ABSTRAK
Skripsi ini membahas relevansi konsep żikir menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur M.A dengan tujuan pendidikan Islam. Kajiannya dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama terkena 2 kanker ganas yang kemudian beliau berusaha mengobati penyakitnya melalui usaha medis dengan bantuan dokter dan penyembuhan melalui pendekatan kepada Allah SWT (berżikir). Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana konsep Prof. Dr. H.M. Amin Syukur M.A. tentang Żikir? (2) Bagaimana relevansi konsep żikir menurut Prof. Dr. H.M. Amin Syukur M.A. dengan tujuan pendidikan Islam?. Permasalahan tersebut dibahas melalui kajian tokoh atau studi tokoh yang dilaksanakan terhadap tokoh tasawuf yang juga seorang guru besar tasawuf di IAIN Walisongo Semarang. Datanya diperoleh dengan cara wawancara bebas dan studi dokumentasi. Semua data dianalisis dengan pendekatan sosio historis dan dianalisis menggunakan metode interpretasi dan content analysis.
Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Żikir sebagai perbuatan ibadah, menurut Amin Syukur adalah sebagai salah satu bentuk ibadah makhluk, khususnya manusia kepada Allah dengan kesadaran mengingat kepada-Nya. Dimana ketika żikir melibatkan antara rasa dan otak secara bersamaan maka akan mempunyai efek yang sangat luar biasa. Landasan dzikir dari Amin Syukur ada 4: żikir qauly, żikir qalbi, żikir ruh dan żikir fi’ly. Manfaat dari żikir yang disebutkan oleh Amin Syukur juga ada 4: (a) memantapkan iman (b) menumbuhkan energi akhlak yang positif (c) menghindarkan diri dari bahaya serta (d) sebagai terapi jiwa. (2) Relevansi żikir dengan tujuan pendidikan Islam menurut Amin Syukur itu mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Żikir merupakan cara untuk menjadikan seseorang menjadi manusia yang baik, berakhlak mulia dan tentunya ingat akan penciptaannya di dunia ini yang bisa mengantarkan manusia menjadi insān kāmil. Karena dalam diri insān kāmil itu terintegrasi visi keimanan, keilmuan dan kemanusiaan dimana pembentukannya dibangun melalui proses pendidikan Islam. Insān Kāmil tanpa pendidikan Islam tidak akan bisa melakukan kaderisasi sehingga akan berakibat punahnya diri sendiri (mengalami kesenjangan bahkan hilangnya kader yang melangsungkan estafet perjuangan Insān Kāmil). Sebaliknya pendidikan Islam tanpa Insān Kāmil tidak akan mempunyai suatu sistem yang menjamin terlahirnya kader-kader pendidikan yang dapat berkiprah dalam kemajuan kehidupan dimasa mendatang. Hasil dari penelitan diharapkan dapat memberikan acuan bagi sistem pendidikan agar tidak mengedepankan ranah kognitif saja melainkan ranah afektif dan psikomotorik juga perlu diperhatikan.