SARI
Etnis Tionghoa di Kudus merupakan salah satu dari kebanyakan Etnis Tionghoa
yang tinggal di Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dan keunikan masingmasing.
Hubungan Etnis Tionghoa di Kudus dengan penduduk Pribumi sempat
terganggu pada tahun 1918. Kerusuhan antar Etnis terjadi karena adanya
persaingan usaha antara Etnis Tionghoa (Pendatang) dengan santri (Pribumi).
Pertikaian ini menyisakan kepedihan yang mendalam diantara keduanya. Hingga
kedua Etnis yang berselisih mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Terbukti
sampai sekarang konflik terbuka tidak terjadi lagi, tetapi kerikil-kerikil itu masih
ada.
Pada masa Kolonial, Etnis Tionghoa di perlakukan secara khusus oleh
penguasa pada waktu itu. Kebijakan yang dilakukan terhadap Etnis Tionghoa
cenderung mendiskreditkan golongan ini. Diantara kebijakan tersebut antara lain
penetapan golongan Etnis Tionghoa sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing)
bersama dengan orang India, Arab, dan Melayu. Peraturan berikutnya adalah
Wijkenstelsel (pemusatan pemukiman Etnis Tionghoa), passenstelsel (kartu
perjalanan), politierol (peradilan polisi) dimana kepala polisi berhak bertindak
sebagai hakim.
Pasca Kemerdekaan, pemerintah Indonesia dibawah Soekarno
memberlakukan kebijakan terhadap Etnis Tionghoa. Kebijakan-kebijakan tersebut
antara lain PP No. 10 tentang larangan berdagang eceran di pedesaan, penerapan
sistem ekonomi Benteng Ali-Baba, pendirian sekolah berbahasa pengantar
Tionghoa yang kemudian ditutup kembali, serta pengakuan atas 6 Agama resmi di
Indonesia.
Penelitian ini mengkaji tentang politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis
Tionghoa di Kudus, tepatnya Pasca G 30. S/PKI atau pemerintahan dibawah
Soeharto. Yang ingin diungkap dari penelitian ini adalah bagaimana reaksi Etnis
Tionghoa terhadap politik pemerintah Indonesia, terutama kepada kebijakankebijakan
dibidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di bidang politik
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan politik Asimilasionis, kebijakan
tersebut ditopang dengan didirikannya Bakom-PKB (Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan Bangsa) Etnis Tionghoa mengapresiasikan kegiatan
politiknya hampir ke semua Partai politik yang ada. Dibidang ekonomi
pemerintah Soeharto menerapkan sistem “Cukongisme” sistem ini mengadopsi
sistem Benteng Ali-Baba, dengan diadakannya kerjasama penduduk pribumi
sebagai pemilik ijin dan Etnis Tionghoa sebagai pemilik modal. Kebijakan inilah
yang nantinya menimbulkan pro dan kontra diantara Etnis Tionghoa sendiri. Di
bidang sosial budaya (Cultural) pemerintah Soeharto mengambil kebijakan
dengan melarang aktivitas agama secara berlebihan serta menutup Sekolah
ix
Nasional Proyek Chusus (SNPC) yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa.
Kemudian membatasi penggunaan Bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari
serta menggantikan nama-nama Etnis Tionghoa menjadi nama Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan politik pemerintah
Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus serta bagaimana reaksi Etnis
Tionghoa dalam menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia. Politik pemerintah
Indonesia mempunyai pengaruh yang bagus namun ada pula yang buruk, dengan
demikian dapat dijelaskan mengenai implikasi dari adanya kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh pemerintah Orde Baru.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi deskripsi lain
mengenai Etnis Tionghoa di Kudus. Reaksi dan pendapat Etnis Tionghoa atas
politik pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, dan sosial budaya dapat
dijadikan rangsangan bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih cermat lagi.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang
semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
Historiografi, sehingga nantinya bisa menghasilan karya yang bisa di konsumsi
untuk menambah ilmu tentang politik Indonesia khususnya tahun 1965-1998.
Penelitian memperoleh hasil bahwa Etnis Tionghoa di Kudus bukanlah
kelompok minoritas yang homogen dilihat dari segi ekonomi, politik, dan budaya.
Pemerintah Orde Baru telah mengambil kebijakan yang bersifat Asimilasionis,
bukan Integrasionis terhadap para Etnis Tionghoa di Kudus. Kebijakan di bidang
Ekonomi dilakukan dengan menerapkan sistem cukong , menyebabkan gejolak di
masyarakat karena munculnya Konglomerat-konglomerat baru. Di bidang
kebudayaan pemerintah Orde Baru membelenggu pelaksanaan ibadah Etnis
Tionghoa yaitu dengan melarang perayaan hari besar keagamaan secara besarbesaran,
serta dilarang merenovasi dan memperbaiki tempat ibadah (Klenteng).
Usaha keras kearah pembauran sudah diambil baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, melibatkan baik tokoh pribumi maupun non Pribumi. Harus diakui
bahwa proses pembauran belum berhasil sepenuhnya dicapai. Hal ini dirasakan
oleh Etnis Tionghoa, prestasi paling buruk dalam proses pembauran ini justru
terjadi pada bidang yang sangat vital, yakni ekonomi yang pada saat-saat tertentu
turut memancing munculnya berbagai kerusuhan yang merugikan semua pihak.
Belum tuntasnya pembauran ini disebabkan oleh banyak faktor: historis, politik,
ekonomis, kultural.
Etnis Tionghoa di Kudus merupakan salah satu dari kebanyakan Etnis Tionghoa
yang tinggal di Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dan keunikan masingmasing.
Hubungan Etnis Tionghoa di Kudus dengan penduduk Pribumi sempat
terganggu pada tahun 1918. Kerusuhan antar Etnis terjadi karena adanya
persaingan usaha antara Etnis Tionghoa (Pendatang) dengan santri (Pribumi).
Pertikaian ini menyisakan kepedihan yang mendalam diantara keduanya. Hingga
kedua Etnis yang berselisih mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Terbukti
sampai sekarang konflik terbuka tidak terjadi lagi, tetapi kerikil-kerikil itu masih
ada.
Pada masa Kolonial, Etnis Tionghoa di perlakukan secara khusus oleh
penguasa pada waktu itu. Kebijakan yang dilakukan terhadap Etnis Tionghoa
cenderung mendiskreditkan golongan ini. Diantara kebijakan tersebut antara lain
penetapan golongan Etnis Tionghoa sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing)
bersama dengan orang India, Arab, dan Melayu. Peraturan berikutnya adalah
Wijkenstelsel (pemusatan pemukiman Etnis Tionghoa), passenstelsel (kartu
perjalanan), politierol (peradilan polisi) dimana kepala polisi berhak bertindak
sebagai hakim.
Pasca Kemerdekaan, pemerintah Indonesia dibawah Soekarno
memberlakukan kebijakan terhadap Etnis Tionghoa. Kebijakan-kebijakan tersebut
antara lain PP No. 10 tentang larangan berdagang eceran di pedesaan, penerapan
sistem ekonomi Benteng Ali-Baba, pendirian sekolah berbahasa pengantar
Tionghoa yang kemudian ditutup kembali, serta pengakuan atas 6 Agama resmi di
Indonesia.
Penelitian ini mengkaji tentang politik pemerintah Indonesia terhadap Etnis
Tionghoa di Kudus, tepatnya Pasca G 30. S/PKI atau pemerintahan dibawah
Soeharto. Yang ingin diungkap dari penelitian ini adalah bagaimana reaksi Etnis
Tionghoa terhadap politik pemerintah Indonesia, terutama kepada kebijakankebijakan
dibidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di bidang politik
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan politik Asimilasionis, kebijakan
tersebut ditopang dengan didirikannya Bakom-PKB (Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan Bangsa) Etnis Tionghoa mengapresiasikan kegiatan
politiknya hampir ke semua Partai politik yang ada. Dibidang ekonomi
pemerintah Soeharto menerapkan sistem “Cukongisme” sistem ini mengadopsi
sistem Benteng Ali-Baba, dengan diadakannya kerjasama penduduk pribumi
sebagai pemilik ijin dan Etnis Tionghoa sebagai pemilik modal. Kebijakan inilah
yang nantinya menimbulkan pro dan kontra diantara Etnis Tionghoa sendiri. Di
bidang sosial budaya (Cultural) pemerintah Soeharto mengambil kebijakan
dengan melarang aktivitas agama secara berlebihan serta menutup Sekolah
ix
Nasional Proyek Chusus (SNPC) yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa.
Kemudian membatasi penggunaan Bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari
serta menggantikan nama-nama Etnis Tionghoa menjadi nama Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan politik pemerintah
Indonesia terhadap Etnis Tionghoa di Kudus serta bagaimana reaksi Etnis
Tionghoa dalam menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia. Politik pemerintah
Indonesia mempunyai pengaruh yang bagus namun ada pula yang buruk, dengan
demikian dapat dijelaskan mengenai implikasi dari adanya kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh pemerintah Orde Baru.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi deskripsi lain
mengenai Etnis Tionghoa di Kudus. Reaksi dan pendapat Etnis Tionghoa atas
politik pemerintah baik dibidang ekonomi, politik, dan sosial budaya dapat
dijadikan rangsangan bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih cermat lagi.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Yang
semuanya ada empat tahap yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
Historiografi, sehingga nantinya bisa menghasilan karya yang bisa di konsumsi
untuk menambah ilmu tentang politik Indonesia khususnya tahun 1965-1998.
Penelitian memperoleh hasil bahwa Etnis Tionghoa di Kudus bukanlah
kelompok minoritas yang homogen dilihat dari segi ekonomi, politik, dan budaya.
Pemerintah Orde Baru telah mengambil kebijakan yang bersifat Asimilasionis,
bukan Integrasionis terhadap para Etnis Tionghoa di Kudus. Kebijakan di bidang
Ekonomi dilakukan dengan menerapkan sistem cukong , menyebabkan gejolak di
masyarakat karena munculnya Konglomerat-konglomerat baru. Di bidang
kebudayaan pemerintah Orde Baru membelenggu pelaksanaan ibadah Etnis
Tionghoa yaitu dengan melarang perayaan hari besar keagamaan secara besarbesaran,
serta dilarang merenovasi dan memperbaiki tempat ibadah (Klenteng).
Usaha keras kearah pembauran sudah diambil baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, melibatkan baik tokoh pribumi maupun non Pribumi. Harus diakui
bahwa proses pembauran belum berhasil sepenuhnya dicapai. Hal ini dirasakan
oleh Etnis Tionghoa, prestasi paling buruk dalam proses pembauran ini justru
terjadi pada bidang yang sangat vital, yakni ekonomi yang pada saat-saat tertentu
turut memancing munculnya berbagai kerusuhan yang merugikan semua pihak.
Belum tuntasnya pembauran ini disebabkan oleh banyak faktor: historis, politik,
ekonomis, kultural.