BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
Pada abad 19 dan awal abad 20, di Jawa sering terjadi peristiwa
pemberontakan, kerusuhan atau pergolakan sosial yang didukung oleh petani.
Peristiwa – peristiwa itu biasanya diwujudkan dengan tindakan-tindakan agresif
dan radikal yang sekaligus mencerminkan adanya ketegangan-ketegangan dan
permusuhan di lingkungan masyarakat petani terhadap pemerintah kolonial
beserta antek-anteknya. Semua itu mewujudkan gerakan-gerakan oleh masyarakat
petani yang merupakan kekuatan sosial di pedesaan Jawa, yang merupakan
aktifitas kolektif masyarakat petani dalam mewujudkan perubahan-perubahan
dilingkungannya yang dianggap merugikan akibat adanya praktek eksploitasi oleh
pemerintah kolonial Belanda (Sartono Kartodirjo , 1973, h: 2).
Dalam menghadapi pengaruh penetrasi budaya barat masyarakat Indonesia
mempunyai cara yaitu dengan mengadakan gerakan sebagai protes sosial yang
diperkuat oleh perasaan keagamaan. Gerakan-gerakan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat petani merupakan gejala yang mewarnai sejarah Indonesia pada abad
19 dan awal abad 20. Pada umumnya gerakan petani itu merupakan protes dan
reaksi terhadap ketidakadilan (Landsberger ,1981, h:24-30).
Dominasi pemerintah kolonial Belanda beserta perubahan-perubahan
sosial di pedesaan yang menyertainya, telah mengakibatkan goyahnya tatanan
masyarakat tradisional di Jawa beserta tradisinya. Perubahan tatanan masyarakat
di Jawa merupakan ladang subur bagi munculnya gerakan-gerakan sosial petani.
Dominasi ekonomi, politik, dan kultural mengakibatkan goyahnya tatanan
masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya. Dengan masuknya ekonomi
keuangan faktor-faktor produksi, seperti halnya tanah, tenaga buruh, hasil bumi
telah memungkinkan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan
sistem pajak yang ditarik dari masyarakat petani.
Perpajakan yang ditarik masyarakat petani meruapkan beban yang harus
ditanggung disamping beban lainnya yang dikenakan, yaitu bentuk-bentuk kerja
wajib tanpa upah. Dengan perdagangan dan industri pertanian di pedesaan Jawa
pada awal abad 20, timbullah diferensiasi struktur dalam masyarakat pedesaan,
sehingga ada peranan sosial baru yang dapat diperoleh dengan jalan lain dari pada
peranan tradisional. Dalam bidang politik banyak ketegangan dan ketidakstabilan
timbul karena penetrasi yang semakin meluas dari administrasi kolonial Belanda
hingga masuk ke pedesaan, sedangkan lembaga-lembaga politik tradisional
semakin terdesak.
Nilai kepemimpinan menurut standar Barat, menggantikan penguasa
tradisional menjadi aparat birokratis yang sepenuhnya ditempatkan dibawah
pengawasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Perubahan demikian
menempatkan golongan sosial pedesaan berada di luar kerangka birokrasi
tradisional, yaitu masyarakat petani merupakan pihak yang mengalami
disorientasi. Pengaruh kultural asing menerobos lingkungan tradisional dan
merongrong kekuatan-kekuatan, norma-norma tradisional sebagai pedoman hidup.
Sedangkan para petani yang bekerja pada perkebunan-perkebunan milik
pemerintah kolonial Belanda sering dikecewakan. Pada masa kolonial tidak
terdapat lembaga-lembaga yang dapat menyalurkan rasa kekecewaan para petani.
Pemerintah kolonial Belanda sering menangkap para petani yang melakukan
protes (Sartono Kartodirjo, 1986, h:7).
Di dalam situasi seperti itu muncul kecenderungan dalam masyarakat
petani pedesaan Jawa untuk mencari reorientasi, antara lain dengan
menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional terhadap kekuatan disintegrasi dari
pengaruh penetrasi kebudayaan Barat, masyarakat pedesaan Jawa mempunyai
cara-cara untuk membuat reaksi. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan
gerakan sosial sebagai protes sosial, yang sering diperkuat dengan perasaan
keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Timbullah kekuatan-kekuatan dari
kepercayaan religius yang berakar dalam tradisi rakyat melawan kolonialisme
Belanda.
Munculnya harapan kedatangan tokoh penyelamat kehidupan masyarakat
petani di desa yang diharapkan dapat memberikan pertolongan ialah seorang
messias atau Jawa dikenal dengan Ratu Adil. Protes sosial yang menempuh jalan
kekerasan dapat dibenarkan oleh tradisi messianistis. Konsepsi tentang
kembalinya susunan masyarakat lama atau datangnya jaman keemasan. Gambaran
masa depan yang dibayangkan disusun menurut model tradisional, menjadi
kerangka pemikiran tradisionalistis. Munculnya mitos itu terjadi pada masa
masyarakat mengalami perubahan sosial ekonomis dan politik seperti yang terjadi
pada abad ke-19.
Di dalam seperempat abad 19 politik batigslot atau politik mengembalikan
keuntungan sebesar-besarnya atas daerah-daerah koloni yang dianut oleh
pemerintah kolonial Belanda direalisasikan dengan bentuk sistem eksploitasi
secara tanam paksa di Hindia Belanda dan di Jawa pada khususnya.
Sistem tanam paksa itu berlangsung pada tahun 1830-1870, sejak tahun
1870-an perkebunan-perkebunan sudah berangsur-angsur diambil oleh para
penanam modal swasta. Lahan pertanian yang digunakan untuk kepentingan
tanam paksa sangat luas, dan tenaga-tenaga yang dipergunakan untuk menanam,
memelihara dan menuai sangat banyak. Di samping dibutuhkan tenaga-tenaga
kerja untuk mengurusi sistem tanam paksa tersebut masih dibutuhkan tenaga kerja
untuk mengurusi jembatan-jembatan, jalan, pabrik, pengairan, gudang-gudang
penimbunan, tukang kurir dan sebagainya dimana tenaga buruh tersebut harus
diambil dari petani.
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
Pada abad 19 dan awal abad 20, di Jawa sering terjadi peristiwa
pemberontakan, kerusuhan atau pergolakan sosial yang didukung oleh petani.
Peristiwa – peristiwa itu biasanya diwujudkan dengan tindakan-tindakan agresif
dan radikal yang sekaligus mencerminkan adanya ketegangan-ketegangan dan
permusuhan di lingkungan masyarakat petani terhadap pemerintah kolonial
beserta antek-anteknya. Semua itu mewujudkan gerakan-gerakan oleh masyarakat
petani yang merupakan kekuatan sosial di pedesaan Jawa, yang merupakan
aktifitas kolektif masyarakat petani dalam mewujudkan perubahan-perubahan
dilingkungannya yang dianggap merugikan akibat adanya praktek eksploitasi oleh
pemerintah kolonial Belanda (Sartono Kartodirjo , 1973, h: 2).
Dalam menghadapi pengaruh penetrasi budaya barat masyarakat Indonesia
mempunyai cara yaitu dengan mengadakan gerakan sebagai protes sosial yang
diperkuat oleh perasaan keagamaan. Gerakan-gerakan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat petani merupakan gejala yang mewarnai sejarah Indonesia pada abad
19 dan awal abad 20. Pada umumnya gerakan petani itu merupakan protes dan
reaksi terhadap ketidakadilan (Landsberger ,1981, h:24-30).
Dominasi pemerintah kolonial Belanda beserta perubahan-perubahan
sosial di pedesaan yang menyertainya, telah mengakibatkan goyahnya tatanan
masyarakat tradisional di Jawa beserta tradisinya. Perubahan tatanan masyarakat
di Jawa merupakan ladang subur bagi munculnya gerakan-gerakan sosial petani.
Dominasi ekonomi, politik, dan kultural mengakibatkan goyahnya tatanan
masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya. Dengan masuknya ekonomi
keuangan faktor-faktor produksi, seperti halnya tanah, tenaga buruh, hasil bumi
telah memungkinkan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan
sistem pajak yang ditarik dari masyarakat petani.
Perpajakan yang ditarik masyarakat petani meruapkan beban yang harus
ditanggung disamping beban lainnya yang dikenakan, yaitu bentuk-bentuk kerja
wajib tanpa upah. Dengan perdagangan dan industri pertanian di pedesaan Jawa
pada awal abad 20, timbullah diferensiasi struktur dalam masyarakat pedesaan,
sehingga ada peranan sosial baru yang dapat diperoleh dengan jalan lain dari pada
peranan tradisional. Dalam bidang politik banyak ketegangan dan ketidakstabilan
timbul karena penetrasi yang semakin meluas dari administrasi kolonial Belanda
hingga masuk ke pedesaan, sedangkan lembaga-lembaga politik tradisional
semakin terdesak.
Nilai kepemimpinan menurut standar Barat, menggantikan penguasa
tradisional menjadi aparat birokratis yang sepenuhnya ditempatkan dibawah
pengawasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Perubahan demikian
menempatkan golongan sosial pedesaan berada di luar kerangka birokrasi
tradisional, yaitu masyarakat petani merupakan pihak yang mengalami
disorientasi. Pengaruh kultural asing menerobos lingkungan tradisional dan
merongrong kekuatan-kekuatan, norma-norma tradisional sebagai pedoman hidup.
Sedangkan para petani yang bekerja pada perkebunan-perkebunan milik
pemerintah kolonial Belanda sering dikecewakan. Pada masa kolonial tidak
terdapat lembaga-lembaga yang dapat menyalurkan rasa kekecewaan para petani.
Pemerintah kolonial Belanda sering menangkap para petani yang melakukan
protes (Sartono Kartodirjo, 1986, h:7).
Di dalam situasi seperti itu muncul kecenderungan dalam masyarakat
petani pedesaan Jawa untuk mencari reorientasi, antara lain dengan
menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional terhadap kekuatan disintegrasi dari
pengaruh penetrasi kebudayaan Barat, masyarakat pedesaan Jawa mempunyai
cara-cara untuk membuat reaksi. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan
gerakan sosial sebagai protes sosial, yang sering diperkuat dengan perasaan
keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Timbullah kekuatan-kekuatan dari
kepercayaan religius yang berakar dalam tradisi rakyat melawan kolonialisme
Belanda.
Munculnya harapan kedatangan tokoh penyelamat kehidupan masyarakat
petani di desa yang diharapkan dapat memberikan pertolongan ialah seorang
messias atau Jawa dikenal dengan Ratu Adil. Protes sosial yang menempuh jalan
kekerasan dapat dibenarkan oleh tradisi messianistis. Konsepsi tentang
kembalinya susunan masyarakat lama atau datangnya jaman keemasan. Gambaran
masa depan yang dibayangkan disusun menurut model tradisional, menjadi
kerangka pemikiran tradisionalistis. Munculnya mitos itu terjadi pada masa
masyarakat mengalami perubahan sosial ekonomis dan politik seperti yang terjadi
pada abad ke-19.
Di dalam seperempat abad 19 politik batigslot atau politik mengembalikan
keuntungan sebesar-besarnya atas daerah-daerah koloni yang dianut oleh
pemerintah kolonial Belanda direalisasikan dengan bentuk sistem eksploitasi
secara tanam paksa di Hindia Belanda dan di Jawa pada khususnya.
Sistem tanam paksa itu berlangsung pada tahun 1830-1870, sejak tahun
1870-an perkebunan-perkebunan sudah berangsur-angsur diambil oleh para
penanam modal swasta. Lahan pertanian yang digunakan untuk kepentingan
tanam paksa sangat luas, dan tenaga-tenaga yang dipergunakan untuk menanam,
memelihara dan menuai sangat banyak. Di samping dibutuhkan tenaga-tenaga
kerja untuk mengurusi sistem tanam paksa tersebut masih dibutuhkan tenaga kerja
untuk mengurusi jembatan-jembatan, jalan, pabrik, pengairan, gudang-gudang
penimbunan, tukang kurir dan sebagainya dimana tenaga buruh tersebut harus
diambil dari petani.