ABSTRAKSI
Sebagai konsekwensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World
Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) mengharuskan Indonesia
menyesuaikan segala peraturan perundang-undangan dibidang HKI dengan
standar TRIPs. Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta (selanjutnya disebut UUHC 2002) sebagai pengganti tiga undangundang
yang telah ada sebelumnya. Traditional knowledge merupakan masalah hukum baru yang berkembang
baik di tingkat nasional maupun internasional. Traditional Knowledge telah
muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum
domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal
terhadap Traditional Knowledge yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Bertolak dari faktor-faktor tersebut
diatas, para pengrajin kecil tentu saja banyak yang belum memahami
keberadaan UUHC 2002, mereka hanya berfikir memproduksi suatu barang
dan lalu dijual di masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan, kesenian dan
kerajinan, khususnya Kotagede yang terkenal dengan kerajinan peraknya.
Tujuan masyarakat pengrajin perak Kotagede dalam menciptakan karya seni
perak karena faktor ekonomi.
Berdasarkan latar belakang, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
bagaimana implementasi UUHC 2002 terhadap pengrajin dan bagaimana
peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UUHC 2002 terhadap
perlindungan hukum bagi para pengrajin perak.
Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan spesifikasi
penelitian deskriptif analitis, maka penulis berusaha menjelaskan mengenai
implementasi UUHC terhadap pengrajin perak dan bagaimana peran
pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UUHC.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa Kotagede mempunyai potensi
budaya yang cukup banyak antara lain potensi kerajinan, potensi peninggalan
sejarah dan potensi makanan tradisional dan di Kotagede juga terdapat
pengrajin perak yang memproduksi kerajinan perak dalam berbagai jenis
antara lain perak cetak, perak buatan mesin dan filigree. Potensi industri yang
terdapat di DIY yaitu kerajinan batik, kulit, perak, kayu, gerabah dan anyaman
dan sosialisasi hki yang dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain melalui
pelatihan dan kesepakatan pembentukan klaster IKM perhiasan perak di DIY.
Kesimpulan yang di peroleh bahwa UUHC 2002 sudah memberikan
perlindungan terhadap karya cipta kerajinan perak, hambatan yang dihadapi
dalam mengimplementasikan UUHC 2002 karena masyarakat khususnya
pengrajin perak di DIY belum mengetahui secara jelas tentang HKI dan
pengrajin perak tersebut tidak keberatan apabila hasil ciptaan mereka di tiru
oleh pengrajin lain dan pemerintah daerah sudah ada sosialisasi mengenai
HKI. Rekomendasi yang diberikan sosialisasi HKI melalui media internet
dengan membuka website berisi tentang pengenalan HKI, prosedur
pendaftaran HKI, melakukan identifikasi kerajinan perak yaitu mengenai
corak, motif dan jenis-jenis kerajinan, pemberian intensif kepada pengrajin
sehingga pengrajin akan mendaftarkan karya cipta mereka dengan kemudahan
yang diberikan pemerintah daerah, adanya suatu peraturan daerah yang
mengatur mengenai HKI, revisi dari UUHC 2002 dan adanya undang-undang
tentang folklore.
Kata Kunci : Hak cipta, Traditional knowledge, folklor, kerajinan perak.
File Selengkapnya.....