ABSTRAK
Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin dihindari. Waria bukan menjadi hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Semarang. Di Semarang, kita tidak menjumpai waria ditempat ”cebongan” (tempat pelacuran) di jalan Cakrawala, di kawasan Tanggul Indah (TI) dan kawasan Kota Lama. Di lingkungan ”cebongan” (tempat pelacuran) kehadiran seorang waria dapat diterima secara utuh, sebagai media sosialisasi, tempat membangun solidaritas sosial antar waria dan untuk membangun konsep diri. Peran keluarga, masyarakat dan teman sangat penting bagi perkembangan konsep diri seorang waria. Konsep diri merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam hubungannya dengan orang lain. Konsep diri yang terbentuk baik positif maupun negatif tergantung dari penerimaan dan penilaian dari orang lain terhadap seorang waria.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri yang tertanam pada diri seorang waria yang hidup ditengah-tengah lingkungan masyarakat, untuk mengetahui dinamika pembentukan konsep diri seorang waria dan untuk mengetahui latar belakang kehidupan seorang waria.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, alasan mengambil tiga subyek yaitu untuk mengetahui variasi konsep diri, dinamika psikologi serta latar belakang kehidupan pada diri subyek. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan wawancara, observasi dan tes psikologi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tersruktur dimana peneliti lebih dahulu mempersiapkan pedoman wawancaranya, observasi yang dilakukan yaitu menggunakan teknik observasi non partisipan dan tes psikologi yang digunakan yaitu tes grafis, tes Edward’s Personal Preference Schedule (EPPS) dan TIU 5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya yang melatar belakangi seseorang menjadi waria adalah adanya beberapa penyebab yaitu faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosiologis.
Dari hasil penelitian yang telah diperoleh yaitu bahwa subyek pertama memiliki konsep diri yang negatif, subyek kedua memiliki konsep diri yang positif dan subyek ketiga memiliki konsep diri yang negatif. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui bahwa pondok pesantren atau sekolah yang semua siswanya sejenis secara tidak langsung dapat ”menyuburkan” seseorang kelainan orientasi seksual. Pola asuh orangtua yang otoriter dan tidak adanya seorang ayah di saat anak usia 1-5 tahun menjadi salah satu yang melatar belakangi seseorang menjadi waria.
Berdasarkan penelitian peneliti dapat memberi masukan terutama kepada orangtua, dimana orangtua hendaknya bisa menempatkan dan memilih pola asuh yang sesuai dengan jenis kelamin anak, harus memperhatikan perkembangan anaknya secara seksama dan orangtua sebaiknya memperhatikan lingkungan sosial anak. Selain itu, masyarakat diharapkan tidak mendiskriminasikan kaum minoritas yaitu waria (transsexual).