BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wajah secara topografis merupakan bagian tubuh yang tidak terlindungi dan mudah
terpapar trauma, sehingga cedera wajah merupakan merupakan cedera yang sangat sering
dijumpai. Fraktur tulang wajah paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dan
perkelahian, sehingga umumnya merupakan kasus multiple trauma. Meskipun fraktur tulang
wajah sendiri jarang membutuhkan tindakan bedah segera, namun cedera yang menyertai sering
merupakan kasus bedah emergensi.(Schwartz, 2003)
Trauma maxillofacial merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di
seluruh dunia. Hal ini berhubungan dengan tinggi nya insidensi fraktur tulang wajah dengan
berbagai kombinasi, dengan fraktur mandibula sa bagai salah satu yang paling sering didapati.
Kecelakaan lalulintas dilaporkan sebagai penyebab tersering dari fraktur mandibula di negara-
negera berkembang, sedangkan di negara-negar a maju penyebab te rseringnya adalah
perkelahian (Ajmal, 2007).
Rai (2006) menyebutkan tulang wajah yang pa ling sering mengalami fraktur adalah
mandibula (61%), diikuti zygoma (27%) dan tulang hidung (19,5%).
Penelitian di RSCM menyebutkan sejumlah 494 kasus fraktur tulang muka dalam 4
tahun, setara dengan 10,3 kasus perbulan (Moenadjat, 2002). Pasien-pasien dengan fraktur tulang
wajah sering memiliki cedera penyerta, tersering adalah trauma kepala (Sukasah, 1998)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Penelitian oleh Fawzy dan Sudjatmi ko (2007) di RSCM Jakarta menemukan
rata-rata 14,3 kasus fraktur tulang muka setiap bulannya, 31,4% diantaranya disertai cedera
otak serius. Penelitian tersebut menemukan fr aktur mandibula sebagai yang tersering (31,30%),
diikuti oleh fraktur maksila (23,48%). Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya fraktur tulang
muka 1/3 tengah mengurangi re siko terjadinya cedera otak traumatika yang lebih berat,
sementara fraktur mandibula menambah resiko terjad inya cedera otak yang lebih berat, dimana
keparahan cedera otak dinilai berdasarkan SKG.
Berdasarkan SKG cedera otak dibagi atas :
1. cedara otak ringan SKG 14 – 15
2. cedera otak sedang SKG 9 – 13
3. cedera otak berat SKG < 9
Di lain pihak, penelitian Hung (2005) terhad ap 225 pasien fraktur mandibula menemukan
bahwa pasien dengan fraktur mandibula yang le bih berat, lebih kecil kemungkinannya untuk
mengalami penurunan kesadaran dibanding dengan pasien dengan fraktur mandibula yang lebih
ringan. Pada kelompok pasien yang tidak mengalami penurunan kesadaran, 46% mengalami
fraktur mandibula dengan satu garis fraktur, 46 % dengan dua garis fraktur dan 8 % dengan tiga
garis fraktur, sedangkan pada kelompok pa sien yang mengalami penurunan kesadaran, 73%
mengalami fraktur mandibula dengan satu garis fr aktur, 27% dengan dua garis fraktur dan tidak
ada yang dengan tiga garis fraktur.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Di Medan belum pernah dilaporkan baga imana hubungan antara keparahan fraktur
mandibula dengan berat ringannya cedera otak yang menyertai.
1.2. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan keparahan cedera
kepala yang menyertai.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1. Tujuan Penelitian
Untuk menentukan bagaimana hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan
berat ringannya cedera kepala pada kasus- kasus trauma.
2.2. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi penelitian awal untuk dilanjutkan sebagai
penelitian berkesinambungan dalam rangka menamb ah pengetahuan calon ahli bedah tentang
hubungan antara pola fraktur mandibula dengan derajat cedera kepala pada pasien trauma, untuk
kepentingan ilmiah dan pelayanan kesehatan dalam upaya menurunkan angka mortalitas maupun
morbiditas pada kasus-kasus trauma.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Mandibula memiliki struktur anatomis se perti balok melintang dengan dua pennyangga
yang terhubung dengan dasar tengkorak melalu i sendi temporo mandibular. Hubungan ini
membentuk struktur seperti cincin yang rentan terhadap pola fraktur tertentu. Otot-otot masseter,
pterygoid medial, pterygoid late ral dan temporalis merupakan otot-otot mastikasi yang
memproduksi gerakan sekaligus penahan mandibula. Arah tarikan dari otot-otot ini menentukan
stabilitas dari pola fraktur mandibula terten tu, sehingga fraktur mandibula dapat dibedakan
sebagai yang favourable dan unfavourable (Peltier, 2004).
Fraktur mandibula paling sering dialami oleh la ki-laki dewasa. Fraktur dapat single atau
multiple. Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya gigi yang
tanggal pada daerah fraktur. Fraktur klas I jika gigi masih ada pada kedua sisi garis fraktur, klas
II jika ada gigi yang tanggal pada salah satu sisi garis fraktur dan klas III jika gigi tanggal pada
kedua sisi garis fraktur. (Stierman , 2000).
Kekuatan benturan yang dibutuhkan untuk menyebabkan fraktur masing-masing tulang
wajah sudah pernah diteliti. Peneli tian tersebut membaginya menjadi high impact (lebih dari 50
kali gaya gravitasi) dan low impact (kurang dari 50 kali gaya gravitasi). Fraktur rim supraorbital ,
simfisis mandibula, glabella dan angulus mandibula tergolong fraktur high impact , sedangkan
fraktur zygoma dan tulang hidung tergolong fraktur low impact.(Widell, 2005)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Fraktur mandibula dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bagi an tulang yang paling
lemah dan tempat fraktur yang paling sering adal ah : (1) kolum kondilus, (2) angulus mandibula
dan (3) regio premolar. Fraktur pada angulus da n corpus mandibula adalah fraktur terbuka, tapi
tidak pada fraktur rami, kondilus atau prosesus koronoideus. Seringkali pasien fraktur mandibula
disertai dengan cedera yang lain, dan kombinasi pada cedera rahang dan kepala sangat umum
terjadi. (King dan Bewes, 2002)
Secara keseluruhan, keparahan fraktur mandibula dapat berupa ada atau tidaknya
displacement ( favourable atau unfavourable), letak garis fraktur (simfi sis, angulus, ramus dll),
ada atau tidaknya avulsi gigi di daerah fraktur (klas I, klas II at au klas III), unilateral/bilateral
atau jumlah garis fraktur (single atau multiple).
Diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh terh adap tulang wajah pada pasien dengan
fraktur mandibula, karena sering terdapat cedera yang multiple. Secara khusus pemeriksaan
terhadap adanya fraktur mandibula adalah :
• Uji stabilitas gigi dan inspeksi terhadap ad anya perdarahan pada gusi, sebagai symptom
adanya fraktur alveolar.
• Memeriksa ada tidaknya maloklusi dan step-off
• .Melakukan palapasi terhadap mandibula untuk mencari adanya rasa sakit, bengkak dan
step-off disepanjang simfisis, corpus dan prosesus coronoideus anterior.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
• Memeriksa adanya edema yang terlokalisir atau ekimosis pada dasar mulut.
• Jika ada gigi yang hilang, pastikan bahwa gigi tersebut tidak teraspirasi.
• Lakukan inspeksi di anterior lubang telinga , apakah terlihat ekimosis dan lakukan
palpasi untuk menentukan adanya rasa sakit. Area ini adalah kondilus mandibula
yang sering tak terlihat pada pemeriksaan radiologis.
• Fraktur mandibula dianggap terjadi jika pada pasien ditemukan adanya kesulitan
membuka mulut, trismus, maloklusi gigi, atau teraba step-off pada simfisis, angulus atau
korpus mandibula. Perdarahan gusi didasar
gigi juga menunjukkan adanya fraktur mandi bula, terutama jika terjadi malalignment
gigi. Edema atau ekimosis dapat ditemukan pa da dasar mulut. Defisit neurologis dapat
ditemukan berupa hipestesia di alveolar inferior dan mentum.
Pemeriksaan Radiologis :
• Yang terbaik adalah foto panorama view / Panorex. Namun jika foto ini tidak dapat
dilakukan, lakukan foto rutin mandibula.
• Foto rutin mandibula mencakup proyeksi AP dan lateral oblique bila teral untuk melihat
angulus dan korpus mandibula.
• Foto submental juga dapat membantu memastikan kondisi simfisis mandibula.(Widell,
2005).
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
• Dalam kondisi yang amat terbatas schedell photo proyeksi AP dan Lateral saja sudah
cukup memadai.
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan
cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalulintas
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, korban kekerasan dan lain-lain.
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada pada kepala, mulai dari bagian
terluar (scalp) hingga bagian terdalam (intr acranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki
kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi.(Japardi, 2005)
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.
• Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik
yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan dapat bersifat fokal ataupun difus.
• Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh karena hipoksia, iskemia, pembengkakan
otak, tekanan tinggi intra karanial, hidrosefal us dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kerusakan hipoksi-iskemik
menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh.(Japardi, 2005)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Pemeriksaan neurologis yang harus segera di lakukan terhadap pende rita cedera kepala
segera setelah resusitasi meliputi
1. Tingkat kesadaran
2. Pupil dan pergerakan bola mata.
3. Reaksi motorik terhadap rangsang dari luar
4. Reaksi motorik terbaik
5. Pola pernapasan .
Tingkat kesadaran dinilai dengan Skala Koma Glasgow (SKG), yang terdiri dari 3
komponen, yaitu :
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wajah secara topografis merupakan bagian tubuh yang tidak terlindungi dan mudah
terpapar trauma, sehingga cedera wajah merupakan merupakan cedera yang sangat sering
dijumpai. Fraktur tulang wajah paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dan
perkelahian, sehingga umumnya merupakan kasus multiple trauma. Meskipun fraktur tulang
wajah sendiri jarang membutuhkan tindakan bedah segera, namun cedera yang menyertai sering
merupakan kasus bedah emergensi.(Schwartz, 2003)
Trauma maxillofacial merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di
seluruh dunia. Hal ini berhubungan dengan tinggi nya insidensi fraktur tulang wajah dengan
berbagai kombinasi, dengan fraktur mandibula sa bagai salah satu yang paling sering didapati.
Kecelakaan lalulintas dilaporkan sebagai penyebab tersering dari fraktur mandibula di negara-
negera berkembang, sedangkan di negara-negar a maju penyebab te rseringnya adalah
perkelahian (Ajmal, 2007).
Rai (2006) menyebutkan tulang wajah yang pa ling sering mengalami fraktur adalah
mandibula (61%), diikuti zygoma (27%) dan tulang hidung (19,5%).
Penelitian di RSCM menyebutkan sejumlah 494 kasus fraktur tulang muka dalam 4
tahun, setara dengan 10,3 kasus perbulan (Moenadjat, 2002). Pasien-pasien dengan fraktur tulang
wajah sering memiliki cedera penyerta, tersering adalah trauma kepala (Sukasah, 1998)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Penelitian oleh Fawzy dan Sudjatmi ko (2007) di RSCM Jakarta menemukan
rata-rata 14,3 kasus fraktur tulang muka setiap bulannya, 31,4% diantaranya disertai cedera
otak serius. Penelitian tersebut menemukan fr aktur mandibula sebagai yang tersering (31,30%),
diikuti oleh fraktur maksila (23,48%). Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya fraktur tulang
muka 1/3 tengah mengurangi re siko terjadinya cedera otak traumatika yang lebih berat,
sementara fraktur mandibula menambah resiko terjad inya cedera otak yang lebih berat, dimana
keparahan cedera otak dinilai berdasarkan SKG.
Berdasarkan SKG cedera otak dibagi atas :
1. cedara otak ringan SKG 14 – 15
2. cedera otak sedang SKG 9 – 13
3. cedera otak berat SKG < 9
Di lain pihak, penelitian Hung (2005) terhad ap 225 pasien fraktur mandibula menemukan
bahwa pasien dengan fraktur mandibula yang le bih berat, lebih kecil kemungkinannya untuk
mengalami penurunan kesadaran dibanding dengan pasien dengan fraktur mandibula yang lebih
ringan. Pada kelompok pasien yang tidak mengalami penurunan kesadaran, 46% mengalami
fraktur mandibula dengan satu garis fraktur, 46 % dengan dua garis fraktur dan 8 % dengan tiga
garis fraktur, sedangkan pada kelompok pa sien yang mengalami penurunan kesadaran, 73%
mengalami fraktur mandibula dengan satu garis fr aktur, 27% dengan dua garis fraktur dan tidak
ada yang dengan tiga garis fraktur.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Di Medan belum pernah dilaporkan baga imana hubungan antara keparahan fraktur
mandibula dengan berat ringannya cedera otak yang menyertai.
1.2. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan keparahan cedera
kepala yang menyertai.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1. Tujuan Penelitian
Untuk menentukan bagaimana hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan
berat ringannya cedera kepala pada kasus- kasus trauma.
2.2. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi penelitian awal untuk dilanjutkan sebagai
penelitian berkesinambungan dalam rangka menamb ah pengetahuan calon ahli bedah tentang
hubungan antara pola fraktur mandibula dengan derajat cedera kepala pada pasien trauma, untuk
kepentingan ilmiah dan pelayanan kesehatan dalam upaya menurunkan angka mortalitas maupun
morbiditas pada kasus-kasus trauma.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Mandibula memiliki struktur anatomis se perti balok melintang dengan dua pennyangga
yang terhubung dengan dasar tengkorak melalu i sendi temporo mandibular. Hubungan ini
membentuk struktur seperti cincin yang rentan terhadap pola fraktur tertentu. Otot-otot masseter,
pterygoid medial, pterygoid late ral dan temporalis merupakan otot-otot mastikasi yang
memproduksi gerakan sekaligus penahan mandibula. Arah tarikan dari otot-otot ini menentukan
stabilitas dari pola fraktur mandibula terten tu, sehingga fraktur mandibula dapat dibedakan
sebagai yang favourable dan unfavourable (Peltier, 2004).
Fraktur mandibula paling sering dialami oleh la ki-laki dewasa. Fraktur dapat single atau
multiple. Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya gigi yang
tanggal pada daerah fraktur. Fraktur klas I jika gigi masih ada pada kedua sisi garis fraktur, klas
II jika ada gigi yang tanggal pada salah satu sisi garis fraktur dan klas III jika gigi tanggal pada
kedua sisi garis fraktur. (Stierman , 2000).
Kekuatan benturan yang dibutuhkan untuk menyebabkan fraktur masing-masing tulang
wajah sudah pernah diteliti. Peneli tian tersebut membaginya menjadi high impact (lebih dari 50
kali gaya gravitasi) dan low impact (kurang dari 50 kali gaya gravitasi). Fraktur rim supraorbital ,
simfisis mandibula, glabella dan angulus mandibula tergolong fraktur high impact , sedangkan
fraktur zygoma dan tulang hidung tergolong fraktur low impact.(Widell, 2005)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Fraktur mandibula dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bagi an tulang yang paling
lemah dan tempat fraktur yang paling sering adal ah : (1) kolum kondilus, (2) angulus mandibula
dan (3) regio premolar. Fraktur pada angulus da n corpus mandibula adalah fraktur terbuka, tapi
tidak pada fraktur rami, kondilus atau prosesus koronoideus. Seringkali pasien fraktur mandibula
disertai dengan cedera yang lain, dan kombinasi pada cedera rahang dan kepala sangat umum
terjadi. (King dan Bewes, 2002)
Secara keseluruhan, keparahan fraktur mandibula dapat berupa ada atau tidaknya
displacement ( favourable atau unfavourable), letak garis fraktur (simfi sis, angulus, ramus dll),
ada atau tidaknya avulsi gigi di daerah fraktur (klas I, klas II at au klas III), unilateral/bilateral
atau jumlah garis fraktur (single atau multiple).
Diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh terh adap tulang wajah pada pasien dengan
fraktur mandibula, karena sering terdapat cedera yang multiple. Secara khusus pemeriksaan
terhadap adanya fraktur mandibula adalah :
• Uji stabilitas gigi dan inspeksi terhadap ad anya perdarahan pada gusi, sebagai symptom
adanya fraktur alveolar.
• Memeriksa ada tidaknya maloklusi dan step-off
• .Melakukan palapasi terhadap mandibula untuk mencari adanya rasa sakit, bengkak dan
step-off disepanjang simfisis, corpus dan prosesus coronoideus anterior.
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
• Memeriksa adanya edema yang terlokalisir atau ekimosis pada dasar mulut.
• Jika ada gigi yang hilang, pastikan bahwa gigi tersebut tidak teraspirasi.
• Lakukan inspeksi di anterior lubang telinga , apakah terlihat ekimosis dan lakukan
palpasi untuk menentukan adanya rasa sakit. Area ini adalah kondilus mandibula
yang sering tak terlihat pada pemeriksaan radiologis.
• Fraktur mandibula dianggap terjadi jika pada pasien ditemukan adanya kesulitan
membuka mulut, trismus, maloklusi gigi, atau teraba step-off pada simfisis, angulus atau
korpus mandibula. Perdarahan gusi didasar
gigi juga menunjukkan adanya fraktur mandi bula, terutama jika terjadi malalignment
gigi. Edema atau ekimosis dapat ditemukan pa da dasar mulut. Defisit neurologis dapat
ditemukan berupa hipestesia di alveolar inferior dan mentum.
Pemeriksaan Radiologis :
• Yang terbaik adalah foto panorama view / Panorex. Namun jika foto ini tidak dapat
dilakukan, lakukan foto rutin mandibula.
• Foto rutin mandibula mencakup proyeksi AP dan lateral oblique bila teral untuk melihat
angulus dan korpus mandibula.
• Foto submental juga dapat membantu memastikan kondisi simfisis mandibula.(Widell,
2005).
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
• Dalam kondisi yang amat terbatas schedell photo proyeksi AP dan Lateral saja sudah
cukup memadai.
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan
cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalulintas
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, korban kekerasan dan lain-lain.
Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada pada kepala, mulai dari bagian
terluar (scalp) hingga bagian terdalam (intr acranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki
kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi.(Japardi, 2005)
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.
• Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik
yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan dapat bersifat fokal ataupun difus.
• Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh karena hipoksia, iskemia, pembengkakan
otak, tekanan tinggi intra karanial, hidrosefal us dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kerusakan hipoksi-iskemik
menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh.(Japardi, 2005)
Andi Falatehan : Hubungan Antara Keparahan Fraktur Mandibula Dan Keparahan Cedera Kepala, 2008
USU e-Repository © 2009
Pemeriksaan neurologis yang harus segera di lakukan terhadap pende rita cedera kepala
segera setelah resusitasi meliputi
1. Tingkat kesadaran
2. Pupil dan pergerakan bola mata.
3. Reaksi motorik terhadap rangsang dari luar
4. Reaksi motorik terbaik
5. Pola pernapasan .
Tingkat kesadaran dinilai dengan Skala Koma Glasgow (SKG), yang terdiri dari 3
komponen, yaitu :
0 comments:
Posting Komentar
Berikan Komentar yang membangun demi perkembangan Blog ini. Terima kasih buat semuanya yang telah memberikan komentar.
Lihat semua Komentar Klik Disini