ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang implementasi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan pasal 29 undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di wilayah kota Surakarta yang dilakukan oleh pemerintah kota dan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah kota dalam pelaksanaan penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan pasal 29 undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di wilayah kota surakarta, serta solusinya.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum yuridis empiris yang bersifat deskriptif, dengan mengambil lokasi pada Kantor Pemerintah Kota Surakarta. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Teknis analisis data yang digunakan adalah pendekatan model dengan interaktif.
Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan pasal 29 undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang di Kota Surakarta yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Surakarta yaitu dengan penyusunan Perda RTRW Kota Surakarta sebagai petunjuk pelaksanaan pengganti Perda RUTRK Kota Surakarta yang sudah tidak relevan dengan perkembangan pembangunan nasional saat ini. Wujud dari koordinasi penyelenggaraan penataan ruang demi mendapatkan nilai minimal proporsi ruang terbuka hijau sebesar 30 persen dari total wilayah Kota yaitu berupa perencanaan, pemanfaatan serta pengendalian ruang kota. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan kerjasama baik dari Pemerintah Kota, masyarakat, swasta, dan bersama organisasi non pemerintah.
Dalam pelaksanaan implementasi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Di Kota Surakarta oleh Pemkot Surakarta, masih ada beberapa kendala. Oleh karena itu pemerintah dengan Raperda-nya terus berupaya untuk meningkatkan kekurangan RTH dengan berbagai strategi khusus. Mengingat bahwa luas Kota yang tidak dapat bertambah luas, maka pemerintah lebih mengoptimalisasikan penyelenggaraan penertiban, pengawasan pemanfaatan ruang, evaluasi, penanganan, dan perizinan yang lebih ketat.