ABSTRAK
Stereotipe buruk tentang Tionghoa Muslim di Indonesia masih ada di benak khalayak masyarakat. Keberadaan Tionghoa Muslim masih ada saja yang menganggap sebagai hal yang aneh, meskipun fakta-fakta yang ada di lapangan menunjukan bahwa pertumbuhan warga Tionghoa Muslim semakin terus bertambah, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Berkaitan dengan Tionghoa Muslim di Cirebon, secara historis, Toh A bo (Pangeran Timur) yang lebih di kenal sebagai Sunan Gunung Jati adalah cikal bakal penyebar agama Islam di kota ini (Graaf ). Namun muslim baru kalangan Tionghoa pada rentang waktu 1970-2000 bukanlah dari kalangan yang mempunyai latar belakang Islam. Kesadaran baru di kalangan masyarakat Tionghoa untuk memilih Islam diwarnai oleh corak dan suasana sosial politik yang berkembang pada awal 1970an. memang ada sebagian kecil kaum Muslimin mencurigai orang Cina yang masuk Islam sebagai pelarian atau kepura-puraan (kamuflase). Tetapi, kecurigaan itu justru tercela. Sebab, iman seseorang merupakan rahasia antara manusia dengan Allah semata. Dan memang, sebagian besar umat Islam menerima mereka dengan dada dan tangan terbuka sebagai “saudara seiman”.
Asimilasi yang sekarang lebih di kenal dengan istilah pembauran sampai saat ini masih di anggap suatu cara yang cukup baik untuk menyatukan antara mayoritas dan minoritas keturunan Tionghoa. Dalam hal ini pemerintah telah berupaya dalam rangka mempercepat proses pembauran, dengan berbagai jalan yang di tempuh antara lain membentuk Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yaitu, suatu badan kemasyarakatan yang bertujuan memperlancar dan mempercepat peningkatan persatuan serta pembauran antara warga Negara Indonesia asli di segala bidang kehidupan.
Akan tetapi, masalah pembauran yang selama ini di jalankan oleh pemerintah, nampak syarat muatan pendekatan segi politisnya, tetapi belum menyangkut pada segi teknis operasionalnya , sehingga apa yang sering nampak adalah tidak diperkenankannya membesar-besarkan masalah perbedaan ras yang di tuding menyebarkan SARA, (Robert E. Park, 1957: 403). Padahal masalah ini tetap bergulir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Titik tolak pandangan yang berbeda antara RAS itu masih tetap hidup di masyarakat umum (pribumi) maupun di kalangan masyarakat eklusif (Etnis Cina).
Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan teknik pengumpulan data, dokumentasi, dan wawacara. Teknik dokumentasi dilakukan
dengan mengumpulkan sumber tertulis berupa majalah, arsip, dan laporan kegiatan serta foto-foto bukti dari masa lalu yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan wawancara dilakukan untuk memperoleh keterangan dari para informan yang mendukung penelitian ini.
Penelitian memperoleh hasil bahwa pada rentang waktu 1970-2000 banyak dari kaum keturunan melakukan asimilasi atau makna yang lebih luas yaitu pembauran. Di Cirebon, masa rentang waktu ini, banyak dari kaum Tionghoa secara berjalan berusaha mewujudkan dengan cara asimilasi, sebab asimilasi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan identifikasi golongan minoritas dan segala bentuknya, yang dapat diakui sebagai bagian dari Negara Indonesia. Di mulai dari usaha-usaha pembauran melalui ganti nama, melalui perkawinan dan pindah agama-dalam hal ini agama Islam (Talcott Parson, 1973 : 72-86).
Kebijakan pemerintah Indonesia masa Soekarno pada mulanya Undang-Undang Kewarganegaraan dilandaskan pada lus solid dan “sistem pasif”, Undang-Undang itu menyebutkan bahwa warga Indonesia terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia sehingga mayoritas Tionghoa yang di Jawa secara otomatis menjadi warga Negara Indonesia, (Suryadinata, 1985:117), Sehingga mereka sebenarnya sama-sama sebagai Warga Negara Indonesia. Dengan disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996.
Stereotipe buruk tentang Tionghoa Muslim di Indonesia masih ada di benak khalayak masyarakat. Keberadaan Tionghoa Muslim masih ada saja yang menganggap sebagai hal yang aneh, meskipun fakta-fakta yang ada di lapangan menunjukan bahwa pertumbuhan warga Tionghoa Muslim semakin terus bertambah, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Berkaitan dengan Tionghoa Muslim di Cirebon, secara historis, Toh A bo (Pangeran Timur) yang lebih di kenal sebagai Sunan Gunung Jati adalah cikal bakal penyebar agama Islam di kota ini (Graaf ). Namun muslim baru kalangan Tionghoa pada rentang waktu 1970-2000 bukanlah dari kalangan yang mempunyai latar belakang Islam. Kesadaran baru di kalangan masyarakat Tionghoa untuk memilih Islam diwarnai oleh corak dan suasana sosial politik yang berkembang pada awal 1970an. memang ada sebagian kecil kaum Muslimin mencurigai orang Cina yang masuk Islam sebagai pelarian atau kepura-puraan (kamuflase). Tetapi, kecurigaan itu justru tercela. Sebab, iman seseorang merupakan rahasia antara manusia dengan Allah semata. Dan memang, sebagian besar umat Islam menerima mereka dengan dada dan tangan terbuka sebagai “saudara seiman”.
Asimilasi yang sekarang lebih di kenal dengan istilah pembauran sampai saat ini masih di anggap suatu cara yang cukup baik untuk menyatukan antara mayoritas dan minoritas keturunan Tionghoa. Dalam hal ini pemerintah telah berupaya dalam rangka mempercepat proses pembauran, dengan berbagai jalan yang di tempuh antara lain membentuk Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yaitu, suatu badan kemasyarakatan yang bertujuan memperlancar dan mempercepat peningkatan persatuan serta pembauran antara warga Negara Indonesia asli di segala bidang kehidupan.
Akan tetapi, masalah pembauran yang selama ini di jalankan oleh pemerintah, nampak syarat muatan pendekatan segi politisnya, tetapi belum menyangkut pada segi teknis operasionalnya , sehingga apa yang sering nampak adalah tidak diperkenankannya membesar-besarkan masalah perbedaan ras yang di tuding menyebarkan SARA, (Robert E. Park, 1957: 403). Padahal masalah ini tetap bergulir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Titik tolak pandangan yang berbeda antara RAS itu masih tetap hidup di masyarakat umum (pribumi) maupun di kalangan masyarakat eklusif (Etnis Cina).
Penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan teknik pengumpulan data, dokumentasi, dan wawacara. Teknik dokumentasi dilakukan
dengan mengumpulkan sumber tertulis berupa majalah, arsip, dan laporan kegiatan serta foto-foto bukti dari masa lalu yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan wawancara dilakukan untuk memperoleh keterangan dari para informan yang mendukung penelitian ini.
Penelitian memperoleh hasil bahwa pada rentang waktu 1970-2000 banyak dari kaum keturunan melakukan asimilasi atau makna yang lebih luas yaitu pembauran. Di Cirebon, masa rentang waktu ini, banyak dari kaum Tionghoa secara berjalan berusaha mewujudkan dengan cara asimilasi, sebab asimilasi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan identifikasi golongan minoritas dan segala bentuknya, yang dapat diakui sebagai bagian dari Negara Indonesia. Di mulai dari usaha-usaha pembauran melalui ganti nama, melalui perkawinan dan pindah agama-dalam hal ini agama Islam (Talcott Parson, 1973 : 72-86).
Kebijakan pemerintah Indonesia masa Soekarno pada mulanya Undang-Undang Kewarganegaraan dilandaskan pada lus solid dan “sistem pasif”, Undang-Undang itu menyebutkan bahwa warga Indonesia terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia sehingga mayoritas Tionghoa yang di Jawa secara otomatis menjadi warga Negara Indonesia, (Suryadinata, 1985:117), Sehingga mereka sebenarnya sama-sama sebagai Warga Negara Indonesia. Dengan disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958) serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui keputusan presiden No. 56 tahun 1996.