BAB I
PENDAHULUAN
Era globalisasi dan modernitas telah membawa perubahan besar pada
kultur bisnis Indonesia. Persaingan yang semakin tajam di dunia bisnis menurut
para pelaku bisnis untuk bersikap profesional agar tetap “survive”. Di era ini
kultur bisnis di Indonesia telah berkembang dan kultur bisnis keluarga tertutup
menjadi kultur bisnis profesional yang terbuka. Banyak perusahaan keluarga
yang telah go public
dan memperjualbelikan sahamnya di lantai bursa. Hal ini
mendorong berkembangnya pasar modal Indonesia dan memotivasi para
penanam modal (investor) untuk “bermain saham”.
Perubahan kultur bisnis juga memungkinkan profesional dari luar
keluarga untuk duduk di kursi kepemimpinan perusahaan. Manajemen yaitu
pihak yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan biasanya adalah
profesional yang berasal dari luar perusahaan. Antara pihak manajemen dan
pemegang saham berlaku hubungan keagenan. Manajemen adalah agent ,
sedangkan pemegang saham adalah principal (pemilik). Sebagai agent ,
manajemen berkewajiban memaksimalkan kemakmuran pemilik, namun sesuai
dengan asumsi dalam positive accounting theory bahwa agent adalah individu
rasional yang memperhatikan dirinya maka motivasi yang mempengaruhi pilihan
manajer atas kebijakan tertentu adalah memaksimumkan kepentingannya (Assih
dan Gudono, 2000).
1
2
Media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan kedua belah
pihak tersebut adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen sebagai
laporan pertanggungjawaban hasil kerjanya. Sebagai media komunikasi laporan
keuangan seharusnya dapat mempertemukan dua kepentingan (agent dan
pemilik) namun adanya asimetri informasi laporan keuangan antara pihak
manajemen dengan pihak pemilik (investor) cenderung menguntungkan pihak
manajemen. Asimetri informasi terjadi ketika manajemen memiliki informasi
internal perusahaan relatif lebih banyak dan mengetahui informasi relatif lebih
cepat dibandingkan pihak eksternal. Dalam kondisi demikian, manajemen dapat
menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan
keuangan dalam usaha memaksimalkan kemakmurannya.
Kecenderungan investor yang lebih memperhatikan laba pada laporan
laba rugi tanpa memperhatikan prosedur yang digunakan untuk menghasilkan
laba disadari oleh manajemen. Situasi ini mendorong manajemen melakukan
disfungtional behavior
(perilaku yang tidak semestinya). Bentuk perilaku yang
semestinya ini adalah manajemen laba atau manipulasi laba (Jin dan Machfoedz,
1998).
Manajemen laba dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, yaitu (1) taking
a bath, (2) income minimization, (3) income maximization dan (4) income
smoothing
(Scott, 1997: 306). Adapun bentuk perilaku tidak semestinya yang
paling populer dalam hubungannya dengan laba adalah bentuk terakhir yaitu
praktik perataan laba (income smoothing).
3
Perataan laba dianggap suatu tindakan yang umum dilakukan untuk
menciptakan suatu aliran laba yang stabil selama sejumlah periode tertentu atau
dalam satu periode. Oleh sebab itu perataan laba (income smoothing) dapat
diartikan sebagai cara yang dilakukan pihak manajemen dengan asimetri
informasi yang dimilikinya untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan
dalam mencapai target yang direncanakan baik secara artificial (lewat metode
akuntansi) atau secara real
(2000).
(lewat transaksi) Koch (1981) dalam Salno Baridwan
Perataan laba merupakan perilaku yang rasional didasarkan pada asumsi
dalam positive accounting theory bahwa agent (dalam hal ini manajemen) adalah
individual yang rasional yang memperhatikan kepentingan dirinya (Assih dan
Gudono, 2000). Ada yang berpandangan bahwa income smoothing bukanlah
suatu masalah dalam pelaporan keuangan (Subramanyan, 1996, dalam Abdullah
dan Halim, 2000) karena memperbaiki kemampuan laba untuk mencerminkan
nilai ekonomi perusahaan dan dinilai oleh pasar yang tidak efisien. Beidleman
(1973) dalam Jin dan Machfoedz (1998) percaya bahwa manajemen meratakan
penghasilan untuk menciptakan laba yang stabil dan mengurangi covariance dari
market return. Barnea, Ronen dan Sadan (1975) serta Ronen dan Sadan (1981)
dalam Jin dan Machfoedz (1998) menyatakan bahwa perataan laba dilakukan
oleh para manajer untuk mengurangi fluktuasi dari laba yang dilaporkan dan
meningkatkan kemampuan investor untuk meramalkan arus kas di masa datang.
Pada intinya, praktik perataan laba diharapkan dapat memberikan pengaruh yang
menguntungkan bagi nilai saham serta penilaian kinerja manajer.
4
Penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Machfoedz (1998) tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi perataan laba telah menganalisis variabel-variabel
antara lain ukuran perusahaan, profitabilitas sektor industri dan leverage
perusahaan. Penelitian ini menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perataan
laba (income smoothing) telah dilakukan baik di Indonesia. Menurut Jin dan
Machfoedz (1998), praktik perataan laba jika dilakukan dengan sengaja dan
dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau
menyesatkan. Hal ini dikarenakan bias dalam laba sebagai akibat manajemen
laba (Abdullah dan Halim, 2000). Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak
memperoleh informasi akurat yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi
hasil dan resiko dari portofolio sehingga akan mengarah pada kemungkinan
pengambilan keputusan yang keliru. Penelitian yang tidak menyetujui adanya
praktik perataan laba antara lain dilakukan oleh Hector (1989) serta Mc Hugh
(1992) dalam Jin dan Machfoedz (1998) yang menyatakan bahwa perataan laba
sebagai penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan seharusnya
diwaspadai oleh pemakainya dan perataan laba merupakan manipulasi dari
laporan keuangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang tidak menyetujui praktik perataan laba ini didasarkan pada alasan
bahwa praktik perataan laba dapat menyesatkan pemakai laporan keuangan,
termasuk investor. Apabila praktik perataan laba ini dilakukan dalam batas wajar
dan tidak menyesatkan pemakai laporan keuangan maka praktik ini masih bisa
dimaklumi.
5
Namun, secara umum praktik perataan laba masih merupakan tindakan
yang kontroversial sehingga perlu diwaspadai oleh investor dan pengguna
laporan keuangan lainnya agar tidak mengambil keputusan yang keliru yang
dapat merugikan kepentingan mereka.
Penelitian ini adalah replikasi dari penelitian Abdullah dan Halim (2000).
Penelitian ini didasarkan pada rasionalitas berikut ini.
Di satu sisi, perataan laba adalah bentuk manipulasi laba yang masih
sering diperdebatkan tentang baik buruknya atau boleh tidaknya. Apabila
perataan laba tidak menyebabkan investor membuat keputusan yang keliru
tentang investasinya maka praktik ini masih bisa ditoleransi. Sebaliknya, apabila
praktik ini terlalu dibuat-buat sehingga menyesatkan pemakai laporan keuangan
maka praktik ini perlu diwaspadai.
Di sisi lain, rasio keuangan terutama yang berhubungan dengan
profitabilitas adalah alat yang digunakan investor untuk menganalisis kinerja
perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang menjadi pusat perhatian investor menurut
Helfert adalah rasio profitabilitas, rasio disposisi laba dan rasio indikator pasar.
Rasio-rasio ini adalah rasio yang mempunyai hubungan dengan laba dan
penilaian kinerja saham perusahaan sehingga manipulasi atas laba akan
menyebabkan rasio keuangan tersebut juga akan termanipulasi.
Penelitian ini mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh
Abdullah dan Halim (2000). Perbedaan dengan penelitian terdahulu antara lain
penulis menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ
untuk tahun pengamatan selama 5 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai tahun
6
2002. Selain itu penulis menambahkan variabel DER sebagai variabel
independennya.
Berdasarkan latar belakang yang ada, penulis tertarik melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : “PENGARUH RASIO
KEUANGAN TERHADAP PRAKTIK PERATAAN LABA (INCOME
SMOOTHING)
PADA
PERUSAHAAN
MANUFAKTUR
YANG
TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Era globalisasi dan modernitas telah membawa perubahan besar pada
kultur bisnis Indonesia. Persaingan yang semakin tajam di dunia bisnis menurut
para pelaku bisnis untuk bersikap profesional agar tetap “survive”. Di era ini
kultur bisnis di Indonesia telah berkembang dan kultur bisnis keluarga tertutup
menjadi kultur bisnis profesional yang terbuka. Banyak perusahaan keluarga
yang telah go public
dan memperjualbelikan sahamnya di lantai bursa. Hal ini
mendorong berkembangnya pasar modal Indonesia dan memotivasi para
penanam modal (investor) untuk “bermain saham”.
Perubahan kultur bisnis juga memungkinkan profesional dari luar
keluarga untuk duduk di kursi kepemimpinan perusahaan. Manajemen yaitu
pihak yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan biasanya adalah
profesional yang berasal dari luar perusahaan. Antara pihak manajemen dan
pemegang saham berlaku hubungan keagenan. Manajemen adalah agent ,
sedangkan pemegang saham adalah principal (pemilik). Sebagai agent ,
manajemen berkewajiban memaksimalkan kemakmuran pemilik, namun sesuai
dengan asumsi dalam positive accounting theory bahwa agent adalah individu
rasional yang memperhatikan dirinya maka motivasi yang mempengaruhi pilihan
manajer atas kebijakan tertentu adalah memaksimumkan kepentingannya (Assih
dan Gudono, 2000).
1
2
Media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan kedua belah
pihak tersebut adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen sebagai
laporan pertanggungjawaban hasil kerjanya. Sebagai media komunikasi laporan
keuangan seharusnya dapat mempertemukan dua kepentingan (agent dan
pemilik) namun adanya asimetri informasi laporan keuangan antara pihak
manajemen dengan pihak pemilik (investor) cenderung menguntungkan pihak
manajemen. Asimetri informasi terjadi ketika manajemen memiliki informasi
internal perusahaan relatif lebih banyak dan mengetahui informasi relatif lebih
cepat dibandingkan pihak eksternal. Dalam kondisi demikian, manajemen dapat
menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan
keuangan dalam usaha memaksimalkan kemakmurannya.
Kecenderungan investor yang lebih memperhatikan laba pada laporan
laba rugi tanpa memperhatikan prosedur yang digunakan untuk menghasilkan
laba disadari oleh manajemen. Situasi ini mendorong manajemen melakukan
disfungtional behavior
(perilaku yang tidak semestinya). Bentuk perilaku yang
semestinya ini adalah manajemen laba atau manipulasi laba (Jin dan Machfoedz,
1998).
Manajemen laba dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, yaitu (1) taking
a bath, (2) income minimization, (3) income maximization dan (4) income
smoothing
(Scott, 1997: 306). Adapun bentuk perilaku tidak semestinya yang
paling populer dalam hubungannya dengan laba adalah bentuk terakhir yaitu
praktik perataan laba (income smoothing).
3
Perataan laba dianggap suatu tindakan yang umum dilakukan untuk
menciptakan suatu aliran laba yang stabil selama sejumlah periode tertentu atau
dalam satu periode. Oleh sebab itu perataan laba (income smoothing) dapat
diartikan sebagai cara yang dilakukan pihak manajemen dengan asimetri
informasi yang dimilikinya untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan
dalam mencapai target yang direncanakan baik secara artificial (lewat metode
akuntansi) atau secara real
(2000).
(lewat transaksi) Koch (1981) dalam Salno Baridwan
Perataan laba merupakan perilaku yang rasional didasarkan pada asumsi
dalam positive accounting theory bahwa agent (dalam hal ini manajemen) adalah
individual yang rasional yang memperhatikan kepentingan dirinya (Assih dan
Gudono, 2000). Ada yang berpandangan bahwa income smoothing bukanlah
suatu masalah dalam pelaporan keuangan (Subramanyan, 1996, dalam Abdullah
dan Halim, 2000) karena memperbaiki kemampuan laba untuk mencerminkan
nilai ekonomi perusahaan dan dinilai oleh pasar yang tidak efisien. Beidleman
(1973) dalam Jin dan Machfoedz (1998) percaya bahwa manajemen meratakan
penghasilan untuk menciptakan laba yang stabil dan mengurangi covariance dari
market return. Barnea, Ronen dan Sadan (1975) serta Ronen dan Sadan (1981)
dalam Jin dan Machfoedz (1998) menyatakan bahwa perataan laba dilakukan
oleh para manajer untuk mengurangi fluktuasi dari laba yang dilaporkan dan
meningkatkan kemampuan investor untuk meramalkan arus kas di masa datang.
Pada intinya, praktik perataan laba diharapkan dapat memberikan pengaruh yang
menguntungkan bagi nilai saham serta penilaian kinerja manajer.
4
Penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Machfoedz (1998) tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi perataan laba telah menganalisis variabel-variabel
antara lain ukuran perusahaan, profitabilitas sektor industri dan leverage
perusahaan. Penelitian ini menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perataan
laba (income smoothing) telah dilakukan baik di Indonesia. Menurut Jin dan
Machfoedz (1998), praktik perataan laba jika dilakukan dengan sengaja dan
dibuat-buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau
menyesatkan. Hal ini dikarenakan bias dalam laba sebagai akibat manajemen
laba (Abdullah dan Halim, 2000). Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak
memperoleh informasi akurat yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi
hasil dan resiko dari portofolio sehingga akan mengarah pada kemungkinan
pengambilan keputusan yang keliru. Penelitian yang tidak menyetujui adanya
praktik perataan laba antara lain dilakukan oleh Hector (1989) serta Mc Hugh
(1992) dalam Jin dan Machfoedz (1998) yang menyatakan bahwa perataan laba
sebagai penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan seharusnya
diwaspadai oleh pemakainya dan perataan laba merupakan manipulasi dari
laporan keuangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang tidak menyetujui praktik perataan laba ini didasarkan pada alasan
bahwa praktik perataan laba dapat menyesatkan pemakai laporan keuangan,
termasuk investor. Apabila praktik perataan laba ini dilakukan dalam batas wajar
dan tidak menyesatkan pemakai laporan keuangan maka praktik ini masih bisa
dimaklumi.
5
Namun, secara umum praktik perataan laba masih merupakan tindakan
yang kontroversial sehingga perlu diwaspadai oleh investor dan pengguna
laporan keuangan lainnya agar tidak mengambil keputusan yang keliru yang
dapat merugikan kepentingan mereka.
Penelitian ini adalah replikasi dari penelitian Abdullah dan Halim (2000).
Penelitian ini didasarkan pada rasionalitas berikut ini.
Di satu sisi, perataan laba adalah bentuk manipulasi laba yang masih
sering diperdebatkan tentang baik buruknya atau boleh tidaknya. Apabila
perataan laba tidak menyebabkan investor membuat keputusan yang keliru
tentang investasinya maka praktik ini masih bisa ditoleransi. Sebaliknya, apabila
praktik ini terlalu dibuat-buat sehingga menyesatkan pemakai laporan keuangan
maka praktik ini perlu diwaspadai.
Di sisi lain, rasio keuangan terutama yang berhubungan dengan
profitabilitas adalah alat yang digunakan investor untuk menganalisis kinerja
perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang menjadi pusat perhatian investor menurut
Helfert adalah rasio profitabilitas, rasio disposisi laba dan rasio indikator pasar.
Rasio-rasio ini adalah rasio yang mempunyai hubungan dengan laba dan
penilaian kinerja saham perusahaan sehingga manipulasi atas laba akan
menyebabkan rasio keuangan tersebut juga akan termanipulasi.
Penelitian ini mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh
Abdullah dan Halim (2000). Perbedaan dengan penelitian terdahulu antara lain
penulis menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ
untuk tahun pengamatan selama 5 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai tahun
6
2002. Selain itu penulis menambahkan variabel DER sebagai variabel
independennya.
Berdasarkan latar belakang yang ada, penulis tertarik melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : “PENGARUH RASIO
KEUANGAN TERHADAP PRAKTIK PERATAAN LABA (INCOME
SMOOTHING)
PADA
PERUSAHAAN
MANUFAKTUR
YANG
TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: