BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemandirian manusia Indonesia sangat diperlukan dalam menghadapi
kecenderungan perubahan sosial dalam masyarakat. Masyarakat masa depan
menuntut manusia lebih bersikap terbuka tanpa kehilangan makna hidup yang hakiki
yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sikap mandiri inilah yang harus
menjadi arah utama bagi peningkatan kualitas manusia menjelang era tinggal landas.
Menurut Widodo (2000) bahwa kemadirian pada remaja adalah suatu sifat yang ada
pada diri remaja yang memungkinkan remaja bertindak bebas, remaja mampu
melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan atas dorongan diri
sendiri, mengejar prestasi dengan penuh ketekunan, serta keinginan untuk
mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak
original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi masalah yang dihadapi sendiri
tanpa bantuan orang lain.
Kemandirian remaja terjadi atau terbentuk karena individu di masa remaja
akan berusaha melepaskan diri dari orang tuanya, melepaskan diri dalam arti tidak
akan meminta bantuan kepada orang tuanya untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi dan remaja yang terbiasa ditinggal kedua orang tuanya bekerja juga akan
lebih mandiri dalam segala hal dibanding remaja yang selalu berada disamping
ibunya (Hindriyani, 1996). Perilaku mandiri merupakan kekuatan internal individu
1
2
yang diperoleh melalui proses individualisasi. Yang dimaksud proses individualisasi
di sini adalah proses realisasi kedirian, proses menuju kesempurnaan.
Pembentukan perilaku mandiri pada masa remaja merupakan perkembangan
perilaku dari masa-masa sebelumnya, dimulai dengan berkembangnya suatu
dorongan ke arah aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, maka remaja mulai
menyusun pola perkembangan kepribadian dengan mulai melepaskan diri dari
pengaruh orang tua. Remaja SMU mulai menginginkan kebebasan dalam berbagai
aspek, termasuk kebebasan dalam kemandiriannya. Pencapaian perilaku ini sering
tercermin dalam sikap yang semakin percaya kepada diri sendiri, timbulnya keinginan
untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan memunculkan kreativitas di berbagai
bidang. Selain itu ia tidak ingin diawasi lagi dalam menentukan arah perbuatan yang
ingin dilakukan dan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah
dilakukannya (Driyakarya, 1990).
Menurut Masrun dkk (1986) kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor internal adalah urutan kelahiran,
sedangkan salah satu faktor eksternal yaitu kebudayaan. Kebudayaan yang ada di
negara satu dengan yang lain adalah berbeda, misalnya remaja-remaja Swiss
cenderung lebih tergantung pada keputusan orang dewasa sedangkan remaja-remaja
Amerika lebih awal dalam mengalihkan ketergantungan terhadap orangtua kepada
teman-teman sebaya. Demikian pula remaja-remaja Indonesia, norma-norma
masyarakatnya masih menghendaki agar sikap mandiri seseorang disertai pula dengan
sikap hormat dan menjaga jarak antara orang muda dengan orang-orang yang lebih
3
tua (Monks, 1989). Gunarsa (1995) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,
seorang remaja tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya di mana salah satu
lingkungan remaja tersebut adalah keluarga termasuk di dalamnya adalah ayah dan
ibu, karena ibulah yang senantiasa dekat dengan remaja ketika masih kecil.
Perubahan peran dalam keluarga terjadi juga karena perbedaan kepentingan
antara ayah dan ibu. Pada keluarga non tradisional sudah ada keyakinan kuat akan
kemampuan seorang ayah (pria) dalam mengasuh anak. Lebih 80% kaum ayah dan
90% kaum ibu percaya bahwa ayah mempunyai kemampuan dalam mendidik anak
dan mengasuh anak meskipun ada sebagian besar yang merasa bahwa kemampuan
ayah ini masih belum sebanding dengan kemampuan seorang ibu. Gambaran ini
berlainan dengan keluarga tradisional yang hanya 49% kaum ayah dan 65% kaum ibu
berkeyakinan demikian. Perubahan keyakinan ini merupakan satu jawaban yang tidak
mempersoalkan peran jenis kelamin dalam mengasuh anak, meski sebagian
mengatakan perubahan peran ini semata-mata untuk membuktikan suatu keyakinan
bahwa ayah mampu beralih peran dengan ibu, tetapi sesungguhnya alasan yang
mendasar adalah faktor ekonomi (Dagun, 1992)
Penerapan perilaku ibu terhadap anak-anak terjadi bila keduanya ada interaksi
yang berjalan dengan baik. Adanya interaksi ini menimbulkan suatu pemahaman
terhadap perilaku model dalam hal ini sosok ibu yang bekerja. Ibu sebagai model
akan berfungsi dalam pembentukan kemandirian remaja SMU. Oleh karena itu
semakin positif persepsi remaja terhadap karir ibunya maka akan semakin memberi
4
banyak kesempatan pada remaja untuk belajar dan mengembangkan potensi yang
masih duduk dibangku SMU ini untuk membentuk kemandirian.
Wanita yang tidak bekerja akan mempunyai wawasan yang kurang luas
terhadap diri dan lingkungan jika dibandingkan dengan wanita yang bekerja
(Hoffman dalam Eny, 1992). Dalam mendidik anakpun akan kurang pengalaman
yang ada di luar lingkungan rumah tanggganya, sehingga wawasan yang ada pada
anaknya akan cenderung lebih besar dari pada wawasan yang ada di dalam dirinya.
Ibu yang bekerja adalah ibu rumah tangga yang berstatus sebagai wanita
karier yaitu wanita yang sudah menikah atau selalu berumah tangga yang bekerja di
luar untuk mendapatkan penghasilan sebagai mata pencaharian tetap, dimana
pekerjaannya tersebut berjangka panjang, menuntut perhatian dan prestasi serta
penampilan yang utuh dari wanita tersebut. Jadi disamping melakukan tugasnya
dalam rumah tangga, ibu rumah tangga berperan juga sebagai wanita karier, dapat
dirafsirkan juga se bagai wanita yang bekerja diluar rumah untuk mendapatkan gaji
dan pekerjaan tersebut merupakan bagian hidup yang amat berarti. Dalam
menghadapi permasalahan yang kompleks ada sebagain ibu yang bekerja yang
berhasil mengatasinya, namun ada yang gagal dalam menyelesaikannya. Bahkan ada
pula yang berhasil mengatasinya namun disaat lain ia mengalami suatu kegagalan
(Iriansyah, 1996).
Seorang anak akan menginginkan adanya kesempatan yang banyak untuk
memperoleh pengaruh, tuntunan, bimbingan untuk membentuk kepribadiannya.
Tetapi munculnya persamaan hak antara pria dan wanita menyebabkan banyak wanita
5
menuntut dan berusaha merealisir haknya, yang mengakibatkan anak-anak mereka
menjadi korban. Dari situlah muncul konflik dalam diri anak, di mana seorang ibu
yang berperan sebagai wanita karir dapat menghambat sikap sosial pada diri anak
tersebut.
Wanita yang aktif bekerja masih dapat menjalankan tugas sebagai istri dan
berfungsi sebagai ibu dalam hal mengasuh, merawat, mendidik dan mencurahkan
kasih sayang kepada anak maupun suami walaupun sepanjang waktu, semua itu dapat
dilakukannya sewaktu sudah pulang dari kantor yaitu pada sore dan malam hari.
Sedangkan pada siang harinya dapat dijadikan untuk mendidik anak untuk bersikap
mandiri, baik dalam perilaku maupun pemikirannya.
Dampak yang timbul seandainya ibu bekerja dan menjadi wanita karir antara
lain : anak (remaja) akan sibuk dengan kegiatannya sendiri dan ini dapat membuat
remaja menjadi mandiri, semua yag ingin dilakukannya dapat dilakukannya sendiri,
selain itu besa belajar dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada dirinya
sendiri, sehingga sedikit-sedikit tidak tergantung pada orang tuanya. Sebaliknya
apabila seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga biasa maka anak (remaja)
akan lebih banyak waktu atau kesempatan untuk dapat berhubungan atau
berkomunikasi setiap saat, tapi disisi lain anak akan berkembang menjadi remaja
yang selalu tergantung pada orang tuanya. Permasalahan yang pada dirinya selalu
dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan ibunya (Munandar, 1985).
6
Kemampuan ibu untuk berkarir dapat dijadikan model bagi anak dalam
ketekunan, motivasi untuk berprestasi. Figur ibu dapat dijadikan contoh bagi anak
untuk mencapai keberhasilan, ini mampu mendorong anak untuk selalu berprestasi
dan memupuk sikap kemandirian.
Peranan faktor urutan kelahiran dapat mempengaruhi kemandirian seseorang
yang berpangkal dari adanya kebutuhan manusia akan adanya perhatian dari
lingkungannya ketika seseorang masih remaja (Masrun, 1986). Johnson dan
Medinnus (dalam Widodo, 2000) mengatakan pada masa remaja perhatian dari
lingkungan ini terutama berasal dari orangtua. Setiap remaja dalam keluarga
mempunyai urutan yang berbeda-beda. Masing-masing urutan mempunyai
tanggungjawab dan konsekuensi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan maupun sikap orangtua yang berbeda-beda. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Gerungan (1988) yang mengatakan bahwa dalam suatu keluarga terdapat
peranan-peranan tertentu yang mempengaruhi perkembangan seseorang salah satunya
adalah peranan seseorang sesuai dengan urutan kelahiran dalam keluarga.
Urutan kelahiran anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kemadirian
individu. Adler (dalam Mujiono, 2000) menjelaskan bahwa anak yang mempunyai
urutan kelahiran tertentu dalam keluarga cenderung berbeda kemandiriannya.
Perbedaan kesempatan dan perlakuan orangtua yang didasarkan pada urutan kelahiran
anak dalam keluarga akan menimbulkan pengaruh yang berbeda dalam sikap dan
tingkah lakunya.
7
Hurlock (1996) menyatakan bahwa anak sulung memiliki tangggungjawab,
wewenang, dan kepercayaan diri yang lebih besar di rumah sehingga cenderung
memiliki kemampuan pemimpin dan orangtua juga memiliki tuntutan yang lebih
tinggi terhadap anak sulung daripada anak bungsu. Hurlock (1996) menambahkan
bahwa anak yang menduduki posisi pertama atau sulung dalam keluarga cenderung
serius, ingin belajar dan mampu menyesuaikan maupun mengendalikan diri,
sedangkan anak bungsu cenderung tidak berprestasi tinggi, kurang bertanggungjawab
sehingga kurang bisa menjadi pemimpin.
Douvan dan Adelson (dalam Johnson dan Medinnus, 1974) menyatakan
bahwa anak sulung mempunyai ambisi dan dorongan yang lebih besar dibanding
adik-adiknya serta lebih berorientasi pada pencapaian prestasi. Adler (dalam
Mujiono, 2000) mengemukakan bahwa anak bungsu merupakan anak yang kurang
bisa menyesuaikan diri serta mengalami gangguan emosional. Pendapat itu didukung
oleh pendapat Gunarsa (2000) bahwa anak bungsu selalu mendapatkan perlindungan
yang berlebihan, hal ini dapat membuat anak bungsu merasa lemah dan kurang daya
juang.
Di sisi lain Leman (1999) menyatakan bahwa anak sulung cenderung senang
berprestasi, memiliki ciri khas pemimpin, senang belajar, dan perfeksionis. Anak
sulung bisa diandalkan tekun, teliti, serta dapat membuat daftar kehidupan sehari-
hari. Mereka tahu persis apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Sedangkan anak
8
bungsu menurut Leman (1999) cenderung suka bersenang-senang dan punya ciri khas
luwes, berinteraksi pada manusia, serta pencari perhatian.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dibuat rumusan masalah :
“apakah ada perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari Status Ibu dan urutan
kelahiran?” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik
mengadakan penelitian dengan judul Perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari
Status Ibu dan Urutan Kelahiran.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari status ibu dan
urutan kelahiran.
2. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari staus ibu.
3. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari urutan kelahiran.
4. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemandirian manusia Indonesia sangat diperlukan dalam menghadapi
kecenderungan perubahan sosial dalam masyarakat. Masyarakat masa depan
menuntut manusia lebih bersikap terbuka tanpa kehilangan makna hidup yang hakiki
yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sikap mandiri inilah yang harus
menjadi arah utama bagi peningkatan kualitas manusia menjelang era tinggal landas.
Menurut Widodo (2000) bahwa kemadirian pada remaja adalah suatu sifat yang ada
pada diri remaja yang memungkinkan remaja bertindak bebas, remaja mampu
melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan atas dorongan diri
sendiri, mengejar prestasi dengan penuh ketekunan, serta keinginan untuk
mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak
original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi masalah yang dihadapi sendiri
tanpa bantuan orang lain.
Kemandirian remaja terjadi atau terbentuk karena individu di masa remaja
akan berusaha melepaskan diri dari orang tuanya, melepaskan diri dalam arti tidak
akan meminta bantuan kepada orang tuanya untuk memecahkan masalah yang sedang
dihadapi dan remaja yang terbiasa ditinggal kedua orang tuanya bekerja juga akan
lebih mandiri dalam segala hal dibanding remaja yang selalu berada disamping
ibunya (Hindriyani, 1996). Perilaku mandiri merupakan kekuatan internal individu
1
2
yang diperoleh melalui proses individualisasi. Yang dimaksud proses individualisasi
di sini adalah proses realisasi kedirian, proses menuju kesempurnaan.
Pembentukan perilaku mandiri pada masa remaja merupakan perkembangan
perilaku dari masa-masa sebelumnya, dimulai dengan berkembangnya suatu
dorongan ke arah aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, maka remaja mulai
menyusun pola perkembangan kepribadian dengan mulai melepaskan diri dari
pengaruh orang tua. Remaja SMU mulai menginginkan kebebasan dalam berbagai
aspek, termasuk kebebasan dalam kemandiriannya. Pencapaian perilaku ini sering
tercermin dalam sikap yang semakin percaya kepada diri sendiri, timbulnya keinginan
untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan memunculkan kreativitas di berbagai
bidang. Selain itu ia tidak ingin diawasi lagi dalam menentukan arah perbuatan yang
ingin dilakukan dan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah
dilakukannya (Driyakarya, 1990).
Menurut Masrun dkk (1986) kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor internal adalah urutan kelahiran,
sedangkan salah satu faktor eksternal yaitu kebudayaan. Kebudayaan yang ada di
negara satu dengan yang lain adalah berbeda, misalnya remaja-remaja Swiss
cenderung lebih tergantung pada keputusan orang dewasa sedangkan remaja-remaja
Amerika lebih awal dalam mengalihkan ketergantungan terhadap orangtua kepada
teman-teman sebaya. Demikian pula remaja-remaja Indonesia, norma-norma
masyarakatnya masih menghendaki agar sikap mandiri seseorang disertai pula dengan
sikap hormat dan menjaga jarak antara orang muda dengan orang-orang yang lebih
3
tua (Monks, 1989). Gunarsa (1995) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,
seorang remaja tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya di mana salah satu
lingkungan remaja tersebut adalah keluarga termasuk di dalamnya adalah ayah dan
ibu, karena ibulah yang senantiasa dekat dengan remaja ketika masih kecil.
Perubahan peran dalam keluarga terjadi juga karena perbedaan kepentingan
antara ayah dan ibu. Pada keluarga non tradisional sudah ada keyakinan kuat akan
kemampuan seorang ayah (pria) dalam mengasuh anak. Lebih 80% kaum ayah dan
90% kaum ibu percaya bahwa ayah mempunyai kemampuan dalam mendidik anak
dan mengasuh anak meskipun ada sebagian besar yang merasa bahwa kemampuan
ayah ini masih belum sebanding dengan kemampuan seorang ibu. Gambaran ini
berlainan dengan keluarga tradisional yang hanya 49% kaum ayah dan 65% kaum ibu
berkeyakinan demikian. Perubahan keyakinan ini merupakan satu jawaban yang tidak
mempersoalkan peran jenis kelamin dalam mengasuh anak, meski sebagian
mengatakan perubahan peran ini semata-mata untuk membuktikan suatu keyakinan
bahwa ayah mampu beralih peran dengan ibu, tetapi sesungguhnya alasan yang
mendasar adalah faktor ekonomi (Dagun, 1992)
Penerapan perilaku ibu terhadap anak-anak terjadi bila keduanya ada interaksi
yang berjalan dengan baik. Adanya interaksi ini menimbulkan suatu pemahaman
terhadap perilaku model dalam hal ini sosok ibu yang bekerja. Ibu sebagai model
akan berfungsi dalam pembentukan kemandirian remaja SMU. Oleh karena itu
semakin positif persepsi remaja terhadap karir ibunya maka akan semakin memberi
4
banyak kesempatan pada remaja untuk belajar dan mengembangkan potensi yang
masih duduk dibangku SMU ini untuk membentuk kemandirian.
Wanita yang tidak bekerja akan mempunyai wawasan yang kurang luas
terhadap diri dan lingkungan jika dibandingkan dengan wanita yang bekerja
(Hoffman dalam Eny, 1992). Dalam mendidik anakpun akan kurang pengalaman
yang ada di luar lingkungan rumah tanggganya, sehingga wawasan yang ada pada
anaknya akan cenderung lebih besar dari pada wawasan yang ada di dalam dirinya.
Ibu yang bekerja adalah ibu rumah tangga yang berstatus sebagai wanita
karier yaitu wanita yang sudah menikah atau selalu berumah tangga yang bekerja di
luar untuk mendapatkan penghasilan sebagai mata pencaharian tetap, dimana
pekerjaannya tersebut berjangka panjang, menuntut perhatian dan prestasi serta
penampilan yang utuh dari wanita tersebut. Jadi disamping melakukan tugasnya
dalam rumah tangga, ibu rumah tangga berperan juga sebagai wanita karier, dapat
dirafsirkan juga se bagai wanita yang bekerja diluar rumah untuk mendapatkan gaji
dan pekerjaan tersebut merupakan bagian hidup yang amat berarti. Dalam
menghadapi permasalahan yang kompleks ada sebagain ibu yang bekerja yang
berhasil mengatasinya, namun ada yang gagal dalam menyelesaikannya. Bahkan ada
pula yang berhasil mengatasinya namun disaat lain ia mengalami suatu kegagalan
(Iriansyah, 1996).
Seorang anak akan menginginkan adanya kesempatan yang banyak untuk
memperoleh pengaruh, tuntunan, bimbingan untuk membentuk kepribadiannya.
Tetapi munculnya persamaan hak antara pria dan wanita menyebabkan banyak wanita
5
menuntut dan berusaha merealisir haknya, yang mengakibatkan anak-anak mereka
menjadi korban. Dari situlah muncul konflik dalam diri anak, di mana seorang ibu
yang berperan sebagai wanita karir dapat menghambat sikap sosial pada diri anak
tersebut.
Wanita yang aktif bekerja masih dapat menjalankan tugas sebagai istri dan
berfungsi sebagai ibu dalam hal mengasuh, merawat, mendidik dan mencurahkan
kasih sayang kepada anak maupun suami walaupun sepanjang waktu, semua itu dapat
dilakukannya sewaktu sudah pulang dari kantor yaitu pada sore dan malam hari.
Sedangkan pada siang harinya dapat dijadikan untuk mendidik anak untuk bersikap
mandiri, baik dalam perilaku maupun pemikirannya.
Dampak yang timbul seandainya ibu bekerja dan menjadi wanita karir antara
lain : anak (remaja) akan sibuk dengan kegiatannya sendiri dan ini dapat membuat
remaja menjadi mandiri, semua yag ingin dilakukannya dapat dilakukannya sendiri,
selain itu besa belajar dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada dirinya
sendiri, sehingga sedikit-sedikit tidak tergantung pada orang tuanya. Sebaliknya
apabila seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga biasa maka anak (remaja)
akan lebih banyak waktu atau kesempatan untuk dapat berhubungan atau
berkomunikasi setiap saat, tapi disisi lain anak akan berkembang menjadi remaja
yang selalu tergantung pada orang tuanya. Permasalahan yang pada dirinya selalu
dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan ibunya (Munandar, 1985).
6
Kemampuan ibu untuk berkarir dapat dijadikan model bagi anak dalam
ketekunan, motivasi untuk berprestasi. Figur ibu dapat dijadikan contoh bagi anak
untuk mencapai keberhasilan, ini mampu mendorong anak untuk selalu berprestasi
dan memupuk sikap kemandirian.
Peranan faktor urutan kelahiran dapat mempengaruhi kemandirian seseorang
yang berpangkal dari adanya kebutuhan manusia akan adanya perhatian dari
lingkungannya ketika seseorang masih remaja (Masrun, 1986). Johnson dan
Medinnus (dalam Widodo, 2000) mengatakan pada masa remaja perhatian dari
lingkungan ini terutama berasal dari orangtua. Setiap remaja dalam keluarga
mempunyai urutan yang berbeda-beda. Masing-masing urutan mempunyai
tanggungjawab dan konsekuensi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan maupun sikap orangtua yang berbeda-beda. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Gerungan (1988) yang mengatakan bahwa dalam suatu keluarga terdapat
peranan-peranan tertentu yang mempengaruhi perkembangan seseorang salah satunya
adalah peranan seseorang sesuai dengan urutan kelahiran dalam keluarga.
Urutan kelahiran anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kemadirian
individu. Adler (dalam Mujiono, 2000) menjelaskan bahwa anak yang mempunyai
urutan kelahiran tertentu dalam keluarga cenderung berbeda kemandiriannya.
Perbedaan kesempatan dan perlakuan orangtua yang didasarkan pada urutan kelahiran
anak dalam keluarga akan menimbulkan pengaruh yang berbeda dalam sikap dan
tingkah lakunya.
7
Hurlock (1996) menyatakan bahwa anak sulung memiliki tangggungjawab,
wewenang, dan kepercayaan diri yang lebih besar di rumah sehingga cenderung
memiliki kemampuan pemimpin dan orangtua juga memiliki tuntutan yang lebih
tinggi terhadap anak sulung daripada anak bungsu. Hurlock (1996) menambahkan
bahwa anak yang menduduki posisi pertama atau sulung dalam keluarga cenderung
serius, ingin belajar dan mampu menyesuaikan maupun mengendalikan diri,
sedangkan anak bungsu cenderung tidak berprestasi tinggi, kurang bertanggungjawab
sehingga kurang bisa menjadi pemimpin.
Douvan dan Adelson (dalam Johnson dan Medinnus, 1974) menyatakan
bahwa anak sulung mempunyai ambisi dan dorongan yang lebih besar dibanding
adik-adiknya serta lebih berorientasi pada pencapaian prestasi. Adler (dalam
Mujiono, 2000) mengemukakan bahwa anak bungsu merupakan anak yang kurang
bisa menyesuaikan diri serta mengalami gangguan emosional. Pendapat itu didukung
oleh pendapat Gunarsa (2000) bahwa anak bungsu selalu mendapatkan perlindungan
yang berlebihan, hal ini dapat membuat anak bungsu merasa lemah dan kurang daya
juang.
Di sisi lain Leman (1999) menyatakan bahwa anak sulung cenderung senang
berprestasi, memiliki ciri khas pemimpin, senang belajar, dan perfeksionis. Anak
sulung bisa diandalkan tekun, teliti, serta dapat membuat daftar kehidupan sehari-
hari. Mereka tahu persis apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Sedangkan anak
8
bungsu menurut Leman (1999) cenderung suka bersenang-senang dan punya ciri khas
luwes, berinteraksi pada manusia, serta pencari perhatian.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dibuat rumusan masalah :
“apakah ada perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari Status Ibu dan urutan
kelahiran?” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik
mengadakan penelitian dengan judul Perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari
Status Ibu dan Urutan Kelahiran.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari status ibu dan
urutan kelahiran.
2. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari staus ibu.
3. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari urutan kelahiran.
4. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pada remaja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :