BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap muslim diatur oleh ketentuan Syari’ah (hukum Islam) yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Hal ini bertujuan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan perintah Allah SWT. Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan syariah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjamin kepercayaan, kehidupan, kecerdasan, keturunan dan kesejahteraan (Triyuwono dan As’udi, 2001).
Peningkatan kesejahteraan (sosial dan ekonomi) dan perlindungan terhadap kepemilikan merupakan tujuan dari syari’ah, yang diharapkan dapat menembus seluruh interaksi manusia, sosial, ekonomi, politik, serta bukan sebagai fenomena yang terisolasi. Bahkan dibidang bisnis dan ekonomi semua harus bergerak kearah keadilan sehingga secara keseluruhan mendukung, bukan melemahkan sehingga menghilangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Dalam ajaran Islam yang terpenting dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya” diri secara tidak sah. Al-Qur’an mempertegas dengan memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara bathil atau dengan cara yang tidak dibenarkan (Al-Baqarah:188, An-Nisa’: 29, dan At-Taubah:34).
Telah disadari sebelumnya bahwa salah satu ciri umum yang melekat pada masyarakat pedesaan di Indonesia adalah permodalan yang lemah. Padahal modal merupakan unsur pertama dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan itu sendiri, lebih-lebih bagi pengusaha atau pedagang golongan ekonomi lemah (usaha kecil). Usaha kecil disini antara lain adalah pedagang keliling, pedagang barang-barang konsumsi, pedagang sayur, warung kebutuhan dapur, warung makan, pengusaha-pengusaha pertanian, pengusaha laundry. Golongan ekonomi lemah umumnya kekurangan modal, sehingga sering mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Dengan berpedoman pada surat An-Nisa’ ayat 29 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (Departemen Agama RI, 1992).
Untuk menghindari agar pengusaha atau pedagang ekonomi lemah, khususnya pengusaha kecil, terdesaknya kebutuhan permodalan usaha sehingga mengambil jalan pragmatis dengan mencari permodalan dari rentenir. Pola kredit yang dijalankan rentenir sangat praktis dan sederhana. Hubungan baik dan kepercayaanlah yang mendasari pemberian kredit dari rentenir kepada pengusaha kecil. Namun di balik pelayanan yang diberikan oleh rentenir---kapan saja pengusaha kecil dapat meminjam modal untuk usahanya, realisasi kreditnya tidak memerlukan kantor khusus bisa melalui berjualan atau pertemuan RT,arisan—pengusaha kecil harus menanggung suku bunga yang sangat tinggi bahkan banyak yang lebih tinggi dari tingkat profitabilitas usaha yang dibiayai. Banyak pengusaha kecil yang tidak memperhitungkan dengan kondisi tersebut sehingga terjebak hutang yang lama kelamaan akan mematikan usahanya.
Pemberian pinjaman modal usaha sifatnya sementara dan sebagai rangsangan untuk mendorong produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan usaha kecil. Dengan meningkatnya pendapatan maka kesejahteraan dan keadilan masyarakat dapat terwujud. Kepedulian umat Islam turut campur tangan membantu mengatasi masalah ini dengan mendirikan BMT (Baitul Maal Wat Tamwil). Dengan berdirinya BMT akan memberikan kemudahan pelayanan jasa semi perbankan, terutama bagi pengusaha atau pedagang golongan ekonomi lemah sehingga akan mampu menggali potensi, meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan serta mengembangkan perekonomian di pedesaan.
Jika dilihat saat ini, banyak dijumpai lembaga pembiayaan di pedesaan. Hanya hasil kerja lembaga pembiayaan desa dengan berbagai pelayanan yang ditawarkan belum begitu mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Mengingat begitu pentingnya permodalan bagi masyarakat pedesaan dan kota