AB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari upaya pembangunan manusia
yang seutuhnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan
pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi
balita, dan pembinaan balita agar setiap balita yang dilahirkan akan tumbuh sehat dan
berkembang menjadi manusia Indonesia yang tangguh dan berkualitas (Depkes RI,
1999).
Kesehatan merupakan salah satu aspek dari kehidupan masyarakat, mutu hidup,
produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada bayi dan
anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta terganggunya perkembangan mental
adalah akibat l angsung atau tidak langsung dari masalah gizi kurang. Terjadinya
kerawanan gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena
ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi
kebutuhan (Winarno, 1990).
Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI
yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI
tersebut. Setelah itu ASI hanya berfungsi sebagai sumber protein vitamin dan mineral
utama untuk bayi yang mendapat makanan tambahan yang tertumpu pada beras atau
makanan lainnya.
Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara
memberi makan yang paling ideal untuk 4- 6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung
protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping
ASI (Evi, 1992).
Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi
umur 0 -2 bulan yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 21,2%;
makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berumur 3 -5
bulan, yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 60,2%; lumat/lembik
66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes - BPS, 1992).
Sementara itu, hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu
memberi makanan pralaktal (susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari
kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian kolostrum
62,6%. Selain itu, hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994
menunjukkan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif di pedesaan pada 1991
sebesar 54,9% dan menurun menjadi 48% pada 1994. Sedangkan di perkotaan pada
1991 sebesar 46,7% dan menurun menjadi 45,7% pada 1994 (Budiarso, 1995).
Data Unicef (2006), jumlah anak balita penderita gizi buruk di Indonesia
sudah mencapai 2,3 juta jiwa naik sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data
tahun 2005 sejumlah 1,8 juta ji wa. Kasus gizi buruk di Sumatera Utara berdasarkan
survei nasional Badan Pusat Statistik 2005 sebanyak 126.994 bayi bawah lima tahun
(balita) atau berumur 0 -59 bulan. Sumatera utara menempati urutan ke delapan di
antara provinsi lain. Provinsi tertinggi kasus gizi buruk terdapat di Gorontalo 15,41
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
persen, Maluku 15.19 persen, Papua 13,75 persen, Nusa Tenggara Timur 13,04
persen, Kalimantan Barat 11,50 persen, Kalimantan Timur 11,39 persen, dan
Sumatera Barat 10,81 persen (Andy, 2007).
Penelitian Edmond K., di Ghana terhadap 10.947 bayi dan diterbitkan dalam
jurnal ilmiah Pediatrics, 22% kematian bayi baru lahir (dalam satu bulan pertama)
dapat dicegah dengan bayi menyusu ibunya dalam satu jam pertama kelahiran.
Sedangkan menyusu pada hari pertama lahir dapat menekan angka kematian bayi
hingga 16% (Pusat Data Redaksi, 2006).
Penelitian di Langkat pada keluarga tidak miskin terdapat 63,64 % anak balita
berusia 19- 24 bulan tidak diberi ASI lagi. Sedangkan pada keluarga miskin
ditemukan terdapat 100 % anak usia 12- 24 bulan tidak mendapat ASI lagi dan ada
sebanyak 27.78 % anak balita anak berusia 18- 24 bulan hanya mengkonsumsi PASI
(teh manis, air tajin,air putih) saja tanpa makanan tambahan ( Sri, 2007).
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa anak -anak Indonesia yang lahir
dengan keadaan gizi baik akan bertahan hingga usia 6 bulan, setelah usia 6 bulan,
keadaan gizi mulai menurun. Hal ini terjadi karena semakin meningkat pula
kebutuhan gizinya, sementara produksi ASI semakin menurun dan pemberian MP -
ASI belum sesu ai dengan kecukupan gizi bayi. Kondisi ini pada gilirannya
menimbulkan kekurangan energi protein (KEP) pada bayi atau anak (Ali, 1999).
Penyebab gangguan pertumbuhan pada anak usia muda, antara lain dalam
penggunaan ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang
tepat (kurang memenuhi zat gizi baik macam maupun jumlahnya). Tingginya kasus
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
diare dan penyakit infeksi sehingga memperburuk kondisi status gizi dan kesehatan
bayi/anak (Hadju, 1997).
Menginjak usia batita usia batita (12 -36 bulan) para orang tua seringkali
khawatir mengenai menurunnya napsu makan da n pertumbuhan fisik anak mereka.
Berbeda dengan masa bayi 0 -12 bulan yang pertumbuhan fisiknya sangat cepat,
dengan kenaikan berat badan di tahun pertama yang mencapai 3 kali dari berat saat
lahir. Biasanya pertumbuhan fisik anak melambat di usia 12 bulan dan melambatnya
pertumbuhan fisik ini membuat kebutuhan kalori me reka tidak setinggi sebelumnya.
Dengan demikian batita membutuhkan makanan lebih sedikit dibandingkan saat bayi,
oleh seba b itu napsu makan mereka menurun. J ika anak sehat dan aktif, dan Ibu
memberikannya makanan yang bernutrisi, maka t idak ada masalah pada anak, namun
sebaliknya jika Ibu tidak memberi makanan yang bernutirsi maka pertumbuhan dan
perkembangan anak akan terhambat ( Jocelyn, 2007).
Sehubungan dengan fenomena diatas permasalahan yang juga ditemui pada
masyarakat Desa Palipi adalah adanya status gizi anak yang tidak baik (gizi buruk
dan kurang), penyapihan yang terlalu dini (di bawah 2 tahun), pemberian makanan
padat terlalu dini dan kualitas makanan tambahan yang diberikan rendah (Formulir
PSG di posayandu, 2007).
Mengacu pada permasalahan tersebut diatas penulis ingin meneliti lebih
tentang Pola Makan dan Penyapihan Serta Hubungannya dengan Status Gizi Batita di
Desa Palipi, Kecamatan Silima pungga -pungga, Kabupaten Dairi.
1.2. Permasalahan
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut: bagaimana pola makan dan penyapihan serta hubungannya dengan
status gizi batita, di D esa Palipi, Kecamatan Silima pungga -pungga, Kabupaten
Dairi?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola
makan dan penyapihan serta hubungannya dengan status gizi anak batita di Desa
Palipi , Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pola makan batita.
2. Untuk mengetahui pola penyapihan batita.
3. Untuk mengetahui gambaran status gizi batita.
4. Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan status gizi ba tita.
5. Untuk mengetahui hubungan pola penyapihan dengan status gizi batita.
1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan
masukan bagi daerah yang diteliti khususnya bagi perencana pogram baik di tingk at
Kabupaten maupun di tingkat Kecamatan dalam melakukan perbaikan gizi dan bagi
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
petugas kesehatan di Desa Palipi, diharapkan dapat memberi bantuan informasi dalam
melaksanakan penyuluhan kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Makan
Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk
dapat mempertahankan hidup serta menjalankan kehidupan. Makanan yang
dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai pengolahan. Dimasyarakat dikenal pola
makan atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat di mana seorang anak hidup.
Pola makan kelompok masyarakat tertentu juga menjadi pola makan anak. Seorang
anak dapat memiliki kebiasaan makan dan selera makan, yang terbentuk dari
kebiasaan makan masyarakatnya (Soegeng, 1999).
Pengertian pola makan menur ut Lie Goan Hong dan Sri Karjati (1985) adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas suatu
kelompok masyarakat.
Tujuan pemberian makanan yang sebai k-baiknya kepada bayi dan anak adalah
untuk mencukupkan kebutuhan mereka agar dapat memelihara kesehatan, cepat
memulihkan kondisi tubuh jika sakit, melaksanakan pelbagai jenis aktivitas, menjaga
petumbuhan dan perkembangan fisik serat psikomotorik. Di samping itu, agar mereka
terdidik kebiasaan yang baik tentang makanan dan menyukai makanan yang
diperlukan (RSCM dan Persagi, 1994).
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
Menurut Dina dan Maria (2002) makanan untuk bayi dan anak harus
memenuhi syarat -syarat sebagai berikut :
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari upaya pembangunan manusia
yang seutuhnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan
pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi
balita, dan pembinaan balita agar setiap balita yang dilahirkan akan tumbuh sehat dan
berkembang menjadi manusia Indonesia yang tangguh dan berkualitas (Depkes RI,
1999).
Kesehatan merupakan salah satu aspek dari kehidupan masyarakat, mutu hidup,
produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada bayi dan
anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta terganggunya perkembangan mental
adalah akibat l angsung atau tidak langsung dari masalah gizi kurang. Terjadinya
kerawanan gizi pada bayi disebabkan karena selain makanan yang kurang juga karena
ASI banyak diganti dengan susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi
kebutuhan (Winarno, 1990).
Pertumbuhan dan perkembangan bayi sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI
yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI
tersebut. Setelah itu ASI hanya berfungsi sebagai sumber protein vitamin dan mineral
utama untuk bayi yang mendapat makanan tambahan yang tertumpu pada beras atau
makanan lainnya.
Bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, menyusui merupakan cara
memberi makan yang paling ideal untuk 4- 6 bulan pertama sejak dilahirkan, karena
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung
protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping
ASI (Evi, 1992).
Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi
umur 0 -2 bulan yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 21,2%;
makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berumur 3 -5
bulan, yang mulai diberi makanan pendamping cair sebesar 60,2%; lumat/lembik
66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes - BPS, 1992).
Sementara itu, hasil penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa para ibu
memberi makanan pralaktal (susu formula dan madu) pada hari pertama atau hari
kedua sebelum ASI diberikan, sedangkan yang menghindari pemberian kolostrum
62,6%. Selain itu, hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994
menunjukkan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif di pedesaan pada 1991
sebesar 54,9% dan menurun menjadi 48% pada 1994. Sedangkan di perkotaan pada
1991 sebesar 46,7% dan menurun menjadi 45,7% pada 1994 (Budiarso, 1995).
Data Unicef (2006), jumlah anak balita penderita gizi buruk di Indonesia
sudah mencapai 2,3 juta jiwa naik sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data
tahun 2005 sejumlah 1,8 juta ji wa. Kasus gizi buruk di Sumatera Utara berdasarkan
survei nasional Badan Pusat Statistik 2005 sebanyak 126.994 bayi bawah lima tahun
(balita) atau berumur 0 -59 bulan. Sumatera utara menempati urutan ke delapan di
antara provinsi lain. Provinsi tertinggi kasus gizi buruk terdapat di Gorontalo 15,41
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
persen, Maluku 15.19 persen, Papua 13,75 persen, Nusa Tenggara Timur 13,04
persen, Kalimantan Barat 11,50 persen, Kalimantan Timur 11,39 persen, dan
Sumatera Barat 10,81 persen (Andy, 2007).
Penelitian Edmond K., di Ghana terhadap 10.947 bayi dan diterbitkan dalam
jurnal ilmiah Pediatrics, 22% kematian bayi baru lahir (dalam satu bulan pertama)
dapat dicegah dengan bayi menyusu ibunya dalam satu jam pertama kelahiran.
Sedangkan menyusu pada hari pertama lahir dapat menekan angka kematian bayi
hingga 16% (Pusat Data Redaksi, 2006).
Penelitian di Langkat pada keluarga tidak miskin terdapat 63,64 % anak balita
berusia 19- 24 bulan tidak diberi ASI lagi. Sedangkan pada keluarga miskin
ditemukan terdapat 100 % anak usia 12- 24 bulan tidak mendapat ASI lagi dan ada
sebanyak 27.78 % anak balita anak berusia 18- 24 bulan hanya mengkonsumsi PASI
(teh manis, air tajin,air putih) saja tanpa makanan tambahan ( Sri, 2007).
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa anak -anak Indonesia yang lahir
dengan keadaan gizi baik akan bertahan hingga usia 6 bulan, setelah usia 6 bulan,
keadaan gizi mulai menurun. Hal ini terjadi karena semakin meningkat pula
kebutuhan gizinya, sementara produksi ASI semakin menurun dan pemberian MP -
ASI belum sesu ai dengan kecukupan gizi bayi. Kondisi ini pada gilirannya
menimbulkan kekurangan energi protein (KEP) pada bayi atau anak (Ali, 1999).
Penyebab gangguan pertumbuhan pada anak usia muda, antara lain dalam
penggunaan ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang
tepat (kurang memenuhi zat gizi baik macam maupun jumlahnya). Tingginya kasus
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
diare dan penyakit infeksi sehingga memperburuk kondisi status gizi dan kesehatan
bayi/anak (Hadju, 1997).
Menginjak usia batita usia batita (12 -36 bulan) para orang tua seringkali
khawatir mengenai menurunnya napsu makan da n pertumbuhan fisik anak mereka.
Berbeda dengan masa bayi 0 -12 bulan yang pertumbuhan fisiknya sangat cepat,
dengan kenaikan berat badan di tahun pertama yang mencapai 3 kali dari berat saat
lahir. Biasanya pertumbuhan fisik anak melambat di usia 12 bulan dan melambatnya
pertumbuhan fisik ini membuat kebutuhan kalori me reka tidak setinggi sebelumnya.
Dengan demikian batita membutuhkan makanan lebih sedikit dibandingkan saat bayi,
oleh seba b itu napsu makan mereka menurun. J ika anak sehat dan aktif, dan Ibu
memberikannya makanan yang bernutrisi, maka t idak ada masalah pada anak, namun
sebaliknya jika Ibu tidak memberi makanan yang bernutirsi maka pertumbuhan dan
perkembangan anak akan terhambat ( Jocelyn, 2007).
Sehubungan dengan fenomena diatas permasalahan yang juga ditemui pada
masyarakat Desa Palipi adalah adanya status gizi anak yang tidak baik (gizi buruk
dan kurang), penyapihan yang terlalu dini (di bawah 2 tahun), pemberian makanan
padat terlalu dini dan kualitas makanan tambahan yang diberikan rendah (Formulir
PSG di posayandu, 2007).
Mengacu pada permasalahan tersebut diatas penulis ingin meneliti lebih
tentang Pola Makan dan Penyapihan Serta Hubungannya dengan Status Gizi Batita di
Desa Palipi, Kecamatan Silima pungga -pungga, Kabupaten Dairi.
1.2. Permasalahan
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut: bagaimana pola makan dan penyapihan serta hubungannya dengan
status gizi batita, di D esa Palipi, Kecamatan Silima pungga -pungga, Kabupaten
Dairi?
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola
makan dan penyapihan serta hubungannya dengan status gizi anak batita di Desa
Palipi , Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pola makan batita.
2. Untuk mengetahui pola penyapihan batita.
3. Untuk mengetahui gambaran status gizi batita.
4. Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan status gizi ba tita.
5. Untuk mengetahui hubungan pola penyapihan dengan status gizi batita.
1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan bahan
masukan bagi daerah yang diteliti khususnya bagi perencana pogram baik di tingk at
Kabupaten maupun di tingkat Kecamatan dalam melakukan perbaikan gizi dan bagi
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
petugas kesehatan di Desa Palipi, diharapkan dapat memberi bantuan informasi dalam
melaksanakan penyuluhan kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Makan
Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk
dapat mempertahankan hidup serta menjalankan kehidupan. Makanan yang
dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai pengolahan. Dimasyarakat dikenal pola
makan atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat di mana seorang anak hidup.
Pola makan kelompok masyarakat tertentu juga menjadi pola makan anak. Seorang
anak dapat memiliki kebiasaan makan dan selera makan, yang terbentuk dari
kebiasaan makan masyarakatnya (Soegeng, 1999).
Pengertian pola makan menur ut Lie Goan Hong dan Sri Karjati (1985) adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas suatu
kelompok masyarakat.
Tujuan pemberian makanan yang sebai k-baiknya kepada bayi dan anak adalah
untuk mencukupkan kebutuhan mereka agar dapat memelihara kesehatan, cepat
memulihkan kondisi tubuh jika sakit, melaksanakan pelbagai jenis aktivitas, menjaga
petumbuhan dan perkembangan fisik serat psikomotorik. Di samping itu, agar mereka
terdidik kebiasaan yang baik tentang makanan dan menyukai makanan yang
diperlukan (RSCM dan Persagi, 1994).
Ade Manalu : Pola Makan Dan Penyapihan Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Batita Di Desa Palip
Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi Tahun 2008, 2008.
USU Repository © 2009
Menurut Dina dan Maria (2002) makanan untuk bayi dan anak harus
memenuhi syarat -syarat sebagai berikut :