BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Hal ini tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya pengeluaran pemerintah dalam rangka pembiayaan negara menuntut peningkatan penerimaan negara yang salah satunya berasal dari penerimaan pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebagai instansi pemerintahan di bawah Departemen Keuangan sebagi pengelola sistem perpajakan di Indonesia berusaha meningkatkan penerimaan pajak dengan mereformasi pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih modern.
Pajak bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial sehingga menuntut adanya perbaikan baik secara sistemik maupun operasional. Perbaikan sistem perpajakan berupa penyempurnaan kebijakan dan sistem administrasi perpajakan diharapkan dapat mengoptimalkan potensi perpajakan yang tersedia dengan menjunjung asas keadilan sosial. Salah satu upaya perbaikan sistem perpajakan di Indonesia adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ini disahkan pada tanggal 23 September 2008 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. Terdapat lima perubahan penting dalam peraturan pajak penghasilan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diantaranya (1) perubahan penghasilan tidak kena pajak; (2) insentif bagi sumbangan wajib keagamaan; (3) insentif bagi perusahaan terbuka di bursa efek; (4) insentif bagi usaha mikro, kecil, dan menengah berupa potongan tariff hingga 50%; serta (5) beberapa poin penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dapat menjadi objek pajak.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentunya akan menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat, terutama yang terdaftar sebagai Wajib Pajak, baik Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) maupun Wajib Pajak Badan (WP Badan). Salah satu bentuk reaksi masyarakat dapat dilihat dari perilaku kepatuhan pajak. Perilaku kepatuhan pajak menjadi sesuatu yang sangat penting karena pada saat yang bersamaan akan timbul upaya penghindaran pajak (tax evasion) yang berdampak pada besarnya penerimaan negara dari pajak. Menurut Jackson dan Milliron (dalam Richardson, 2006), salah satu variabel nonekonomi kunci dari perilaku kepatuhan pajak adalah dimensi keadilan pajak. Menurur Vogel, Spicer, dan Becker (dalam Richardson, 2006) pembayar pajak cenderung untuk menghindari membayar pajak jika mereka menganggap sistem pajak tidak adil. Hal tersebut menunjukkan pentingnya dimensi keadilan pajak sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pembayar pajak.
Penelitian-peneltian sebelumnya mengenai pengaruh dimensi keadilan pajak terhadap perilaku kepatuhan menunjukkan ketidakkonsistenan hasil penelitian. Jackson dan Milliron (1986) dan Richardson dan Sawyer (2001), seperti yang dikutip Richardson (2006), menyatakan bahwa alasan utama ketidakkonsistenan ini adalah sifat multidimensi dari keadilan pajak sebagai variabel kepatuhan pajak. Christensen dkk. (dalam Azmi dan Perumal, 2008) menyatakan bahwa keadilan sulit didefinisikan karena empat masalah utama: (1) merupakan masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada mayarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas, dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan ketidakpatuhan.
Penelitian-penelitian mengenai dampak dimensi keadilan terhadap tingkat kepatuhan pajak pada umumnya banyak dilakukan di negara-negara barat, seperti Amerika Serikat dan Australia namun hanya sedikit yang dilakukan di negaranegara Asia, seperti Hong Kong dan Malaysia. Penelitian-penelitian tersebut umumnya meneliti persepsi individu atas keadilan sistem perpajakan yang mempengaruhi perilaku keadilan pajak dalam konteks budaya Hofstede. Konteks budaya Hofstede, seperti kolektivisme/individualisme dan jarak kekuasaan, akan membentuk pola kecenderungan masyarakat untuk berpikir dan bertindak. Konteks budaya Hofstede lebih relevan untuk membandingkan budaya antar negara daripada untuk membandingkan budaya organisasi atau kelompok dalam