BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena Itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dalam undang-undang tersendiri (penjelasan umum Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban alinea 4). Berdasar asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum (penjelasan umum Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban alinea 5).
Kepedulian yang besar kepada tersangka dan terdakwa menimbulkan persepsi bahwa the pendulum has swing too far, karena seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana, padahal selama ini saksi termasuk saksi korban turut pula menentukan meskipun secara teoritis, saksi terutama saksi korban telah diwakili kepentinganya oleh aparat penegak hukum, namun dalam kenyataanya saksi juga dijadikan sebagai alat hukum untuk mendukung dan memperkuat argumentasi untuk membuktikan kesalahan terdakwa di dalam peradilan pidana. Hal tersebut di atas menjadikan banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena kurangnya jaminan dari pemerintah berkait masalah keamanaan diri seorang saksi (www.pemantau peradilan .com.index.php)[05 Juli 2010 pukul 11.12].
Lahirnya Undang-Undang perlindungan saksi dan korban di Indonesia memakan waktu yang lama, hal ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.