BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia /FCGI, 2003). Hal ini sejalan dengan Agency Theory yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional (disebut agents) yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis sehari-hari. Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan perusahaan yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional.
Pemisahan ini dapat menimbulkan kurangnya transparansi dalam penggunaan dana pada perusahaan serta keseimbangan yang tepat antara kepentingan-kepentingan yang ada, misalnya antara pemegang saham dengan pengelola manajemen perusahaan dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas. Disisi lain, perusahaan-perusahaan banyak bergantung pada modal ekstern (modal ekuiti serta pinjaman) untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan mereka, melakukan investasi dan menciptakan pertumbuhan. Demi kepentingan mereka maka perusahaan perlu memastikan kepada pihak penyandang dana ekstern bahwa dana-dana tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Menurut FCGI (2003), kepastian seperti itu diberikan oleh sistem tata kelola perusahaan atau corporate governance.
Corporate governance didefinisikan oleh F. Antonius Alijoyo (2003) sebagai seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen perusahaan (direksi dan komisaris), pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta stakeholders yang lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Irwan M. Habsjah dalam artikelnya berargumen bahwa ada empat prinsip Corporate Governance yang meliputi Fairness (keadilan), Transparansi, Akuntabilitas, dan Responsibility (pertanggungjawaban). Dengan demikian, perlindungan hak-hak pemegang saham minoritas termasuk pemegang saham publik (proteksi investor) adalah sebagai wujud Corporate Governance. TB. M. Nazmudin Sutawinangun (2003) berpendapat bahwa sebagai pemilik, investor memerlukan perlindungan baik secara ekonomis maupun yuridis. Ratna Septiyanti (2003) mengemukakan bahwa proteksi hukum terhadap investor dimaksudkan untuk melindungi pemegang saham minoritas dari expropriation yang dilakukan oleh manajer akibat kendali yang dimiliki oleh pemegang saham mayoritas.
Corporate Governance perlindungan investor adalah substansi yang sangat krusial (TB. M. Nazmudin Sutawinangun, 2003). Deni, Khomsiyah, dan Rika, (2004) mengemukakan bahwa ciri utama dari lemahnya corporate governance adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri dari pihak para manajer perusahaan. Jika para manajer perusahaan melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan investor, maka akan menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang pengembalian (return) atas investasi yang telah mereka tanamkan. Dengan demikian, secara agregat, hal tersebut akan mengakibatkan aliran masuk modal (capital inflows) ke suatu negara mengalami penurunan sedangkan aliran keluar (capital outflows) dari suatu negara mengalami kenaikan. Akibat selanjutnya adalah menurunnya harga-harga saham di negara tersebut, sehingga pasar modalnya menjadi tidak berkembang dan menurunnya nilai pertukaran mata uang negara tersebut.
Ratna Septianti (2003) mengemukakan bahwa ketika investor merasa terproteksi dari expropriation, mereka akan berani membayar lebih mahal terhadap sekuritas, sehingga akan menarik pengusaha untuk menerbitkan sekuritas. Survey McKinsey & co. tahun 1999 terhadap investor institusional mendukung pernyataan tersebut dengan menyebutkan bahwa investor bersedia membayar premium 27 persen lebih untuk perusahaan indonesia yang telah mempraktekkan corporate governance (proteksi baik) dibandingkan dengan perusahaan lainnya yang tidak mempraktekkan corporate governance (proteksi lemah).
Signaling theory menyebutkan bahwa investor menganggap perubahan dividen sebagai pertanda bagi perkiraan manajemen atas laba. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna Septiyanti (2003) yang menyatakan bahwa dividen bersifat informatif dalam menjelaskan proteksi terhadap pemegang saham minoritas. Pada negara yang memiliki proteksi investor yang lemah, pengendalian