BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat) sesuai yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Hal ini mengandung esensi bahwa hukum adalah supreme dan negara harus tunduk pada hukum. Oleh sebab itu, konsep negara hukum sangat dekat dengan konsep rule of law yang secara sederhana diartikan oleh Thomas Paine sebagai tidak ada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa.
Salah satu ciri dari negara hukum (rechtstaat), menurut Julius Stahl ialah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia. Stahl menyebutkan adanya empat unsur dari negara hukum yaitu adanya pengakuan Hak Asasi Manusia, adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). (A. Masyhur Effendi, 1993:32). Menurut Jilmy, jaminan perlindungan HAM dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtstaat. (Jimly Asshiddiqie, 2009: 343)
Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. HAM merupakan hak dasar yang melekat pada diri pribadi manusia dimana memungkinkan manusia sebagai individu hidup secara merdeka.
Masalah HAM bukanlah merupakan masalah baru bagi masyarakat dunia, karena isu HAM sudah mulai dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215, sampai lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948. (Rozali Abdullah, 2001: 9)
HAM dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi HAM dan itu berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati, dan dijunjung