A B S T R A K
Dalam berbagai sistem hukum yang ada di dunia, termasuk di Indonesia, korporasi
adalah subjek hukum buatan yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Sebagai
subjek hukum (rechtpersoon), korporasi bukan hanya diberi kewenangan untuk bertindak
seperti individu, tetapi ditambah dengan kebebasan yang besar dalam menjalankan
kegiatan ekonomi. Pada era akhir dasawarsa 1980an, korporasi di bidang perbankan
berkembang pesat, karena dukungan kebijakan dari Pemerintah pada saat itu. Namun
demikian, hal tersebut ternyata diikuti pula dengan terjadinya krisis perbankan pada tahun
1997-1998, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah likuiditas. Selanjutnya,
untuk mengatasi krisis perbankan tersebut, Negara c.q Bank Indonesia mengucurkan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang diharapkan membantu korporasi
perbankan untuk keluar dari krisis. Pada kenyataannya, dana BLBI yang berjumlah ratusan
trilliun Rupiah tersebut, banyak dimanipulasi untuk kepentingan sekelompok orang yang
memegang peranan dalam beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Masyarakat
banyak yang belum puas dengan sanksi yang selama ini telah diberikan dalam
penyelesaian kasus BLBI.
Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan pendekatan normatif, dengan
melihat ketentuan hukum pertanggungjawaban pidana korporasi yang ada di Indonesia,
penerapannya dalam penanganan perkara BLBI dan perbandingan dengan ketentuan
serupa di negara Perancis, Finlandia, Norwegia dan Australia. Tujuan penelitian adalah
membahas hukum normatif yang ada, melihat penerapan pertanggungjawaban pidana
dalam kasus BLBI dan membandingkannya dengan kerangka teori
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Dalam penelitian ditemukan bahwa hukum positif Indonesia yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang relevan dengan kasus BLBI, pada
saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh karena itu, semua
kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana, didasarkan pada
pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para pengurus atau
pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam beroperasinya
korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian, konstruksi penyidikan dan
penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan individu, dan tidak berorientasi
pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri.
Di beberapa negara seperti Perancis, Finlandia, Norwegia dan Australia, telah
diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam masing-masing KUHP.
Dengan demikian, apabila kasus seperti BLBI terjadi di negara-negara tersebut, maka
selain pengurus atau pejabat korporasi lainnya dapat dipidana, terhadap korporasi itu
sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi. Dengan menggunakan
teori “Vicarious Liability”, “Strict Liability” maupun “Identification”, maka perbuatan
pidana yang telah dilakukan dapat dielaborasi dengan berorientasi pada perbuatan
hukum yang dilakukan oleh korporasi. Dengan demikian, dalam penyelesaian kasus
BLBI dapat dikonstruksikan dengan lebih akurat, perbuatan pidana yang telah
megakibatkan kerugian keuangan negara tersebut.
Kata-kata Kunci: pertanggungjawaban pidana, korporasi, Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia, BLBI.
File Selengkapnya.....