BAB I
PENDAHULUAN
Selama beberapa dekade terakhir ini, semakin banyak peristiwa stock
split di pasar modal yang dilakukan oleh perusahaan emiten di BEJ, dimana
sampai dengan 31 Desember 2002, di BEJ telah terjadi 196 peristiwa stock
split (sumber : Capital Market Directory, 2002). Stock split menjadi salah satu
alat populer yang digunakan oleh para manajer perusahaan untuk menata
kembali harga pasar saham. Hal ini mengindikasikan bahwa stock split
merupakan alat yang penting dalam praktik pasar modal.
Dalam kondisi pasar modal yang kurang bergairah, banyak terdapat
saham yang tidak aktif ditransaksikan atau saham tidak likuid. Tidak likuidnya
saham tersebut akan mempersempit ruang gerak investor dalam berinvestasi,
lagi pula keberadan saham yang tidak sangat merugikan investor karena tidak
mudah ditransaksikan, dalam keadaan ini investor kehilangan kesempatan
memperoleh capital gain.
Likuiditas sangat penting bagi emiten karena saham yang tidak likuid
bisa dikenakan delisting atau dikeluarkan dari pasar modal. Emiten dapat
didelisting bila syarat kinerja keuangannya tidak memenuhi syarat listing.
Yaitu, selama 3 tahun berturut-turut menderita rugi atau dalam neraca tahun
terakhir terdapat saldo rugi sebesar 50% atau lebih dari modal disetor. Kriteria
lainnya adalah, emiten tidak membagikan deviden dan jumlah pemegang
sahamnya kurang dari 100 pemodal selama 3 tahun berturut-turut, jumlah
modal sendiri kurang dari 3 milyar dan selama 6 bulan sahamnya tidak ada
transaksi.
Likuiditas menunjukkan kemampuan untuk membeli atau menjual
saham tertentu secara cepat dan pada harga yang tidak terlampau berbeda
dengan harga sebelumnya, dengan asumsi tidak ada informasi baru yang
timbul. Dalam pasar modal yang likuid, penjualan saham dapat dilaksanakan
dengan cepat tanpa menimbulkan execution cost.
Secara teoritis stock split tidak mempunyai nilai ekonomis karena
distribusi saham melalui stock split pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi
aliran kas dimasa yang akan datang. Dengan pemikiran perusahaan yang
melakukan stock plit tidak bisa merubah nilai pasar dan juga tingkat
kesejahteraan para pemegang saham meelalui transaksi saham tersebut yang
berpengaruh pada jumlah saham yang beredar. Saham yang beredar tanpa
transaksi jual beli yang merubah besar modal. Pada umumnya stock split
merupakan cara yang ditempuh emiten untuk mempertahankan sahamnya
tetap berada pada rentang harga yang optimal. Suatu saham yang
diperdagangkan dalam rentang harga tersebut akan nampak lebih menarik
bagi investor, sehingga likuiditas saham tersebut diharapkan menjadi lebih
baik setelah stock split. Ewijaya dan Indriyantoro (1999) menarik kesimpulan
dari penelitiannya bahwa stock split berpengaruh negatif signifikan terhadap
perubahan harga saham relatif.
Sementara dugaan yang berhubungan dengan likuiditas saham telah
mendorong dilakukannya beberapa penelitian yang bertujuan untuk melihat
pengaruh stock split terhadap likuiditas saham. Penelitian Copeland (1979),
Conroy (1990), memperoleh bukti bahwa likuiditas saham menurun setelah
stock split. Sementara itu, penelitian mengenai pengaruh stock split terhadap
volume perdagangan dilakukan oleh Lamourek dan Poon (1987). Szewezky
dan Tsesekos (1991). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa volume
perdagangan dan jumlah pemegang saham sstock split mengalami peningkatan
yang signifikan.
Berdasarkan pada beberapa pandangan mengenai stock split, maka
penulis tertarik untuk menyusun laporan penelitian yang berjudul “Pengaruh
stock split terhadap likuiditas saham di BEJ periode 2001 –2003”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Uraian diatas, maka penelitian ini akan menguraikan
masalah sebagai berikut:
Apakah ada perbedaan antara volume perdagangan sebelum stock split
dengan volume perdagangan sesudah stock split ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan bukti empiris bahwa stock split berpengaruh
terhadap likuiditas saham.
b. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan sebagai berikut :
PENDAHULUAN
Selama beberapa dekade terakhir ini, semakin banyak peristiwa stock
split di pasar modal yang dilakukan oleh perusahaan emiten di BEJ, dimana
sampai dengan 31 Desember 2002, di BEJ telah terjadi 196 peristiwa stock
split (sumber : Capital Market Directory, 2002). Stock split menjadi salah satu
alat populer yang digunakan oleh para manajer perusahaan untuk menata
kembali harga pasar saham. Hal ini mengindikasikan bahwa stock split
merupakan alat yang penting dalam praktik pasar modal.
Dalam kondisi pasar modal yang kurang bergairah, banyak terdapat
saham yang tidak aktif ditransaksikan atau saham tidak likuid. Tidak likuidnya
saham tersebut akan mempersempit ruang gerak investor dalam berinvestasi,
lagi pula keberadan saham yang tidak sangat merugikan investor karena tidak
mudah ditransaksikan, dalam keadaan ini investor kehilangan kesempatan
memperoleh capital gain.
Likuiditas sangat penting bagi emiten karena saham yang tidak likuid
bisa dikenakan delisting atau dikeluarkan dari pasar modal. Emiten dapat
didelisting bila syarat kinerja keuangannya tidak memenuhi syarat listing.
Yaitu, selama 3 tahun berturut-turut menderita rugi atau dalam neraca tahun
terakhir terdapat saldo rugi sebesar 50% atau lebih dari modal disetor. Kriteria
lainnya adalah, emiten tidak membagikan deviden dan jumlah pemegang
sahamnya kurang dari 100 pemodal selama 3 tahun berturut-turut, jumlah
modal sendiri kurang dari 3 milyar dan selama 6 bulan sahamnya tidak ada
transaksi.
Likuiditas menunjukkan kemampuan untuk membeli atau menjual
saham tertentu secara cepat dan pada harga yang tidak terlampau berbeda
dengan harga sebelumnya, dengan asumsi tidak ada informasi baru yang
timbul. Dalam pasar modal yang likuid, penjualan saham dapat dilaksanakan
dengan cepat tanpa menimbulkan execution cost.
Secara teoritis stock split tidak mempunyai nilai ekonomis karena
distribusi saham melalui stock split pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi
aliran kas dimasa yang akan datang. Dengan pemikiran perusahaan yang
melakukan stock plit tidak bisa merubah nilai pasar dan juga tingkat
kesejahteraan para pemegang saham meelalui transaksi saham tersebut yang
berpengaruh pada jumlah saham yang beredar. Saham yang beredar tanpa
transaksi jual beli yang merubah besar modal. Pada umumnya stock split
merupakan cara yang ditempuh emiten untuk mempertahankan sahamnya
tetap berada pada rentang harga yang optimal. Suatu saham yang
diperdagangkan dalam rentang harga tersebut akan nampak lebih menarik
bagi investor, sehingga likuiditas saham tersebut diharapkan menjadi lebih
baik setelah stock split. Ewijaya dan Indriyantoro (1999) menarik kesimpulan
dari penelitiannya bahwa stock split berpengaruh negatif signifikan terhadap
perubahan harga saham relatif.
Sementara dugaan yang berhubungan dengan likuiditas saham telah
mendorong dilakukannya beberapa penelitian yang bertujuan untuk melihat
pengaruh stock split terhadap likuiditas saham. Penelitian Copeland (1979),
Conroy (1990), memperoleh bukti bahwa likuiditas saham menurun setelah
stock split. Sementara itu, penelitian mengenai pengaruh stock split terhadap
volume perdagangan dilakukan oleh Lamourek dan Poon (1987). Szewezky
dan Tsesekos (1991). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa volume
perdagangan dan jumlah pemegang saham sstock split mengalami peningkatan
yang signifikan.
Berdasarkan pada beberapa pandangan mengenai stock split, maka
penulis tertarik untuk menyusun laporan penelitian yang berjudul “Pengaruh
stock split terhadap likuiditas saham di BEJ periode 2001 –2003”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Uraian diatas, maka penelitian ini akan menguraikan
masalah sebagai berikut:
Apakah ada perbedaan antara volume perdagangan sebelum stock split
dengan volume perdagangan sesudah stock split ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan bukti empiris bahwa stock split berpengaruh
terhadap likuiditas saham.
b. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan sebagai berikut :