ABSTRAK
Setiap lafaẓ memiliki makna. Demikian pula, tidak ada satupun lafaẓ yang terkandung dalam al-Qur’an tersusun secara sia-sia tanpa memberikan suatu pengertian. Akan tetapi, ayat mutasyâbih yang merupakan salah satu jenis ayat dalam al-Qur’an menimbulkan perdebatan yang tak pernah menemui kata final. Sebagian mengatakan ayat itu dapat diketahui maksudnya, sebagian berkata tidak. Karena ayat-ayat tersebut mempunyai banyak arti, sehingga tidak jelas maksudnya.
Para ulama’ saling memberikan karakteristik ayat-ayat mutasyâbihât tersebut, sehingga antar satu golongan berbeda dengan golongan lainnya, sesuai dengan kepentingan golongannya masing-masing. Oleh karena itu, ayat-ayat tertentu muhkamât bagi suatu golongan, namun mutasyâbihât bagi golongan lain.
Ayat-ayat mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang oleh Allâh dijadikan mempunyai sifat-sifat tertentu, sehingga pengertiannya ambigu bagi orang yang mendengarnya. Sifat itu ialah bahwa pengertian lahiriahnya tidak menunjukkan maksud yang sebenarnya, karena sesuatu yang kembali kepada pengertian asal bahasa (leksikal) atau kebiasaan para pemakai bahasa menyebabkan pengertian suatu ayat tidak mudah ditangkap pengertiannya (mutasyâbih, tidak jelas), sehingga adaya ayat mutasyâbihât, telah menciptakan momentum bagi masing-masing golongan untuk merumuskan kaidah-kaidah takwil, karena menurut mereka, agar ayat-ayat mutasyâbihât itu dapat dipahami, maka harus ditakwilkan.
Al-Qusyairî, berusaha menakwilkan ayat mutasyâbihât dengan pendekatan isyârî, ia dapat memahami ayat tersebut melalui isyarat yang terkandung dalam sebuah surat. Menurutnya, tidak semua lafaẓ mengandung makna majaz, sehingga tidak semua ayat mutasyâbihât diartikan secara majaz, karena maksud suatu lafaẓ disesuaikan dengan isyarat yang terkandung dalam sebuah surat, yang nantinya akan mengantarkan kita pada pemahaman yang sempurna tentang Żât Allâh.
Lain halnya dengan al-Zamakhsyarî, menurutnya, setiap kata memiliki banyak makna dan mengandung makna metafora, karenanya ia selalu berusaha menakwilkan setiap lafaẓ dengan pendekatan semantik-rasionalis. Lafaẓ tidak selamanya diartikan secara tekstual, namun bisa dibawa pada maksud yang sesuai dengan konteks, sehingga mudah untuk dipahami.
Bagi keduanya, ayat mutasyâbihât bukanlah ayat yang dibiarkan begitu saja, sehingga maksudnya diserahkan sepenuhnya pada Allâh, namun ayat tersebut bagimanapun keadaannya harus tetap ditakwilkan, kendati adakalanya membiarkan lafaẓ tersebut apa adanya dengan memberi makna yang sesuai dengan Żât Allâh.
Perbedaan pandangan keduanya menjadikan pendekatan yang mereka pakai berbeda, yaitu antara pendekatan isyârî dan semantik-rasionalis, namun tidak menutup kemungkinan, keduanya memiliki dasar pendapat yang sama-sama kuat, yaitu menakwilkan sebuah ayat dengan berdasarkan pemikiran mereka (bi al-ra’yi) yang didukung dengan berbagai alasan yang logis.