BAB I
PENDAHULUAN
infeksi, khususnya tuberkulosis, pneumoni, bronkiektasis, empiema, abses paru dan
lain – lain. Namun perkembangan yang sangat pesat disegala sektor saat ini telah
mengubah pola penyakit yang ada.
Berbagai faktor yang berperan terhadap pola penyakit pernafasan tersebut
antara lain: perkembangan sektor industri yang bertanggung jawab terhadap terjadi
polusi udara, meningkatnya produksi rokok, urbanisasi, dan krisis ekonomi. (1)
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya frekuensi penyakit pernafasan yang
tidak ada kaitannya dengan infeksi, antara lain : asma, bronkitis kronis, penyakit
akibat pencemaran lingkungan, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker paru
dan lain-lain. (2)
Data dari Inggris, British Columbia dan Kanada menyebutkan bahwa 26
persen sampai 52 persen penyakit paru akibat kerja timbul dalam bentuk asma
kerja ini. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 400.000 sampai 3 juta pekerja
menderita penyakit ini. Secara umum asma sendiri terjadi pada sekitar 5 – 10%
penduduk. Penderita asma kerja di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 2 persen
dari seluruh penderita asma, kendati survey menunjukkan bahwa 15 persen dari
seluruh kasus asma diduga berhubungan dengan pekerjaan. Di sebagian daerah
Jepang bahkan dilaporkan 15 persen kasus asma adalah asma kerja. Di Amerika
Serikat tahun 1985, asma kerja ini mengakibatkan 6,5 kali kunjungan kedokter ,
500.000 perawatan rumah sakit dan hilang 1 juta hari kerja produktif. Kita belum
punya data pasti tentang penyakit asma kerja di Indonesia. Akan tetapi, bila angka
– angka persentase diatas dikonversikan ke jumlah penduduk Indonesia dan bila kita
ingat industriliasasi kita yang terus meningkat, maka dapat diperkirakan bahwa
jumlah penderita asma kerja di Indonesia cukup tinggi. (3)
Pada penelitian Darma Setyakusuma dkk pada pengaruh debu besi terhadap
kesehatan paru-paru pekerja pabrik besi PT. Krakatau Steel, Cilegon (1985)
mendapatkan bronkitis industri sebesar 11,9 % pada kelompok terpajan dan pada
kelompok tidak terpajan. (4)
Pada penelitian Ria Faridawati,dkk (1955) melaporkan prevalensi bronkhitis
kronis 14 % (42 orang dari 150 orang) dan 0,33 % (20 orang dari 150 orang) yang
diteliti pada pekerja di PT. Krakatau Steel Cilegon. (5)
Pada penduduk yang tinggal 25 km dari pabrik semen terdapat kekerapan
PPOK 14,66 % pada laki-laki dan 23,46 % pada perempuan. Pada daerah ± 5 km
dari pabrik, penyakit ini 33,33 % pada laki-laki dan 22,35 % pada perempuan.
Sementara para pekerja yang bekerja berhubungan dengan tepung keadaan
lebih kompleks, berbagai komponen padi , tungau, endotoksin, bakteri, binatang dan
debu inert berperan menimbulkan bronkitis . 6) Jumlah perokok di Amerika Serikat
terus menurun dari tahun ke tahun, tetapi jumlah penderita kanker paru antara
mereka yang tidak merokok di Amerika Serikat semakin meningkat dari 13,3 /
©2003 Digitized by USU digital library 2
100.000 pada tahun 1958, menjadi 22,8 / 100.000 tahun 1969 yang lalu. Pada
pekerja kasar dipekirakan bahwa 30 % penyebab kanker paru adalah polusi udara
di tempat kerja.
Angka dari Norwegia meningkat bahwa 13 % sampai 27 % kanker paru
disebabkan oleh polusi akibat kerja.
Pembangunan diberbagai sektor khususnya industri dapat menyebabkan
terjadi pemcemaran udara, air dan komponen lingkungan yang sangat
mempengaruhi kesehatan paru masyarakat. Hal ini mudah dimengerti mengingat
paru adalah organ yang berhubungan langsung dengan udara luar. Jika kualitas
udara memburuk maka akan makin banyak panduduk yang menderita berbagai
panyakit pernafasan.(7)
Debu adalah salah satu komponen yang menurunkan kualitas udara. Akibat
terpapar debu, kenikmatan kerja akan terganggu dan lambat laun dapat pula
menimbulkan gangguan fungsi paru. Gangguan fungsi paru ini sudah terjadi
sebelum timbulnya penyakit saluran nafas yang nyata, seperti yang ditemui pada
penyakit – penyakit paru kerja pada umumnya.(7)
Untuk mengetahui dan dapat mengantisipasi terjadinya efek buruk lanjutan
akibat pencemaran udara, perlu dilakukan pengujian faal paru bagi orang yang
mempunyai faktor resiko (orang – orang yang berdomisili yang udaranya
tercemar, pekerja yang memungkinkan paparan terhadap udara yang tercemar dan
faktor pencetus lainnya).
Ross dan kawan – kawan pada tahun 1994 (dikutip dari 8) di Inggris mendapatkan
dari kasus penyakit akibat kerja sebanyak 3267 kasus urutan pertama adalah asma
kerja (941), sementara oleh Sallie dan kawan – kawan (dikutip dari 8 ) mendapat
penyebab utama dari asma akibat kerja , urutan ketiga adalah penggilingan bijibijian
termasuk kilang padi, setelah isosianated, cat semprot dan laboratorium –
laboratorium binatang.
Setelah terlihat kecepatan perburukan faal paru pada pekerja – pekerja yang
berhubungan dengan debu biji – bijian bila dibandingkan pekerja – pekerja di kantor.
Penurunan aliran udara telah ditemukan pada pekerja bergantian dibanding dengan
pekerja yang terus menerus sepanjang minggu.
Baru-baru ini dilakukan pemeriksaan terhadap patogenesis debu biji-bijian,
ternyata hasilnya tampak hampir sama dengan debu – debu organik lainnya. Respon
peradangan awal diduga berhubungan dengan hipotese endotoksin. Pada pekerja
yang terpapar dengan debu biji-bijian, tidak terlihat hubungan yang bemakna antara
kadar debu yang terhirup dengan gejala nyeri dada dan hambatan aliran udara
pernapasan.
Kelainan spirometri sangat berkaitan erat sekali dengan kadar endoktosin
melalui udara di banding konsentrasi debu yang terhirup. (9)
Pemeriksaan faal paru mempunyai peran penting pada penyakit paru
obstruksi yaitu menunjang diagnosis, melihat tingkat dan perjalanan penyakit serta
menentukan prognosis penyakit.(10)
Gautrind dan kawan-kawan melaporkan diantara 211 pekerja –pekerja logam
yang terpapar oleh Chlorin, ternyata menunjukkan VEP1 yang sangat menurun
apalagi pekerja tersebut dinyatakan sebagai perokok berat sebanyak ³ 20 pack year.
Dan menunjukkan peningkatan responsif terhadap alergen lebih dari 1,5 kali. (11)
XuX, Weiss ST, Rijeken B, Schogten JP, melaporkan bahwa dari data 4.554
partisipan yang berumur antara 15 – 45 tahun ternyata adalah laki-laki perokok
terlihat lebih cepat penurunan VEP1nya dibanding dengan yang tidak pernah
merokok tetapi bila dibandingkan antara bekas perokok dengan bukan perokok
penurunan VEP1nya sedikit lebih lambat. Sedangkan bila dibandingkan antara bekas
perokok dengan bukan perokok penurunan VEP1nya terlihat lebih lambat, baik pada
laki – laki ataupun pada perempuan. (12)
©2003 Digitized by USU digital library 3
Penentuan derajat obstruksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan yang
sederhana sampai pemeriksaan paling rumit. Masing – masing pemeriksaan
mempunyai nilai tertentu. Pengukuran VEP1 dan KVP dengan spirometri merupakan
pemeriksaan yang sangat sederhana, akurat dan standar. Cara ini dianggap sebagai
diagnosis dini yang mempunyai peran amat penting., salah satu indikator paparan
debu atau polusi udara di lingkungan kerja serta untuk kemudian dilakukan tindakan
– tindakan pencegahan dan pengobatan yang diperlukan.
1.1. Latar Belakang
Berperan dengan usaha pemeriksaan untuk meningkatan sektor agro
industri, agar tercapai swasembada pangan, maka salah satu usaha yang dilakukan
adalah mendirikan kilang padi. Aceh Tenggara adalah daerah penghasil beras
terbesar di daerah Aceh, Kecamatan Bambel memiliki padi terbanyak di Wilayah
Aceh Tenggara.
Pangamatan terhadap pekerja kilang padi menunjukkan bahwa ketika
menjelang tua, mereka mengalami batuk –batuk kronis seperti gejala-gejala PPOK.
Debu kilang padi dapat mencemari udara dalam kilang maupun daerah sekitarnya
yang kemungkinan besar mempengaruhi faal paru para pekerja kilang padi tersebut.
Penyakit saluran nafas yang sering ditemukan pada pekerja yang terpapar
polusi udara atau debu adalah bronkhitis kronis, emfesima dan asma. Kondisi ini
ditandai dengan penurunan fungsi paru berupa kelainan fungsi ventilasi , yaitu
penurunan rata-rata VEP1 yang bermakna diikuti gangguan fungsi oksigenasi (7,13),
sehingga akan mempengaruhi produktifitas kerja dan kualitas hidup orang yang
bersangkutan dan meningkatan biaya perawatan kesehatannya.
1.2.Perumusan Masalah
Kecamatan Bambel merupakan daerah penghasil beras terbesar dan memiliki
kilang padi terbanyak di Aceh Tenggara, sehingga sangat mungkin mengalami
pencemaran udara oleh debu kilang padi. Polusi udara dan debu dapat
mempengaruhi fungsi paru pada pekerja kilang, bahkan juga pada orang yang
berdomisili di daerah tersebut, mengakibatkan produktifitas menurun dan biaya
pengobatan menjadi mahal.
Tingginya frekuensi penyakit paru di kalangan pekerja khususnya pekerja
kasar, selain merugikan bagi pekerja, juga meningkatkan biaya kesehatan yang
harus ditanggungnya, lebih lanjut lagi keadaan seperti menyebabkan kehilangan
hari kerja dan mempengaruhi produktifitas kerja.
1.3. Tujuan
1.3.1 Mendapatkan gambaran fungsi paru VEP1, KVP pada pekerja kilang
padi di Kecamatan Bambel dengan menggunakan spirometri
1.3.2 Mendapatkan gambaran pelayanan klinis/penyakit paru pada pekerja
kilang padi di Kecamatan Bambel
1.3.3 Mengamati perbedaan fungsi paru pada pekerja kilang padi yang
merokok dan tidak merokok
1.4. Hipotesis
Fungsi paru fungsi paru pada pekerja kilang padi yang meroko lebih buruk
dari yang tidak merokok.
1.5. Manfaat
1.5.1. Memberikan gambaran prognosis bagi pekerja kilang padi yang
merokok
File Selengkapnya.....