ABSTRAK
Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dilakukan sebanyak empat kali telah mempengaruhi secara substansial dan mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. Konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan untuk mencegah adanya kemungkinan menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Hal itu menimbulkan dualisme kedudukan institusi kejaksaan sebagai institusi yang berada di dalam ranah yudikatif, sementara jabatan Jaksa Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif sebagai pejabat setingkat menteri. Maka dari itu penulis meneliti bagaimana sejarah perkembangan institusi Kejaksaan di Indonesia, hubungan kelembagaan Presiden dan Kejaksaan serta dampak Implementasi Kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis (Legal Approach) mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung maka penulis melakukan pendekatan terhadap UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Kepres Nomor 84/P tahun 2009 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 sehingga dapat diketahui hubungan kelembagaan negara tersebut. Pada masa zaman kerajaan majapahit institusi kejaksaan (Satya Adhi Wicaksana) diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Pada masa pendudukan Belanda, istilah kejaksaan diganti dengan nama Openbaar Ministerie. Di masa penjajahan Jepang, institusi ini dialihfungsikan menjadi badan peradilan Saaiko Hooin , Kootoo Hooin, dan Tihoo Hooin. Setelah Indonesia merdeka, institusi kejaksaan diletakkan ke dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang artinya berada di bawah kekuasaan eksekutif. Namun kini terjadi dualisme kedudukan kejaksaan, yaitu Institusi Kejaksaan berada dalam fungsi Yudikatif, sementara itu Jaksa Agung sebagai pemimpin kejaksaan diletakkan dalam kekuasaan Eksekutif. Jika dilihat dari hubungan kelembagaan antara Presiden dan Kejaksaan, Indonesia yang menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan dan UU No. 16 Tahun 2004 bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Hal itu dapat dilihat dari kekuasaan Presiden selaku kepala pemerintahan yang mengatur stuktur organisasi kejaksaan melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam amar Putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI mengenai kewenangan presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung memberi dampak buruk bahwa lembaga Presiden bertindak lebih leluasa dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, karena Jaksa Agung merupakan pejabat setingkat menteri.