BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi hal penting dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan seluruh aktivitas dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Mardiasmo, 2002). Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan.
Pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi di lakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola Sumber Daya Alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lain dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah (Halim, 2009).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana kegiatan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan batas maksimal untuk periode anggaran (Halim, 2002). APBD juga diartikan sebagai rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PP No.24 Tahun 2005). Sedangkan menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 dalam Warsito Kawedar, dkk (2008), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka daerah diberikan otonomi atau kewenangan kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik maka mereka harus mendapat dukungan sumbersumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain dari pendapatan yang sah (Halim, 2009).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap daerah berbeda-beda. Daerah yang memiliki kemajuan dibidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah cenderung memiliki PAD jauh lebih besar dibanding daerah lainnya, begitu juga sebaliknya. Karena itu terjadi ketimpangan Pendapatan Asli Daerah. Disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki PAD yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang rendah.
Menurut Halim (2009) permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari PAD masih belum memberikan konstribusi signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal tersebut dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%. Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya relative mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Otonomi daerah harus disadari sebagai suatu transformasi paradigma dalam penyelenggaran pembangunan dan pemerintahan di daerah, dimana Pemerintah