahaan eceran kecil.
6
Perusahaan eceran menengah dengan modal antara Rp 200 juta – Rp 500 juta.
Sedangkan perusahaan dalam kategori perusahaan eceran besar adalah yang
memiliki modal di atas Rp 500 juta.
Peranan pemerintah bagi dunia usaha eceran adalah sebagai pembina,
dalam arti membuat seperangkat peraturan untuk mengatur keberadaan usaha
eceran dalam rangka memajukan ke hadapan dunia usaha eceran. Sementara
bagi para pengecer sendiri juga perlu memahami segala seluk beluk usaha
eceran, sehingga investasi yang dilakukan tidak sia-sia.
Pemilihan daerah Sragen sebagai lokasi penelitian didasari oleh fakta
bahwa daerah Sragen yang merupakan kota kecil merupakan sebuah wilayah
yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya. Sragen relatif
lebih pesat dibandingkan daerah dati dua disekitarnya. Padahal sebenarnya
Sragen hanya terdiri dari 20 kecamatan ini, sama sekali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat dibanggakan. Kehidupan Kota Sragen sangat ditopang
limpahan rezeki dari dinamika pembangunan dan perkembangan ekonomi
daerah sekitarnya.
Kota Sragen dengan luas 54.632 yang berpenduduk 860.932 jiwa,
perdagangan tumbuh subur. Dimana terdapat 243 pengusaha eceran yang
melakukan kegiatan usaha di wilayah Kota Sragen dan tercatat di
Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen dengan menyerap tenaga kerja dari
7
berbagai latar belakang yang berbeda dari sisi pendidikan, pengalaman kerja
dan latar belakang ekonomi (BPS Sragen, 2003). Jumlah tersebut diperkirakan
hanyalah sekitar 35% dari seluruh pedagang eceran yang ada di Kota Solo.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pedagang eceran sesungguhnya
yang ada tetapi tidak tercatat di kantor Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen
adalah lebih banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Sragen tahun
2003, dari sektor perdagangan dan jasa telah memberikan kontribusi terbesar
sebesar 35,05% terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB).
Sementara dari sektor pertanian 29,63%, sektor keuangan 10,90%, sektor
angkutan 10,60%, sektor industri 10,45%, sektor listrik dan air 1,68%, sektor
bangunan sebesar 1,65% dan terakhir dari sektor galian sebesar 0,06%. Maka,
dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terlihat bahwa
sektor perdagangan dan jasa menempati posisi penting perkembangan
ekonomi di Kota Sragen.
Obyek penelitian ini adalah perusahaan eceran dengan kategori besar,
dengan pertimbangan bahwa usaha eceran di Kota Sragen memiliki prospek
yang cerah dimasa yang akan datang sebagai “ujung tombak” perekonomian
Kota Sragen.
8
Dikarenakan Kota Sragen yang merupakan kota kecil adalah sebuah
wilayah yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya Sragen
realatif lebih pesat dibandingkan dati dua disekitarnya.
Dengan prospek yang cerah dimasa yang akan datang, maka terbuka
peluang khususnya bagi perusahaan eceran untuk memperbesar dan
memperluas usahanya. Perluasan usaha dan penambahan modal mutlak
memerlukan bekal pemahaman yang memadai mengenai akuntansi yang baik
dan benar mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Secara statistik telah dibuktikan oleh para peneliti terdahulu
sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa informasi akuntansi yang akurat
mengenai laba bermanfaat sebagai pertimbangan dalam pengambilan
keputusan oleh para analis, investor, dan manajemen untuk mengetahui
prospek kinerja suatu perusahaan satu tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan
penanganan yang baik dan benar didalam melakukan perhitungan laba, baik
mengenai tenaga operasional, sistem akuntansi yang dipakai, maupun metode
dan asumsi yang digunakan. Fakta menunjukkan bahwa sebelum semua
prinsip akuntansi diterapkan atau dipahami oleh penyusun laporan keuangan.
Berdasar berbagai ungkapan di atas dan penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh Muhammad Mustain (2000) tentang pemahaman para
pengelola bisnis eceran besar terhadap penghitungan laba bersih di daerah
9
Salatiga. Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu terdapat hubungan yang
signifikan antara status kepemilikan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,
latar belakang pendidikan, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan
administrasi dan pembukuan, serta konsultasi ke Kantor Akuntan Publik
(KAP) dengan pemahaman pengelolaan bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian
sebelumnya adalah obyek yang diteliti dan tahun penelitian. Penelitian
sebelumnya di daerah Salatiga pada tahun 2000 sedangkan penelitian sekarang
di daerah kota Sragen pada tahun 2004. Maka penulis tertarik untuk
melakukan replikasi penelitian tersebut dengan judul “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pemahaman Pengelola Bisnis Eceran Besar Terhadap
Penghitungan Laba Bersih (Survey pada Perusahaan Eceran Besar di Daerah
Sragen”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang penulis ajukan berdasarkan dari latar
belakang masalah penelitian di atas adalah “Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih?”.
C. Tujuan Penelitian
10
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memperoleh bukti empiris terhadap pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
PENDAHULUAN
Dunia bisnis modern dan liberalisasi perdagangan telah memasuki era
keemasan ditandai oleh maraknya dunia perdagangan dunia dengan
beranekaragam komoditi perdagangan. Adanya kemajuan diberbagai bidang
seperti ilmu pengetahuan, teknologi, telekomunikasi, teknologi informasi,
jaringan transportasi dan sektor-sektor kehidupan lainnya menyebabkan arus
informasi semakin mudah dan lancar, mengalir antar individu dan atau
kelompok dunia sudah terasa ibarat sebuah dusun global (global village),
batas-batas geografis maupun negara sudah tidak lagi signifikan. Hal ini
memungkinkan manusia untuk mencapai taraf hidup yang serba modern,
canggih, serta cepat dan multi dimensi. Akibatnya konsumen semakin terdidik
banyak menuntut dan memiliki posisi tawar menawar (bargaining positions)
yang semakin kuat.
Berkembangnya perekonomian global dapat dilihat dengan berbagai
karakteristik, seperti perdagangan barang jauh lebih pesat apabila
dibandingkan produksi dana. Selain itu, perpindahan modal (investasi
langsung asing) juga berkembang lebih cepat dari pada perdagangan barang;
semakin terbukanya, berbagai perekonomian nasional, seperti RRC negara-
negara di kawasan Eropa Timur dan Rusia; serta pemulihan ekonomi
1
2
berkembang yang sebelumnya terkena krisis ekonomi (terutama di kawasan
Asia), dilihat dari berbagai karakteristik di atas, maka kesiapan dunia usaha
dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat haruslah didukung oleh
adanya sumber-sumber informasi akuntansi yang dapat diandalkan, dimana
informasi keuangan menjadi dasar pengambilan keputusan operasional dan
strategi yang penting.
Sekarang ini masyarakat sudah tidak lagi memandang sebelah mata atau
beranggapan bahwa retail business hanya sekedar “berjualan barang
kelontong”, tetapi ia telah berkembang menjadi departemen store yang
berukuran besar. Hal tersebut merupakan proses perubahan retailing yang
selalu berkembang dari waktu ke waktu, yang semula bermula dari usaha
eceran kecil-kecilan. Maka diantara sekian banyak industri lainnya, industri
retailing (eceran) telah mencapai tingkatan yang sedemikian kompleks dan
dinamis. Manajemen eceran merupakan salah satu arena manajemen yang
rumit dan penuh tantangan.
Usaha eceran atau bisnis perdagangan eceran adalah usaha yang banyak
dilakukan orang yang memiliki modal. Hal itu merupakan tuntutan masyarakat
yang menginginkan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan kebutuhan
lainnya serta sebagai media promosi bagi para pedagang dan pabrikan.
Persaingan bisnis retail kini semakin besar. Indikasinya, terlihat dari retail
3
yang didirikan dengan berbagai strategi yang dilakukan dengan tujuan untuk
memikat serta memberikan kemudahan bagi konsumen. Hal tersebut
dikarenakan kebutuhan dan keinginan mereka semakin berkembang dan
semakin kompleks. Menurut Gregorius Chandra (2001) mereka menuntut
enam hal sekaligus, yaitu:
1. Produk berkualitas tinggi (high quality)
2. Harga yang wajar (fair price)
3. Penyerahan produk yang cepat (fast delivery)
4. Layanan khusus (special service)
5. Produk yang memiliki tingkat fleksibilitas tinggi (high flexibility)
6. Akrab dengan pemakai (user friendly)
Peranan pengecer dalam aliran barang dan jasa dari produsen sampai
ke tangan konsumen menempati posisi yang sangat penting dalam arti
menempati ujung tombak utama kegiatan distribusi barang dan jasa karena
langsung berhadapan dengan konsumen. Mengacu pada pendapat (Philip
Kotler, 1994: 660), bahwa usaha eceran meliputi semua bentuk distribusi
barang dan jasa yang langsung ke tangan konsumen. Sesungguhnya bisnis
usaha meliputi ruang lingkup yang sangat luas karena kebutuhan manusia
yang selalu berkembang dan semakin kompleks.
4
Fakta yang ada tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan utama dari
perusahaan bisnis adalah perolehan laba (Cerepak dan Taylor, 1987:9). Selain
sebagai target utama laba juga prediktor yang akurat apakah usaha yang
dijalankan mampu bertahan dalam jangka panjang, layak untuk dipertahankan
dan juga sebagai bahan pertimbangan dalam meneliti dan menilai bidang
usaha yang dijalankan merupakan lahan terbaik untuk berwirausaha. Hal ini
terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati Winarsih (1998)
terhadap perusahaan kecil, disimpulkan bahwa pengendalian atas laba dapat
dipergunakan untuk pengangguran bagi perusahaan kecil yang baru berdiri
sehingga dengan modal yang terbatas dapat beroperasi dalam kapasitas penuh.
Laba bersih (net income) akan nampak pada laporan laba rugi yang
merupakan bagian dari laporan keuangan, selain neraca dan laporan perubahan
modal. Nilai perolehan laba bersih tidak akan lepas dari metode yang
digunakan dalam penilaian dan pengakuan atas pencatatan transaksi adalah
dengan dasar kas (cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Pemilihan
salah satu diantara kedua metode tersebut akan menimbulkan dampak yang
berbeda bagi bobot laporan keuangan yang dihasilkan. Dasar kas umumnya
digunakan bagi perusahaan kecil, perusahaan perorangan dan bagi profesi
tertentu. Sedangkan dasar akrual menggunakan dua prinsip akuntansi, yaitu
prinsip realisasi penerimaan dan prinsip mempertemukan. Pembahasan lebih
lanjut mengenai kedua metode tersebut akan disajikan pada bab berikutnya.
5
Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti Setyaningsih (1998)
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Laba dan arus kas merupakan prediktor yang signifikan untuk laba dan
arus kas mendatang.
2. Laba berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan arus kas terhadap laba
mendatang.
3. Laba dan arus kas prediktor yang valid dan efisien untuk laba mendatang.
Perusahaan eceran yang terdapat di daerah Sragen pada umumnya
merupakan perusahaan kecil berbentuk perusahaan perseorangan di bawah
binaan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal
(Diperindagkop dan Pendal) Sragen menurut data yang diperoleh dari Kantor
Diperindagkop dan Pendal, perusahaan eceran di Daerah Sragen dikelola
langsung oleh pemiliknya, dan ada juga yang dipercayakan kepada orang lain,
dengan masa kerja, serta tingkat pendidikan.
Untuk daerah Sragen dengan dasar penggolongan Peraturan Daerah
Nomor 9 tahun 2003 tentang Ijin Usaha Industri, Ijin Usaha Perdagangan dan
Tanda Daftar Gudang ke dalam 3 kelompok, yaitu: perusahaan eceran kecil,
perusahaan eceran menengah, dan perusahaan eceran besar. Dasar yang
digunakan dalam melakukan pengelompokan adalah besarnya modal yang
diinvestasikan dalam mendirikan perusahaan eceran. Perusahaan dengan
modal antara Rp 0 – Rp 200 juta merupakan perusahaan eceran kecil.
6
Perusahaan eceran menengah dengan modal antara Rp 200 juta – Rp 500 juta.
Sedangkan perusahaan dalam kategori perusahaan eceran besar adalah yang
memiliki modal di atas Rp 500 juta.
Peranan pemerintah bagi dunia usaha eceran adalah sebagai pembina,
dalam arti membuat seperangkat peraturan untuk mengatur keberadaan usaha
eceran dalam rangka memajukan ke hadapan dunia usaha eceran. Sementara
bagi para pengecer sendiri juga perlu memahami segala seluk beluk usaha
eceran, sehingga investasi yang dilakukan tidak sia-sia.
Pemilihan daerah Sragen sebagai lokasi penelitian didasari oleh fakta
bahwa daerah Sragen yang merupakan kota kecil merupakan sebuah wilayah
yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya. Sragen relatif
lebih pesat dibandingkan daerah dati dua disekitarnya. Padahal sebenarnya
Sragen hanya terdiri dari 20 kecamatan ini, sama sekali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat dibanggakan. Kehidupan Kota Sragen sangat ditopang
limpahan rezeki dari dinamika pembangunan dan perkembangan ekonomi
daerah sekitarnya.
Kota Sragen dengan luas 54.632 yang berpenduduk 860.932 jiwa,
perdagangan tumbuh subur. Dimana terdapat 243 pengusaha eceran yang
melakukan kegiatan usaha di wilayah Kota Sragen dan tercatat di
Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen dengan menyerap tenaga kerja dari
7
berbagai latar belakang yang berbeda dari sisi pendidikan, pengalaman kerja
dan latar belakang ekonomi (BPS Sragen, 2003). Jumlah tersebut diperkirakan
hanyalah sekitar 35% dari seluruh pedagang eceran yang ada di Kota Solo.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pedagang eceran sesungguhnya
yang ada tetapi tidak tercatat di kantor Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen
adalah lebih banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Sragen tahun
2003, dari sektor perdagangan dan jasa telah memberikan kontribusi terbesar
sebesar 35,05% terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB).
Sementara dari sektor pertanian 29,63%, sektor keuangan 10,90%, sektor
angkutan 10,60%, sektor industri 10,45%, sektor listrik dan air 1,68%, sektor
bangunan sebesar 1,65% dan terakhir dari sektor galian sebesar 0,06%. Maka,
dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terlihat bahwa
sektor perdagangan dan jasa menempati posisi penting perkembangan
ekonomi di Kota Sragen.
Obyek penelitian ini adalah perusahaan eceran dengan kategori besar,
dengan pertimbangan bahwa usaha eceran di Kota Sragen memiliki prospek
yang cerah dimasa yang akan datang sebagai “ujung tombak” perekonomian
Kota Sragen.
8
Dikarenakan Kota Sragen yang merupakan kota kecil adalah sebuah
wilayah yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya Sragen
realatif lebih pesat dibandingkan dati dua disekitarnya.
Dengan prospek yang cerah dimasa yang akan datang, maka terbuka
peluang khususnya bagi perusahaan eceran untuk memperbesar dan
memperluas usahanya. Perluasan usaha dan penambahan modal mutlak
memerlukan bekal pemahaman yang memadai mengenai akuntansi yang baik
dan benar mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Secara statistik telah dibuktikan oleh para peneliti terdahulu
sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa informasi akuntansi yang akurat
mengenai laba bermanfaat sebagai pertimbangan dalam pengambilan
keputusan oleh para analis, investor, dan manajemen untuk mengetahui
prospek kinerja suatu perusahaan satu tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan
penanganan yang baik dan benar didalam melakukan perhitungan laba, baik
mengenai tenaga operasional, sistem akuntansi yang dipakai, maupun metode
dan asumsi yang digunakan. Fakta menunjukkan bahwa sebelum semua
prinsip akuntansi diterapkan atau dipahami oleh penyusun laporan keuangan.
Berdasar berbagai ungkapan di atas dan penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh Muhammad Mustain (2000) tentang pemahaman para
pengelola bisnis eceran besar terhadap penghitungan laba bersih di daerah
9
Salatiga. Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu terdapat hubungan yang
signifikan antara status kepemilikan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,
latar belakang pendidikan, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan
administrasi dan pembukuan, serta konsultasi ke Kantor Akuntan Publik
(KAP) dengan pemahaman pengelolaan bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian
sebelumnya adalah obyek yang diteliti dan tahun penelitian. Penelitian
sebelumnya di daerah Salatiga pada tahun 2000 sedangkan penelitian sekarang
di daerah kota Sragen pada tahun 2004. Maka penulis tertarik untuk
melakukan replikasi penelitian tersebut dengan judul “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pemahaman Pengelola Bisnis Eceran Besar Terhadap
Penghitungan Laba Bersih (Survey pada Perusahaan Eceran Besar di Daerah
Sragen”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang penulis ajukan berdasarkan dari latar
belakang masalah penelitian di atas adalah “Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih?”.
C. Tujuan Penelitian
10
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memperoleh bukti empiris terhadap pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap
penghitungan laba bersih.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: