BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan perbankan syariah di Yogyakarta merupakan suatu
perwujudan permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan
alternatif yang menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat dan
memenuhi prinsip–prinsip syariah. Perkembangan sistem keuangan syariah
semakin kuat dengan ditetapkannya dasar – dasar hukum operasional melalui
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dirubah dalam UU No. 10
tahun 1998, UU No. 23 tahun 1999 dan UU No. 9 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.
Sejarah berdirinya perbankan syariah dengan sistem bagi hasil, didasarkan
pada dua alasan utama yaitu : (1) Adanya pandangan bahwa bunga (interes)
pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba
yang dilarang oleh agama, bukan saja pada agama Islam tetapi dilarang juga
oleh agama lainnya. (2) Dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha terhadap
salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang
sistem perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukkan kekayaan
pada segelintir orang yang memiliki kapital besar (Sjahdeini, S. Remy, 1999).
Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada distribusi resiko usaha.
Pada sistem bunga, balas jasa modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu
dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk hal nasabah
sebagai deposan, resiko sepenuhnya berada pada pihak bank, sebaliknya apabila
nasabah sebagai peminjam, resiko sepenuhnya berada ditangan peminjam.
Sedangkan pada sistem syariah diterapkan sistem bagi hasil dimana jasa atas
modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau kerugian yang diperoleh
yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad adalah keadilan antara
pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur
maupun kreditur.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit serta jasa – jasa lain dalam pembayaran yang
beroperasi berdasarkan prinsip – prinsip syariah (Heri Sudarsono). Dalam
operasinya bank syariah mengikuti ketentuan – ketentuan syariat Islam yang
menyangkut bermuamalat secara Islam dengan cara menghindari praktik–
praktik yang mengandung unsur riba dengan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan. Operasi bank syariah sangat sesuai dengan
pengembangan usaha menengah, karena penggunaan perangkat bagi hasil yang
besar kecilnya ditentukan dengan besar kecilnya hasil usaha yang diperoleh.
Sejak diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan dan UU
No. 7 tahun 1992 yang memberikan peluang lebih besar bagi pengembangan
bank syariah, maka perkembangan syariah di Indonesia sangat pesat, seperti
terlihat pada tabel berikut ini :
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan perbankan syariah di Yogyakarta merupakan suatu
perwujudan permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan
alternatif yang menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat dan
memenuhi prinsip–prinsip syariah. Perkembangan sistem keuangan syariah
semakin kuat dengan ditetapkannya dasar – dasar hukum operasional melalui
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah dirubah dalam UU No. 10
tahun 1998, UU No. 23 tahun 1999 dan UU No. 9 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.
Sejarah berdirinya perbankan syariah dengan sistem bagi hasil, didasarkan
pada dua alasan utama yaitu : (1) Adanya pandangan bahwa bunga (interes)
pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba
yang dilarang oleh agama, bukan saja pada agama Islam tetapi dilarang juga
oleh agama lainnya. (2) Dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha terhadap
salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang
sistem perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukkan kekayaan
pada segelintir orang yang memiliki kapital besar (Sjahdeini, S. Remy, 1999).
Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada distribusi resiko usaha.
Pada sistem bunga, balas jasa modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu
dan resiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk hal nasabah
sebagai deposan, resiko sepenuhnya berada pada pihak bank, sebaliknya apabila
nasabah sebagai peminjam, resiko sepenuhnya berada ditangan peminjam.
Sedangkan pada sistem syariah diterapkan sistem bagi hasil dimana jasa atas
modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau kerugian yang diperoleh
yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad adalah keadilan antara
pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur
maupun kreditur.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit serta jasa – jasa lain dalam pembayaran yang
beroperasi berdasarkan prinsip – prinsip syariah (Heri Sudarsono). Dalam
operasinya bank syariah mengikuti ketentuan – ketentuan syariat Islam yang
menyangkut bermuamalat secara Islam dengan cara menghindari praktik–
praktik yang mengandung unsur riba dengan investasi atas dasar bagi hasil dan
pembiayaan perdagangan. Operasi bank syariah sangat sesuai dengan
pengembangan usaha menengah, karena penggunaan perangkat bagi hasil yang
besar kecilnya ditentukan dengan besar kecilnya hasil usaha yang diperoleh.
Sejak diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan dan UU
No. 7 tahun 1992 yang memberikan peluang lebih besar bagi pengembangan
bank syariah, maka perkembangan syariah di Indonesia sangat pesat, seperti
terlihat pada tabel berikut ini :