BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendengaran diperlukan untuk kemahiran berbicara. Gangguan
pendengaran yang terjadi pada usia prasekolah dapat berpengaruh pada
perkembangan berbicara, perkembangan so sial dan emosional, tingkah
laku, perhatian dan prestasi ak ademik, karena itu mengetahui adanya
gangguan pendengaran sedini mungk in penting untuk menentukan
kelangsungan hidup individu (Gomella et al, 2004; Haddad Jr. J., 2004).
Di tiga negara bagian Amerika Serikat dari tahun 1995 - 1999, bayi
baru lahir yang mengalami tuli bilatera l berkisar 1-3 bayi per 1000 bayi pada
bayi yang sehat dan sebanyak 2-4 bayi per 1000 bayi pada bayi yang
dirawat secara intensif. Connolly pada tahun 2005, menemukan gangguan
pendengaran sebanyak 1 dari 811 kelahiran tanpa faktor risiko dan 1 dari 75
kelahiran dengan faktor risiko (Michele et al, 2005; Sokol & Hyde, 2002).
Di Bulacan-Philipina, dari 724 bayi baru lahir dijumpai 708 (97,8%)
bayi dengan pendengaran normal, 7 (1,0%) bayi mengalami tuli unilateral, 8
(1,1%) bayi mengalami tuli ringan bila teral dan 1 (0,1%) bayi mengalami tuli
berat bilateral (Chiong C, 2007) .
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Survei Kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada 7 propinsi
di Indonesia (1994 – 1996) mendapatkan prev alensi tuli sejak lahir sebesar
0.1 % dari 19.375 sample yang diperi ksa. Dari angka tersebut dapat kita
perkirakan berapa jumlah penderita ke tulian penduduk Indonesia saat ini
(Hendarmin H, 2006).
Suleh & Djelantik ( 1999) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
melaporkan, dari 212 bayi yang dila kukan pemeriksaan emisi otoakustik,
ditemukan 3 bayi dengan hasil refer pada kedua telinganya.
Di Liguria, Italy, dari 3238 bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan
emisi otoakustik, sebanyak 3180 bay i (98,2%) memberikan hasil ‘pass’ dan
sebanyak 58 bayi (1,8%) memberikan hasil ‘refer’ (Calevo M. G. et al, 2007).
Gangguan pendengaran sering diabaikan karena orangtua tidak
langsung sadar anaknya mender ita gangguan, kadang - kadang anak
dianggap sebagai anak autis atau hiperaktif kar ena sikapnya yang sulit
diatur. Oleh karena itu diagnos a dini gangguan pen dengaran sangatlah
penting. Menemukan gangguan pendengar an pada bayi tidaklah mudah,
seringkali baru diketahui setelah usia 2 – 3 tahun. Menurut Sininger di AS
tanpa program skrining pendengaran gangguan pendengaran baru diketahui
pada usia 18 – 24 bulan. Di Poliklinik THT Kom unitas RSCM (1992 – 2006)
didapatkan 3087 bayi/anak tuli saraf berat b ilateral usia terbanyak adalah
1 – 3 tahun (43,70%) dan 6,41% yang berusia di bawah 1 tahun (Suwento,
2007).
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan
gangguan pendengaran sedini m ungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi
segera, menggunakan pemeriksaan elek trofisiologik; bersifat obyektif,
praktis, otomatis dan non invasive (Suwento, 2007).
The National Institute of Health di Amerika pada tahun 1993
menganjurkan semua bayi baru lahir d ilakukan skrining pendengaran, dan
sebaiknya dilakukan sebelum bayi m eninggalkan rumah sakit. Bayi yang
mengalami hasil tes refer agar dilakukan evaluasi fungsi pendengaran
secara komprehensif sebelum umur 6 bulan ( Suardana W., 2008 ).
Skrining pendengaran pada bayi baru lahir atau Newborn Hearing
Screening (NHS) dibedakan menjadi: Universal Newborn Hearing Screening
(pada semua bayi) dan Targeted Newborn Hearing Screening (hanya bayi
berisiko tinggi). Seharusnya skrining di lakukan pada seluruh bayi baru lahir,
karena deteksi yang dilakukan pada bay i yang dengan faktor risiko hanya
menemukan 50% kasus dengan ketulian, sedangkan telah dibuktikan bahwa
50% lagi bayi dengan ketulian te rjadi pada bayi normal tanpa risiko
(Suardana, 2008; Suwento, 2007 ).
Deteksi gangguan pendengaran sebetul nya dapat dilakukan oleh
orangtua secara sederhana, misaln ya dengan memperdengarkan sumber
bunyi ke bayi dan mengamati ada atau ti dak respons bayi terhadap suara,
namun pemeriksaan tersebut bersifat subyektif. Kini dengan kemajuan
teknologi, pemeriksaan pendengaran yang obyektif dapat dilakukan sedini
mungkin dengan menggunakan alat yang relatif aman dan mudah
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
digunakan, salah satunya dengan menggun akan alat emisi otoakustik, yang
saat ini merupakan pemeriksaan bak u emas. Tentu saja dengan adanya
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendengaran diperlukan untuk kemahiran berbicara. Gangguan
pendengaran yang terjadi pada usia prasekolah dapat berpengaruh pada
perkembangan berbicara, perkembangan so sial dan emosional, tingkah
laku, perhatian dan prestasi ak ademik, karena itu mengetahui adanya
gangguan pendengaran sedini mungk in penting untuk menentukan
kelangsungan hidup individu (Gomella et al, 2004; Haddad Jr. J., 2004).
Di tiga negara bagian Amerika Serikat dari tahun 1995 - 1999, bayi
baru lahir yang mengalami tuli bilatera l berkisar 1-3 bayi per 1000 bayi pada
bayi yang sehat dan sebanyak 2-4 bayi per 1000 bayi pada bayi yang
dirawat secara intensif. Connolly pada tahun 2005, menemukan gangguan
pendengaran sebanyak 1 dari 811 kelahiran tanpa faktor risiko dan 1 dari 75
kelahiran dengan faktor risiko (Michele et al, 2005; Sokol & Hyde, 2002).
Di Bulacan-Philipina, dari 724 bayi baru lahir dijumpai 708 (97,8%)
bayi dengan pendengaran normal, 7 (1,0%) bayi mengalami tuli unilateral, 8
(1,1%) bayi mengalami tuli ringan bila teral dan 1 (0,1%) bayi mengalami tuli
berat bilateral (Chiong C, 2007) .
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Survei Kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada 7 propinsi
di Indonesia (1994 – 1996) mendapatkan prev alensi tuli sejak lahir sebesar
0.1 % dari 19.375 sample yang diperi ksa. Dari angka tersebut dapat kita
perkirakan berapa jumlah penderita ke tulian penduduk Indonesia saat ini
(Hendarmin H, 2006).
Suleh & Djelantik ( 1999) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
melaporkan, dari 212 bayi yang dila kukan pemeriksaan emisi otoakustik,
ditemukan 3 bayi dengan hasil refer pada kedua telinganya.
Di Liguria, Italy, dari 3238 bayi baru lahir yang dilakukan pemeriksaan
emisi otoakustik, sebanyak 3180 bay i (98,2%) memberikan hasil ‘pass’ dan
sebanyak 58 bayi (1,8%) memberikan hasil ‘refer’ (Calevo M. G. et al, 2007).
Gangguan pendengaran sering diabaikan karena orangtua tidak
langsung sadar anaknya mender ita gangguan, kadang - kadang anak
dianggap sebagai anak autis atau hiperaktif kar ena sikapnya yang sulit
diatur. Oleh karena itu diagnos a dini gangguan pen dengaran sangatlah
penting. Menemukan gangguan pendengar an pada bayi tidaklah mudah,
seringkali baru diketahui setelah usia 2 – 3 tahun. Menurut Sininger di AS
tanpa program skrining pendengaran gangguan pendengaran baru diketahui
pada usia 18 – 24 bulan. Di Poliklinik THT Kom unitas RSCM (1992 – 2006)
didapatkan 3087 bayi/anak tuli saraf berat b ilateral usia terbanyak adalah
1 – 3 tahun (43,70%) dan 6,41% yang berusia di bawah 1 tahun (Suwento,
2007).
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan
gangguan pendengaran sedini m ungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi
segera, menggunakan pemeriksaan elek trofisiologik; bersifat obyektif,
praktis, otomatis dan non invasive (Suwento, 2007).
The National Institute of Health di Amerika pada tahun 1993
menganjurkan semua bayi baru lahir d ilakukan skrining pendengaran, dan
sebaiknya dilakukan sebelum bayi m eninggalkan rumah sakit. Bayi yang
mengalami hasil tes refer agar dilakukan evaluasi fungsi pendengaran
secara komprehensif sebelum umur 6 bulan ( Suardana W., 2008 ).
Skrining pendengaran pada bayi baru lahir atau Newborn Hearing
Screening (NHS) dibedakan menjadi: Universal Newborn Hearing Screening
(pada semua bayi) dan Targeted Newborn Hearing Screening (hanya bayi
berisiko tinggi). Seharusnya skrining di lakukan pada seluruh bayi baru lahir,
karena deteksi yang dilakukan pada bay i yang dengan faktor risiko hanya
menemukan 50% kasus dengan ketulian, sedangkan telah dibuktikan bahwa
50% lagi bayi dengan ketulian te rjadi pada bayi normal tanpa risiko
(Suardana, 2008; Suwento, 2007 ).
Deteksi gangguan pendengaran sebetul nya dapat dilakukan oleh
orangtua secara sederhana, misaln ya dengan memperdengarkan sumber
bunyi ke bayi dan mengamati ada atau ti dak respons bayi terhadap suara,
namun pemeriksaan tersebut bersifat subyektif. Kini dengan kemajuan
teknologi, pemeriksaan pendengaran yang obyektif dapat dilakukan sedini
mungkin dengan menggunakan alat yang relatif aman dan mudah
Okti Trihandani : Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di
RSUP H.Adam Malik Medan Dan Balai Pelayanan Kesehatan Dr.Pirngadi Medan, 2009
USU Repository © 2008
digunakan, salah satunya dengan menggun akan alat emisi otoakustik, yang
saat ini merupakan pemeriksaan bak u emas. Tentu saja dengan adanya