SARI
Pergolakan revolusi nasional Indonesia dimulai sejak diproklamasikannya
kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun dalam
perjuangan revolusi nasional Indonesia tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan
strategi atau taktik dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang ingin
menguasai kembali tanah air Indonesia. Dua aliran atau faham politik yang terkuat
pada waktu itu ialah alam pikiran Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin yang
menjalankan politik damai atau perundingan dan alam pikiran Tan Malaka yang
lebih menginginkan politik perjuangan bersenjata dengan propaganda
“kemerdekaan 100%”. Hal ini sangat menyulitkan posisi Panglima Besar
Soedirman pada saat itu, dimana disatu sisi ia mempunyai pandangan yang sama
dengan Tan Malaka yaitu tidak mau berkompromi dengan pihak musuh namun
disisi lain sebagai seorang Panglima Besar ia harus bersikap loyal terhadap
pemerintah RI. Dalam keadaan demikian timbul sikap ambivalensi (kemenduaan)
Panglima Besar Soedirman terhadap dukungannya kepada Tan Malaka dan
loyalitasnya terhadap pimpinan tertinggi APRI Soekarno. Sebagai puncak dari
adanya perbedaan pandangan politik tersebut maka terjadilah peristiwa coup
d’etat pada tanggal 3 Juli 1946.
Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah Bagaimana
pandangan politik Panglima Besar Jenderal Soedirman terhadap pemerintah
Republik Indonesia dalam penyelesaian kolonialisme di Indonesia? Bagaimana
proses terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946? Bagaimanakah sikap dan pandangan
politik Panglima Besar Soedirman dalam kaitannya dengan Peristiwa 3 Juli
1946? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan politik Panglima
Besar Jenderal Soedirman terhadap pemerintah Republik Indonesia dalam
penyelesaian kolonialisme di Indonesia, untuk mengetahui proses terjadinya
Peristiwa 3 Juli 1946 dan untuk mengetahui sikap dan pandangan politik
Panglima Besar Soedirman dalam kaitannya dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah (historical method) yang
terdiri dari empat tahap yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
historiografi.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa antara Panglima Besar
Soedirman dengan pemerintah PM. Syahrir terdapat perbedaan pandangan politik
dalam hal menghadapi kolonialisme Belanda. Panglima Besar Soedirman lebih
menginginkan politik perjuangan bersenjata yang sejalan dengan politik Tan
Malaka, sedangkan PM. Syahrir lebih menginginkan politik
perundingan/diplomasi. Namun demikian pada dasarnya diantara keduanya
terdapat persamaan tujuan yaitu sama-sama ingin memenangkan revolusi nasional
Indonesia. Adanya perbedaan pandangan politik itulah yang juga
melatarbelakangi terjadinya peristiwa kudeta pada tanggal 3 Juli 1946. Proses
terjadinya Peristiwa kudeta tersebut didahului dengan penculikan terhadap PM.
Syahrir yang menyebabkan ditangkapnya tokoh-tokoh PP dan akhirnya terjadilah
Peristiwa 3 Juli 1946.
Peristiwa tersebut sangat menyulitkan posisi Panglima Besar Soedirman,
apalagi dalam peristiwa tersebut namanya ikut terkait. Oleh karena itu Jenderal
Soedirman harus mengambil sikap tegas supaya tidak terjadi perpecahan dalam
tubuh tentara. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa dirinya bersikap netral
terhadap peristiwa 3 Juli 1946 tersebut. Soedirman tidak setuju dan tidak
mendukung peristiwa tersebut karena hal itu tidak sesuai dengan sikap Jenderal
Soedirman. Meskipun terdapat persamaan pandangan politik antara pihak oposisi
dengan Jenderal Soedirman tetapi Soedirman tidak sampai menginginkan untuk
menggulingkan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Dan setelah peristiwa itu
Soedirman lebih bersikap loyal terhadap Pemerintah RI, yaitu mendukung
Kabinet Syahrir dalam melakukan diplomasi. Sikap ini diambilnya demi keutuhan
komando TKR dan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Pergolakan revolusi nasional Indonesia dimulai sejak diproklamasikannya
kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun dalam
perjuangan revolusi nasional Indonesia tersebut terjadi perpecahan dan perbedaan
strategi atau taktik dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang ingin
menguasai kembali tanah air Indonesia. Dua aliran atau faham politik yang terkuat
pada waktu itu ialah alam pikiran Sutan Syahrir-Amir Syarifuddin yang
menjalankan politik damai atau perundingan dan alam pikiran Tan Malaka yang
lebih menginginkan politik perjuangan bersenjata dengan propaganda
“kemerdekaan 100%”. Hal ini sangat menyulitkan posisi Panglima Besar
Soedirman pada saat itu, dimana disatu sisi ia mempunyai pandangan yang sama
dengan Tan Malaka yaitu tidak mau berkompromi dengan pihak musuh namun
disisi lain sebagai seorang Panglima Besar ia harus bersikap loyal terhadap
pemerintah RI. Dalam keadaan demikian timbul sikap ambivalensi (kemenduaan)
Panglima Besar Soedirman terhadap dukungannya kepada Tan Malaka dan
loyalitasnya terhadap pimpinan tertinggi APRI Soekarno. Sebagai puncak dari
adanya perbedaan pandangan politik tersebut maka terjadilah peristiwa coup
d’etat pada tanggal 3 Juli 1946.
Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah Bagaimana
pandangan politik Panglima Besar Jenderal Soedirman terhadap pemerintah
Republik Indonesia dalam penyelesaian kolonialisme di Indonesia? Bagaimana
proses terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946? Bagaimanakah sikap dan pandangan
politik Panglima Besar Soedirman dalam kaitannya dengan Peristiwa 3 Juli
1946? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan politik Panglima
Besar Jenderal Soedirman terhadap pemerintah Republik Indonesia dalam
penyelesaian kolonialisme di Indonesia, untuk mengetahui proses terjadinya
Peristiwa 3 Juli 1946 dan untuk mengetahui sikap dan pandangan politik
Panglima Besar Soedirman dalam kaitannya dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah (historical method) yang
terdiri dari empat tahap yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
historiografi.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa antara Panglima Besar
Soedirman dengan pemerintah PM. Syahrir terdapat perbedaan pandangan politik
dalam hal menghadapi kolonialisme Belanda. Panglima Besar Soedirman lebih
menginginkan politik perjuangan bersenjata yang sejalan dengan politik Tan
Malaka, sedangkan PM. Syahrir lebih menginginkan politik
perundingan/diplomasi. Namun demikian pada dasarnya diantara keduanya
terdapat persamaan tujuan yaitu sama-sama ingin memenangkan revolusi nasional
Indonesia. Adanya perbedaan pandangan politik itulah yang juga
melatarbelakangi terjadinya peristiwa kudeta pada tanggal 3 Juli 1946. Proses
terjadinya Peristiwa kudeta tersebut didahului dengan penculikan terhadap PM.
Syahrir yang menyebabkan ditangkapnya tokoh-tokoh PP dan akhirnya terjadilah
Peristiwa 3 Juli 1946.
Peristiwa tersebut sangat menyulitkan posisi Panglima Besar Soedirman,
apalagi dalam peristiwa tersebut namanya ikut terkait. Oleh karena itu Jenderal
Soedirman harus mengambil sikap tegas supaya tidak terjadi perpecahan dalam
tubuh tentara. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa dirinya bersikap netral
terhadap peristiwa 3 Juli 1946 tersebut. Soedirman tidak setuju dan tidak
mendukung peristiwa tersebut karena hal itu tidak sesuai dengan sikap Jenderal
Soedirman. Meskipun terdapat persamaan pandangan politik antara pihak oposisi
dengan Jenderal Soedirman tetapi Soedirman tidak sampai menginginkan untuk
menggulingkan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Dan setelah peristiwa itu
Soedirman lebih bersikap loyal terhadap Pemerintah RI, yaitu mendukung
Kabinet Syahrir dalam melakukan diplomasi. Sikap ini diambilnya demi keutuhan
komando TKR dan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.