BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemakaian kateter uretra sangat diperlukan pada penderita dengan inkontinensia
urin atau retensi urin. Di SMF Bedah RSU Pusat H. Adam Malik dan RSU Pirngadi
Medan cukup banyak penderita retensi urin yang memerlukan kateter menetap sebagai
tindakan sementara sebelum dilakukan tindakan definitive, terutama penderita “Benign
Prostate Hyperplasia” (BPH) dengan retensi urin. Dalam mempersiapkan tindakan
operasi definitive mereka menunggu cukup lama yaitu antara 2 sampai 4 minggu. Di
samping itu banyak penderita – penderita dengan penyakit kronis atau debilitas yang
memerlukan kateter uretral menetap yang menahun.
Di sisi lain terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pemakaian kateter
uretra menetap (indwelling urethral catheter). Salah satunya adalah terbentuknya
enkrustasi pada permukaan kateter yang dapat menyebabkan tersumbatnya kateter
sehingga urine merembes diantara kateter dan mukosa uretra, terasa nyeri serta rasa tak
nyaman bagi penderita (Hukins DWL, 2005; Stickler DJ, 2004; Weber R. 2004).
Pemakaian kateter juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (Weber R,
2004). Organisme penyebab bakteri aerob, seperti Proteus mirabilis dan Klebsiella
pneumonae (Madigan E et al, 2003; Stickler DJ, 2004 ). Bakteri tersebut merupakan
pemecah urea (urea splitter), sehingga dapat menyebabkan alkalinisasi urin. Akibat
meningkatnya pH–urin tersebut terjadi supersaturasi dengan Ammonium Magnesium
Fosfat (Struvite) dan Kalsium Fosfat (CaP) (Stickler DJ, 2004). Garam tersebut
1
cenderung mengendap pada kateter dan lumennya yang dapat menyebabkan iritasi dan
kateter tersumbat. Sehubungan dengan permasalahan di atas peneliti ingin mengetahui
sejauh mana pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter
uretra menetap.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang ingin kami jawab
melalui penelitian ini adalah :
Apakah ada pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada kateter.
2
BAB II
TUJUAN, HIPOTESA DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengkaji pembentukan enkrustasi yang te rjadi pada pemakaian kateter uretra
menetap.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui keadaan pH–urin pada pemasangan kateter uretra menetap.
b. Mengetahui banyaknya kejadian pembentuka n enkrustasi pada pemakaian kateter
uretra menetap.
c. Mengetahui pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada kateter
uretra menetap.
2.2. Hipotesa
Semakin tinggi pH-urin semakin mudah terjadi pembentukan enkrustasi pada
kateter.
2.3 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh data tentang pengaruh perubahan
pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter uretra menetap.
3
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pemakaian kateter uretra menetap seri ng dilakukan dalam menangani tindakan
sementara penderita retensi urin karena BP H. Enkrustasi merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi pada pemakaian kateter uretra menetap dan sistem drainase urin
lainnya (Hukins DWL, 2005; Madigan E. et al, 2003; Stickler DJ, 2004; Weber R, 2004).
Akibat dari enkrustasi tersebut, terjadi peny umbatan kateter sehingga
menimbulkan rasa nyeri dan tidak nyaman karena retensi urin dan bocornya urin lewat
sela kateter. Terdapat 4 fa ktor penyebab disfungsi kateter yaitu kateter, penderita,
bakteriuria dan perawatan yang tidak bai k. Permukaan kateter yang kasar karena
pengendapan enkrustasi tersebut menimbulkan rasa nyeri dan trauma terhadap uretra
pada saat kateter dilepas. Pemakaian kate ter juga meningkatkan resiko infeksi dan
timbulnya enkrustasi akan melindungi bakteri terhadap pemberian antibiotika sehingga
terjadi infeksi yang persisten (Hukins DWL, 2005).
Sejarah Penemuan Enkrustasi pada Kateter
Terbentuknya enkrustasi dan batu pada benda asing yang ditempatkan pada buli –
buli diperkenalkan dan dibuktikan kebenarannya pada tahun 1790 oleh Austin. Hellstrom
(1938) membuktikan perbedaan antara batu saluran kencing yang berbentuk karena
metabolik steril dan batu yang terbentuk karena infeksi. Pada tahun 1950 Vermeulen dan
kawan – kawan memperlihatkan bahwa kom posisi enkrustasi pada berbagai macam
benda asing dalam buli – buli adalah struvite. Pada abad ke 19, Ulex seorang ahli geologi
dari Swedia menemukan mineral Mg NH 4 PO4.6H2O pada kotoran kelelawar, kemudian
4
mineral tersebut diberi nama “Struvite” untuk memberi hadiah mentornya yang bernama
Baron H.C.G. von Struve seor ang diplomat dan naturalis Rusia (Hukins DWL, 2005).
Hubungan antara batu struvite dan urin yang terinfeksi dengan bakteri pemecah urea
dijelaskan oleh Griffith dkk pada tahun 1976. Hedelin dkk (1984) dan Griffith dkk (1988)
mencoba melakukan pencegahan terbent uknya enkrustasi dengan cara menghilangkan
atau mengeradikasi infeksi atau mengubah kom poisi mineral dalam urin atau pH–urin
tetapi tidak berhasil.
Komposisi Enkrustasi
Bahan enkrustasi diperiksa dengan X– ray difraksi dan dengan analisa kimia
menunjukkan komponen terbanyak adalah Ammoni um Magnesium Fosfat (Struvite) dan
Kalsium Fosfat (CaP). Sebenarnya komposisi dari struvite adalah magnesium ammonium
fosfat (Mg NH 4 PO 4.6H2O) dan carbonate apatit (Ca 10(PO4)6.CO3), yang sering disebut
dengan tripel fosfat. Kalsium Oksala t juga merupakan komponen penting yang
ditemukan pada analisa enkrustasi tersebut. Komposisi ini sesuai dengan penelitian yang
pernah dilakukan Hedelin dkk dan Cox dkk. Terdapat hubungan yang bermakna antara
frekwensi sumbatnya kateter dengan kadar Ka lsium Fosfat pada enkrustasi. Kalsium
Fosfat berupa serbuk yang lebih mudah menyu mbat lumen kateter daripada kristal yang
lebih besar
Lokasi Enkrustasi
Enkrustasi terbentuk di permukaan katete r dan balon yasng te rlindung oleh urine
dan tidak ditemukan pada permukaan ya ng berhubungan langsung dengan mukosa buli –
buli atau uretra (Hukins DWL, 2005). La pisan mucinous mukosa buli – buli mungkin
5
merupakan mekanisme pertahanan untuk me ncegah melekatnya endapan (Kunin, 1987).
Lapisan ini mencegah melekat dan invasinya bakteri ke dinding buli – buli.
Peranan Mikroorganisme Pemecah Urea
Mikroorganisme Proteus, Klebsiella dan Pseudomonas menghas ilkan urease yang
memecah urea menjadi ammonia dan CO 2. Kuman tersebut disebut pemecah urea ( urea
splitter). Infeksi dengan mikroorganisme pemecah urea mengakibatkan urin menjadi
alkalis, sehingga merupakan kondisi yang id eal untuk pengendapan struvite. Proteus
mirabilis dan Klebsiella pneumoniae yang seringkali sebagai penyebab terbentuknya batu
dan tersumbatnya kateter karena enkrusta si. Pada percobaan in vitro (Cox dkk, 1989)
dengan menggunakan urin artifisial yang ditambah urease, mula – mula terbentuk
enkrustasi Kalsium Fosfat, kemudian diikuti struvite pada peningkatan pH–urin di atas
7,2 (Hukins DWL, 2005).
Pemeriksaan enkrustasi kateter dengan “Scanning Electro Micrographs”
menunjukkan adanya mikro organisme yang mendasari pengendapan mineral (Cox dkk,
1989). Norberg dkk (1980) berpenda pat bahwa pH–urin dalam kateter yang tersumbat
lebih tinggi daripada katete r yang baru dipasang. Hal inilah yang mendasari pendapat
bahwa urease diproduksi oleh mikroorgani sme di permukaan kateter. Organisme
pemecah urea tidak selalu dapat dideteksi pada urin penderita dengan kateter yang
tersumbat (Weber R, 2004).
Karakteristik Penderita
Kunin dkk (1987) membagi penderita dalam kelompok berdasarkan kerentanan
terbentuknya enkrusta si, yaitu kelompok “blockers” dan “non blockers” . Kelompok
6
“blockers” adalah
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemakaian kateter uretra sangat diperlukan pada penderita dengan inkontinensia
urin atau retensi urin. Di SMF Bedah RSU Pusat H. Adam Malik dan RSU Pirngadi
Medan cukup banyak penderita retensi urin yang memerlukan kateter menetap sebagai
tindakan sementara sebelum dilakukan tindakan definitive, terutama penderita “Benign
Prostate Hyperplasia” (BPH) dengan retensi urin. Dalam mempersiapkan tindakan
operasi definitive mereka menunggu cukup lama yaitu antara 2 sampai 4 minggu. Di
samping itu banyak penderita – penderita dengan penyakit kronis atau debilitas yang
memerlukan kateter uretral menetap yang menahun.
Di sisi lain terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pemakaian kateter
uretra menetap (indwelling urethral catheter). Salah satunya adalah terbentuknya
enkrustasi pada permukaan kateter yang dapat menyebabkan tersumbatnya kateter
sehingga urine merembes diantara kateter dan mukosa uretra, terasa nyeri serta rasa tak
nyaman bagi penderita (Hukins DWL, 2005; Stickler DJ, 2004; Weber R. 2004).
Pemakaian kateter juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (Weber R,
2004). Organisme penyebab bakteri aerob, seperti Proteus mirabilis dan Klebsiella
pneumonae (Madigan E et al, 2003; Stickler DJ, 2004 ). Bakteri tersebut merupakan
pemecah urea (urea splitter), sehingga dapat menyebabkan alkalinisasi urin. Akibat
meningkatnya pH–urin tersebut terjadi supersaturasi dengan Ammonium Magnesium
Fosfat (Struvite) dan Kalsium Fosfat (CaP) (Stickler DJ, 2004). Garam tersebut
1
cenderung mengendap pada kateter dan lumennya yang dapat menyebabkan iritasi dan
kateter tersumbat. Sehubungan dengan permasalahan di atas peneliti ingin mengetahui
sejauh mana pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter
uretra menetap.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang ingin kami jawab
melalui penelitian ini adalah :
Apakah ada pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada kateter.
2
BAB II
TUJUAN, HIPOTESA DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengkaji pembentukan enkrustasi yang te rjadi pada pemakaian kateter uretra
menetap.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui keadaan pH–urin pada pemasangan kateter uretra menetap.
b. Mengetahui banyaknya kejadian pembentuka n enkrustasi pada pemakaian kateter
uretra menetap.
c. Mengetahui pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada kateter
uretra menetap.
2.2. Hipotesa
Semakin tinggi pH-urin semakin mudah terjadi pembentukan enkrustasi pada
kateter.
2.3 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh data tentang pengaruh perubahan
pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter uretra menetap.
3
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pemakaian kateter uretra menetap seri ng dilakukan dalam menangani tindakan
sementara penderita retensi urin karena BP H. Enkrustasi merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi pada pemakaian kateter uretra menetap dan sistem drainase urin
lainnya (Hukins DWL, 2005; Madigan E. et al, 2003; Stickler DJ, 2004; Weber R, 2004).
Akibat dari enkrustasi tersebut, terjadi peny umbatan kateter sehingga
menimbulkan rasa nyeri dan tidak nyaman karena retensi urin dan bocornya urin lewat
sela kateter. Terdapat 4 fa ktor penyebab disfungsi kateter yaitu kateter, penderita,
bakteriuria dan perawatan yang tidak bai k. Permukaan kateter yang kasar karena
pengendapan enkrustasi tersebut menimbulkan rasa nyeri dan trauma terhadap uretra
pada saat kateter dilepas. Pemakaian kate ter juga meningkatkan resiko infeksi dan
timbulnya enkrustasi akan melindungi bakteri terhadap pemberian antibiotika sehingga
terjadi infeksi yang persisten (Hukins DWL, 2005).
Sejarah Penemuan Enkrustasi pada Kateter
Terbentuknya enkrustasi dan batu pada benda asing yang ditempatkan pada buli –
buli diperkenalkan dan dibuktikan kebenarannya pada tahun 1790 oleh Austin. Hellstrom
(1938) membuktikan perbedaan antara batu saluran kencing yang berbentuk karena
metabolik steril dan batu yang terbentuk karena infeksi. Pada tahun 1950 Vermeulen dan
kawan – kawan memperlihatkan bahwa kom posisi enkrustasi pada berbagai macam
benda asing dalam buli – buli adalah struvite. Pada abad ke 19, Ulex seorang ahli geologi
dari Swedia menemukan mineral Mg NH 4 PO4.6H2O pada kotoran kelelawar, kemudian
4
mineral tersebut diberi nama “Struvite” untuk memberi hadiah mentornya yang bernama
Baron H.C.G. von Struve seor ang diplomat dan naturalis Rusia (Hukins DWL, 2005).
Hubungan antara batu struvite dan urin yang terinfeksi dengan bakteri pemecah urea
dijelaskan oleh Griffith dkk pada tahun 1976. Hedelin dkk (1984) dan Griffith dkk (1988)
mencoba melakukan pencegahan terbent uknya enkrustasi dengan cara menghilangkan
atau mengeradikasi infeksi atau mengubah kom poisi mineral dalam urin atau pH–urin
tetapi tidak berhasil.
Komposisi Enkrustasi
Bahan enkrustasi diperiksa dengan X– ray difraksi dan dengan analisa kimia
menunjukkan komponen terbanyak adalah Ammoni um Magnesium Fosfat (Struvite) dan
Kalsium Fosfat (CaP). Sebenarnya komposisi dari struvite adalah magnesium ammonium
fosfat (Mg NH 4 PO 4.6H2O) dan carbonate apatit (Ca 10(PO4)6.CO3), yang sering disebut
dengan tripel fosfat. Kalsium Oksala t juga merupakan komponen penting yang
ditemukan pada analisa enkrustasi tersebut. Komposisi ini sesuai dengan penelitian yang
pernah dilakukan Hedelin dkk dan Cox dkk. Terdapat hubungan yang bermakna antara
frekwensi sumbatnya kateter dengan kadar Ka lsium Fosfat pada enkrustasi. Kalsium
Fosfat berupa serbuk yang lebih mudah menyu mbat lumen kateter daripada kristal yang
lebih besar
Lokasi Enkrustasi
Enkrustasi terbentuk di permukaan katete r dan balon yasng te rlindung oleh urine
dan tidak ditemukan pada permukaan ya ng berhubungan langsung dengan mukosa buli –
buli atau uretra (Hukins DWL, 2005). La pisan mucinous mukosa buli – buli mungkin
5
merupakan mekanisme pertahanan untuk me ncegah melekatnya endapan (Kunin, 1987).
Lapisan ini mencegah melekat dan invasinya bakteri ke dinding buli – buli.
Peranan Mikroorganisme Pemecah Urea
Mikroorganisme Proteus, Klebsiella dan Pseudomonas menghas ilkan urease yang
memecah urea menjadi ammonia dan CO 2. Kuman tersebut disebut pemecah urea ( urea
splitter). Infeksi dengan mikroorganisme pemecah urea mengakibatkan urin menjadi
alkalis, sehingga merupakan kondisi yang id eal untuk pengendapan struvite. Proteus
mirabilis dan Klebsiella pneumoniae yang seringkali sebagai penyebab terbentuknya batu
dan tersumbatnya kateter karena enkrusta si. Pada percobaan in vitro (Cox dkk, 1989)
dengan menggunakan urin artifisial yang ditambah urease, mula – mula terbentuk
enkrustasi Kalsium Fosfat, kemudian diikuti struvite pada peningkatan pH–urin di atas
7,2 (Hukins DWL, 2005).
Pemeriksaan enkrustasi kateter dengan “Scanning Electro Micrographs”
menunjukkan adanya mikro organisme yang mendasari pengendapan mineral (Cox dkk,
1989). Norberg dkk (1980) berpenda pat bahwa pH–urin dalam kateter yang tersumbat
lebih tinggi daripada katete r yang baru dipasang. Hal inilah yang mendasari pendapat
bahwa urease diproduksi oleh mikroorgani sme di permukaan kateter. Organisme
pemecah urea tidak selalu dapat dideteksi pada urin penderita dengan kateter yang
tersumbat (Weber R, 2004).
Karakteristik Penderita
Kunin dkk (1987) membagi penderita dalam kelompok berdasarkan kerentanan
terbentuknya enkrusta si, yaitu kelompok “blockers” dan “non blockers” . Kelompok
6
“blockers” adalah
0 comments:
Posting Komentar
Berikan Komentar yang membangun demi perkembangan Blog ini. Terima kasih buat semuanya yang telah memberikan komentar.
Lihat semua Komentar Klik Disini