BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kinerja merupakan salah satu faktor penting yang menunjukkan efektifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai keberhasilan suatu organisasi. Penurunan kinerja secara terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya Financial Distress yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat dikatakan mendekati kebangkrutan. Financial Distress pada bank-bank apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak besar pada bank-bank tersebut dengan hilangnya kepercayaan dari nasabah.
Kinerja perbankan Indonesia secara umum sebelum terjadinya krisis moneter cukup baik dan menunjukkan kemajuan, hal ini dapat dilihat dari mobilisasi dana pada tahun 1996 mencapai Rp 414 trilyun, dana pihak ketiga, giro, tabungan dengan deposito serta kredit mengalami kenaikan menjadi Rp 304 trilyun dari Rp 266 trilyun. Efisiensi pada tahun 1996 juga masih baik. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional 92%, ROE 16,96%, CAR menunjukkan peningkatan (rata-rata) 12,10%. Namun sejak terjadinya krisis moneter perbankan swasta maupun persero banyak yang mengalami kesulitan keuangan (Surifah, 2002).
1
Krisis moneter di Indonesia mulai terjadi sekitar pertengahan Juli 1997, penyebab terjadinya krisis ini dikelompokkan menjadi tujuh faktor (Hari Susanto,1997) :
1. Perekonomian nasional tidak mampu mengendalikan diri dan mengambil pinjaman luar negeri, sehingga pinjaman itu sebagian besar berupa pinjaman jangka pendek
2. Defisit transaksi berjalan sejak tahun 1972 terus membesar secara absolut, bahkan secara persentase dari PDB pada tahun 1997 ini sekitar 4%
3. Jumlah hutang luar negeri, nilai pokoknya telah mencapai jumlah yang demikian besar bagi perekonomian nasional. Pembayaran hutang Indonesia semester I 1997/1998 mencapai Rp 9,56 trilyun atau 49,7% dari APBN (Bisnis Indonesia, 19 November 1997)
4. Secara keseluruhan perekonomian Indonesia melakukan pengeluaran melebihi penghasilan, baik itu sektor pemerintah lewat APBN maupun sektor swasta dan dunia usaha dengan pembiayaan yang sebagian besar dari hutang bank atau obligasi. Angka defisit secara proporsional dari PDB cenderung makin membesar (tahun 1997 ini 2,4% dari PDB)
5. Komposisi investasi asing langsung (foreign direct invesment) dalam bentuk pendirian usaha, pabrik, aktiva tetap (bukan investasi financial), cenderung secara cepat mengecil, secara absolut dan secara relatif tidak berarti dibanding investasi tidak langsung
6. Secara resmi rupiah dinyatakan sebelum krisis menganut sistem mengambang yang terendah yang dikaitkan perbandingan nilai tukarnya dengan beberapa mata uang asing (bukan hanya pada US $)
7. Pertumbuhan uang dan kredit dalam negeri terlalu cepat dan kurang terkendali dengan baik yang ditandai oleh arah penyaluran kredit yang kurang selektif dan banyak menimbulkan kredit bermasalah, kredit bermasalah terutama terjadi di sektor properti
Krisis moneter ini telah merubah aktivitas ekonomi, seperti banyak perusahaan yang gulung tikar, adanya likuidasi 16 bank oleh pemerintah pada tanggal 1 November 1997, pemerintah membekukan kegiatan operasi dari 7 bank yang dianggap tidak memiliki kinerja yang baik, kemudian pada tanggal 13 Maret 1999 terdapat 38 bank yang dilikuidasi, dan meningkatnya jumlah pengangguran. Selain itu pemerintah juga menetapkan untuk menempatkan 7 bank lain di bawah pengawasan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dimana mereka masih tetap dapat beroperasi namun pengelolaannya berada di bawah otoritas BPPN (Surifah, 2002).
Melemahnya sistem perbankan akan menimbulkan disfungsi sistem perbankan sebagai perantara. Ilyas (1999) mengemukakan bahwa salah satu penyebab utama krisis yang melanda Indonesia adalah fundamental weakness pada sektor ekonomi dan keuangan. Berkembangnya krisis menjadi semakin parah karena ditemukan adanya kelemahan mendasar pada sistem perekonomian Indonesia dan ini tercermin dari kurang efisiennya pengelolaan perekonomian dan