ABSTRAK
Seperti yang kita ketahui bahwa dengan terselenggaranya akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling kokoh adalah kewajiban memberi nafkah. Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada isterinya berupa nafkah lahir maupun batin, nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan menjadi hutang kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja, nafkah tersebut adalah nafkah madhiyah. Dan yang menjadi persoalan untuk membuktikan nafkah madhiyah dalam prakteknya orang selalu kebingungan dan kesulitan bagaimana cara membuktikannya? Karena suami ketika memberikan nafkah kepada istri tidak pernah memberikan kwitansi sebagai alat bukti kepada istri, sementara kalau pembuktiannya melalui saksi, tetangga, ataupun keluarga itu juga tidak valid. Keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Pada akhirnya ketika sidang ini jelas menjadi susah, tidak ada yang bisa membuktikan bahwa suami tidak pernah memberikan nafkah, alasan-alasan tersebut tentunya membuat penulis ingin mengkaji lebih jauh dengan rumusan masalah;
1. Bagaimana pembuktian nafkah madhiyah di Pengadilan Agama Semarang
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Semarang.
Metode yang penulis gunakan (1) jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), (2) sumber data yang digunakan adalah sumber data primer berupa hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Semarang dan para istri sebagai termohon yang memiliki hak nafkah dan data sekunder, (3) metode pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dan dokumentasi, (4) metode analisis data dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil analisis dan penelitian penulis, adalah: pertama, dari beberapa salinan putusan yang penulis teliti, dalam menjatuhkan putusan gugatan rekonvensi tentang nafkah madhiyah hakim menggunakan pertimbangan alat bukti pengakuan dari tergugat rekonvensi untuk mengabulkan tuntutan penggugat rekonvensi. Sehingga hakim tidak mempertimbangkan dan tidak memerlukan tambahan alat bukti lagi karena pengakuan dipandang sebagai alat bukti yang paling kuat menurut hukum perdata islam. Kedua, dalam persoalan ketika ada penyangkalan bahwa tergugat rekonvensi telah memberikan nafkah dan isteri tidak bisa membuktikan sama sekali, maka hakim menolak gugatan tersebut. Sebelum menjatuhkan putusan seharusnya hakim harus mencermati alasan-alasan ketidakmampuan penggugat rekonvensi untuk membuktikan gugatannya, atau menawarkan alat bukti sumpah terutama jika alat bukti yang lain lemah atau tidak ada sama sekali, terkait dengan barang siapa yang mendalilkan maka dia yang membuktikan. Penerapan yang demikian dijelaskan dalam putusan MA tanggal 28 April 1976, alat bukti sumpah baru boleh diterapkan, apabila sama sekali tidak ada alat bukti lain atau alat bukti yang ada tidak mampu menguatkan dalil gugatan maupun dalil bantahan. Sehingga akan tercapai dari tujuan hukum itu sendiri.
File Selengkapnya.....