ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit yang masih memerlukan
penanganan yang serius di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT, 1995), mengatakan bahwa TB pam penyebab kematian ketiga terbesar
setelah kardiovaskuler dan penyakit saluran pemafasan serta menempati urutan
nomor satu pada penyakit infeksi. Laporan WHO (1999), menunjukkan setiap tahun
ada sekitar 140.000 orang Indonesia meninggal setiap tahunnya karena TB pam.
Salah satu usaha pemerintah dalam menanggulangi penyakit ini adalah melalui
Program Nasional Penanggulangan TB Pam, dimana dilakukan di setiap RS,
Puskesmas, dan UPK lain di seluruh Indonesia. Keberhasilan program ini dapat
diukur bila 70% dari perkiraan penderita bam yang ada dapat ditemukan dan diobati
dengan angka kesembuhan 85°;',.
Bcrdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa faktor pasien (usia,
pendidikan, penghasilan, tradisi berobat, tipe pengobatan, pengetahuan, dan sikap
pasien) dan faktor petugas (sikap petugas) mempengaruhi Keberhasilan Program
Penanggulangan TB Paru yang dapat dilihat dari indikator sembuh 'atau tidaknya
pasien.
Penelitian ini bersifat survei dengan pendekatan eksplanatori, populasi adalah
seluruh penderita TB pam yang telah menjalani pengobatan selama enam (6) bulan
sampaiAgustus 2002. Didapati populasi sebanyak 30 orang, dan seluruhnya dijadikan
sampef'bati fliolah dan dianalisa dengan komputer menggunakan uji statistik regresi
berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia (P=0,878), pendidikan (p=O,086),
tradisi berobat (p=0,404), pengetahuan (p=0,284) tidak berpengaruh (P>0,05)
terhadap Keberhasilan Program Penanggulangan TB Pam di Puskesmas Helvetia
Tahun 2002. Sedangkan penghasilan (p=0,036), tipe pengobatan (p=O,021), sikap
petugas (p=O,OOI), dan sikap petugas (p=0,002) berpengaruh (p<0,005) terhadap Keberhasilan Program Penanggulangan TB Pam di Puskesmas Helvetia Tahun 2002. Disarankan perlu membina kerjasama yang baik antara petugas dan pasien, dimana bila sikap Petugas baik hams diimbangi dengan sikap konsumen yang baik juga, untuk itu sebenamya Petugas perlu meneek secara langsung apakah saran yang mereka berikan memang betul-betul dilakukan pasien. Bila pasien meneruskan pengobatan di luar Puskesmas, perlu dijelaskan kepada mereka tentang tahap pengobatan yang diberikan pada mereka, sudah sampai berapa jauh pengobatan berjalan, berapa obat yang sudah dihabiskan, dan berapa lagi yang harus mereka minum. Diharapkan pasien tersebut dapat menjelaskan kembali pada Petugas di tempat lain, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pengobatan. Diberikan penjelasan kepada pasien mengapa perlu makan obat selama enam (6) bulan, sehingga diharapkan mereka menjadi tahu akan pentingnya masa pengobatan selama enam (6) bulan tersebut. Jika memungkinkan perlu dilakukan pemeriksaan status gizi dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sebelum pasien menggunakan OAT.
Tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit yang masih memerlukan
penanganan yang serius di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT, 1995), mengatakan bahwa TB pam penyebab kematian ketiga terbesar
setelah kardiovaskuler dan penyakit saluran pemafasan serta menempati urutan
nomor satu pada penyakit infeksi. Laporan WHO (1999), menunjukkan setiap tahun
ada sekitar 140.000 orang Indonesia meninggal setiap tahunnya karena TB pam.
Salah satu usaha pemerintah dalam menanggulangi penyakit ini adalah melalui
Program Nasional Penanggulangan TB Pam, dimana dilakukan di setiap RS,
Puskesmas, dan UPK lain di seluruh Indonesia. Keberhasilan program ini dapat
diukur bila 70% dari perkiraan penderita bam yang ada dapat ditemukan dan diobati
dengan angka kesembuhan 85°;',.
Bcrdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa faktor pasien (usia,
pendidikan, penghasilan, tradisi berobat, tipe pengobatan, pengetahuan, dan sikap
pasien) dan faktor petugas (sikap petugas) mempengaruhi Keberhasilan Program
Penanggulangan TB Paru yang dapat dilihat dari indikator sembuh 'atau tidaknya
pasien.
Penelitian ini bersifat survei dengan pendekatan eksplanatori, populasi adalah
seluruh penderita TB pam yang telah menjalani pengobatan selama enam (6) bulan
sampaiAgustus 2002. Didapati populasi sebanyak 30 orang, dan seluruhnya dijadikan
sampef'bati fliolah dan dianalisa dengan komputer menggunakan uji statistik regresi
berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia (P=0,878), pendidikan (p=O,086),
tradisi berobat (p=0,404), pengetahuan (p=0,284) tidak berpengaruh (P>0,05)
terhadap Keberhasilan Program Penanggulangan TB Pam di Puskesmas Helvetia
Tahun 2002. Sedangkan penghasilan (p=0,036), tipe pengobatan (p=O,021), sikap
petugas (p=O,OOI), dan sikap petugas (p=0,002) berpengaruh (p<0,005) terhadap Keberhasilan Program Penanggulangan TB Pam di Puskesmas Helvetia Tahun 2002. Disarankan perlu membina kerjasama yang baik antara petugas dan pasien, dimana bila sikap Petugas baik hams diimbangi dengan sikap konsumen yang baik juga, untuk itu sebenamya Petugas perlu meneek secara langsung apakah saran yang mereka berikan memang betul-betul dilakukan pasien. Bila pasien meneruskan pengobatan di luar Puskesmas, perlu dijelaskan kepada mereka tentang tahap pengobatan yang diberikan pada mereka, sudah sampai berapa jauh pengobatan berjalan, berapa obat yang sudah dihabiskan, dan berapa lagi yang harus mereka minum. Diharapkan pasien tersebut dapat menjelaskan kembali pada Petugas di tempat lain, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pengobatan. Diberikan penjelasan kepada pasien mengapa perlu makan obat selama enam (6) bulan, sehingga diharapkan mereka menjadi tahu akan pentingnya masa pengobatan selama enam (6) bulan tersebut. Jika memungkinkan perlu dilakukan pemeriksaan status gizi dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sebelum pasien menggunakan OAT.