BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
“Cantik itu putih” demikian dikatakan seorang bintang iklan sekaligus bintang sinetron, Teuku Wisnu, dalam mengenalkan sebuah produk kosmetik pemutih kulit “Jahwa” di televisi Bulan Agustus 2008. Itulah diskursus yang digunakan produsen kosmetik untuk menarik konsumen, khususnya perempuan. Produsen kapitalis dengan berbagai cara mengkonstruksi pikiran perempuan dengan konsep-konsep kecantikan yang melekat pada tubuh perempuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tubuh, kosmetik, dan kecantikan merupakan tiga hal yang saling berkaitan erat membentuk satu kesatuan representasi akan kesempurnaan perempuan. Keterpaduan antara tubuh dan kosmetik yang dilekatkan kepada perempuan menghasilkan sebuah tanda baru yaitu kecantikan (Adlin & Kurniasih, 2006: 217-239). Tubuh perempuan dibentuk oleh tanda-tanda atau nilai-nilai yang merupakan konstruksi dari bahasa ekonomi politik yang diciptakan oleh produsen-kapitalisme, berupa kosmetik, untuk menghasilkan konstruksi nilai-nilai berupa citraan kecantikan.
Kecantikan tersebut merupakan bisnis dengan keuntungan tinggi bagi industri kecantikan, dan tubuh perempuan pun dijadikan sebagai lahan komoditi yang bernilai jual tinggi. Kecantikan merupakan mesin penghasil uang untuk bidang mode dan industri kosmetik. Selain itu kecantikan merupakan sebuah mitos. Mitos kecantikan itu telah dikonstruksi secara sosial, politik, dan ekonomi dalam kebudayaan yang mengeksploitasi potensi perempuan dan menghancurkan pikiran perempuan. Mitos tentang kecantikan digencarkan melalui film, televisi, majalah, koran, seni, bahkan melalui sistem pendidikan. Bagi kalangan feminis, kecantikan bahkan merupakan sebuah mitos yang dianggap sebagai salah satu bentuk dominasi sistem patriarki.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary menyebutkan patriarchy refers to a society, a system, or a country that is ruled or controlled by men (2000: 1110). Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki. Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan. Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Menurut Madsen pekerjaan perempuan hanya pada wilayah domestik, mengurus suami, menjadi ibu dengan mengurus anak-anaknya. Peran-peran domestik tersebut dilekatkan pada sosok perempuan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki (2000: 2).
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh patriarki membuat perempuan terbelenggu. Budaya patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Selain itu pelekatan berbagai stereotype terhadap tubuh perempuan juga memperparah kondisi perempuan. Menurut Halley stereotype digunakan untuk mendefinisikan perempuan dan mengontrol mereka. Perempuan didefinisikan dalam hubungannya dengan laki-laki (1998: 570).
Dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terjadi secara terus menerus dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan perempuan. Mereka harus patuh pada perintah laki-laki dengan konsep-konsep kecantikan yang dilekatkan pada perempuan sehingga perempuan