BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu ekosistem lotik, yaitu ekosistem perairan yang mengalir dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah (Odum, 1993). Air mengalir membentuk suatu ekosistem terbuka yang bertautan dengan sistem daratan dan lentik (Ngabekti, 2004). Di tempat yang lebih rendah, sungai mempunyai aliran yang lambat sekali hampir sama dengan kebanyakan danau-danau (Ramli, 1989).
Menurut Dirjdosoemarto (1993) arus air merupakan faktor pengontrol dan faktor pembatas utama pada ekosistem yang mengalir. Aliran air merupakan karakteristik utama dari habitat lotik. Komunitas lotik lengkapnya dibagi tiga zona yaitu aliran air, arus deras dan zona genangan. Pada zona arus deras, daerahnya dangkal dengan substrat yang tidak beratur terdiri atas batu-batuan. Biotanya memiliki struktur tubuh untuk menempel pada substrat.
Hewan aliran deras menunjukkan badan pipih yang memungkinkan mereka menemukan tempat perlindungan di bawah batu atau dicelahnya. Adaptasi organisme untuk mempertahankan posisi tempat ia melekat pada air yang mengalir dapat dilakukan dengan memiliki badan yang “stream line”, yaitu bentuk badan hampir serupa dengan telur, melengkung lebar kedepan dan meruncing ke arah belakang, menyebabkan tahanan minimum dari air mengalir melewatinya (Odum, 1993).
Salah satu organisme yang memiliki bentuk tubuh “stream line” adalah cacing pipih air tawar, lazim disebut planaria. Planaria dapat bergerak sangat cepat. Bila melekat pada suatu permukaan di bawah air, planaria mengeluarkan lapisan lendir yang licin di bawah tubuhnya, kemudian menggerakkan tubuhnya dengan cepat ke depan di atas lendir tersebut dengan cara menggerak-gerakkan sejumlah silia yang ada dipermukaan ventral. Bila terapung bebas dalam air, planaria berenang dengan gerakan tubuh yang mengombak. Lokomosi planaria yang efisien ini memungkinkan mereka untuk mencari makan secara aktif (Kimball, 1992).
Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak serta menjaga kelangsungan hidupnya hanya dalam batas-batas kisaran toleransi, dengan kondisi faktor-faktor abiotik dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja (Kramadibrata, 1996).
Kemampuan berkembangbiak menghasilkan individu baru yang hidup adalah merupakan ciri dasar dari semua tanaman dan hewan-hewan (Hadikastowo, 1982). Planaria berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual. Planaria yang sudah dewasa mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecious (hermafrodit). Testis dan ovarium berkembang dari sel-sel formatif. Reproduksi seksual planaria dilakukan dengan cara dua planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi (cross fertilisasi), saling pertukaran produk seks antara dua planaria yang berbeda. Planaria melakukan reproduksi seksual setiap tahun di bulan Februari-Maret. Setelah masa reproduksi seksual, alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria kemudian mengalami masa reproduksi aseksual (Kastawi, dkk. 2001).
Fragmentasi merupakan proses reproduksi aseksual pada planaria, dengan membelah diri secara transversal, masing-masing belahan mengembangkan bagian-bagian yang hilang dan berkembang menjadi satu organisme utuh. Meskipun jumlah individu yang dihasilkan dengan reproduksi aseksual itu sangat besar, tetapi proses ini mempunyai batasan yang serius, yaitu bahwa tiap turunan identik dengan induknya (Barnes, dkk. 1999).
Sungai Semirang Ungaran di Kabupaten Semarang merupakan salah satu tempat dimana planaria dapat dijumpai. Planaria umumnya ditemukan dibeberapa tempat di Sungai Semirang, khususnya di daerah aliran sungai yang tidak begitu deras, berbatu dan tidak mendapat cahaya matahari langsung serta terlindung oleh tanaman tepi sungai, walaupun tidak di semua tempat terlindung dapat ditemukan planaria.
Kemampuan planaria mengembangkan bagian-bagian tubuh yang hilang, hingga terbentuk planaria baru yang lengkap pada reproduksi aseksual, menyebabkan planaria dikatakan mempunyai daya regenerasi yang tinggi. Apabila tubuhnya disayat (dipotong), planaria akan segera memperbaiki bagian tubuhnya yang dipotong dengan proses epimorfis yaitu perbaikan yang dilakukan dengan cara proliferasi jaringan baru (blastema), di atas jaringan lama sehingga akan terbentuk planaria baru yang sempurna. Fenomena ini menarik untuk diteliti, khususnya mengenai pertumbuhan dan perkembangan planaria setelah dilakukan regenerasi secara buatan, yaitu dengan memotong